18/06/14

Museum Dewantara Kirti Griya: Balada Anak Tiri Tamansiswa



Menjadi museum penopang keisimewaan Yogyakarta, Dewantara Kirti Griya, yang terletak di Jalan Tamansiswa 31 Yogyakarta, justru lamban berbenah karena tak didukung penuh keluarga Tamansiswa.

WALAU belum mencapai kulminasi, matahari sudah tinggi. Panasnya mulai menyengat. Lantaran berjalan di bawah lindungan pohon besar yang rindang, sengatan panas matahari tak saya rasakan. Pohon besar itu tumbuh di sebuah taman kecil yang bersih dan rapi, menjadi hiasan indah bagi rumah tua yang terletak di sampingnya.

Di beranda rumah, lelaki berumur 30-an duduk berlesehan menghadap pendapa Tamansiswa. Mengira ia-lah juru rawat rumah tua tersebut, kepadanya saya bertanya, “Pak, alas kaki boleh dipakai?”. “Boleh, boleh. Pakai saja. Tidak apa-apa,” jawabnya meyakinkan. Saya pun memasuki rumah tanpa melepas sandal.

Sebuah kursi goyang di ruang keluarga seolah menyambut kedatangan saya. Di tembok belakang kursi goyang tersebut, terdapat rak dinding tempat meletakkan deretan buku tebal. Rata-rata berbahasa belanda. Kertasnya sudah berwarna sephia. Pada bagian tembok lain, tergantung sebuah lukisan dan sejumlah porselin piring biru muda.

Dari ruang keluarga, saya beranjak menuju ruang tamu. Di tengah ruangan, ada satu set kursi kayu ditata melingkar. Ada sebuah almari kaca tempat menyimpan dua tanda penghargaan: bintang mahaputera kelas satu dan lencana tunas kelapa. Ada patung kepala Ki Hadjar Dewantara yang menempel di tembok. Di bawahnya, terukir prasasti bertuliskan candrasengkala: miyat ngaluhur trusing budhi, kalimat sandi untuk tahun 1970 Masehi. Pada tahun itu, rumah tua ini, yang dulu ditinggali Ki Hadjar Dewantara sekeluarga, diresmikan oleh Nyi Hadjar sebagai Musemum Dewantara Kirti Griya.

“Wah, ini mortir ya?” ujar seseorang, mengagetkan saya. Itu suara lelaki yang tadi duduk di beranda samping. Ternyata ia bukan juru rawat museum. Tapi bapak yang sedang menjemput anaknya yang bersekolah di Taman Indriya, sebutan untuk Taman Kanak-Kanak dalam sistem perguruan Tamansiswa. “Iya, Pak. Itu mortir. Awas lho, Pak. Nanti meledak,” jawab saya bercanda. Si bapak mesem.

Pagi menjelang siang itu, pengunjung museum bukan hanya saya dan si bapak “mortir”. Datang juga tujuh pengunjung lain: dua siswa Taman Madya (setingkat SMP), empat mahasiswa, dan seorang lelaki berpotongan wartawan. Sebagian memasuki satu ruang saja, sebagian lain menjelajahi seluruh ruangan museum: ruang keluarga, ruang tamu, ruang tidur Ki dan Nyi Hadjar, ruang kerja Ki Hadjar, ruang tidur Ki Hadjar, dan ruang tidur putrinya.

“Jumlah pengunjung tidak pasti. Tapi tiap hari ada. Sendiri-sendiri maupun rombongan,” jelas Sri Muryani, pengelola museum, yang berkantor di perpustakaan samping museum. Pengunjung perpustakaan tiap hari juga ada, tapi juga tidak pasti jumlahnya.

Siang itu (11/6), saat saya menumui Bu Mur—demikian Sri Muryani kerap disapa—ada dua pengunjung: peneliti dan mahasiswa dari UGM. Kepada Bu Mur, mahasiswa itu lantas minta difotokopikan sejumlah halaman naskah beraksara Jawa. Perpustakaan museum memang punya banyak koleksi naskah: sekian jilid Babad Tanah Jawa, sekian jilid Babad Giyanti, sekian jilid pakem pedalangan, entah berapa eksemplar sastra Melayu Tionghoa, dan masih banyak lagi.

Setelah melayani mahasiswa tersebut, kepada saya Bu Mur berkata, “Yang datang ke sini malah banyak mahasiswa luar. Dari UGM, dari UNY, dan lain-lain. Dari UST jarang.” Ia tahu, saya mahasiswa UST. Sindirannya membuat saya tertegun.

Dari keluarga Tamansiswa, bukan hanya mahasiswa UST yang jarang mengunjungi museum dan perpustakaan. Petinggi majalis luhur Tamansiswa pun jarang. Keluarga Tamansiswa kecil perhatiannya terhadap museum. Nasibnya bagai anak tiri: ada untuk dilupakan. Itulah yang membuat meseum lamban berbenah. Padahal, sebagai salah satu museum penopang keistimewaan Yogyakarta, Dewantara Kirti Griya harusnya kini gesit berbenah.

Nyatanya, pihak Tamansiswa tidak mendukung usaha Bu Mur untuk membenahi dan memajukan museum. “Kami kurang tenaga pengelola. Kami minta bantuan tenaga ke majelis luhur. Tidak diberi. Malah Mas Agus (pengelola museum yang lain) mau ditarik ke majelis luhur,” tutur Bu Mur. Ia kemudian minta bantuan ke Dinas Kebudayaan. “Dinas Kebudayaan mau memberi bantuan tenaga pengelola, tapi tua-tua. Kami butuh yang muda-muda,” lanjutnya.

Sekarang, museum hanya punya dua pengelola, Bu Mur dan Mas Agus. Sementara itu, pekerjaan begitu banyak. Bu Mur sangat berharap, ada relawan-relawan muda yang siap membantunya bekerja mengelola, membenahi, dan memajukan museum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam