18/06/14

Hidup dari Sepatu, Bekerja untuk Cucu



Muhadi (80) masih terus membuka lapak sol sepatunya, yang berada di sebelah selatan mal Ramayana, sejak puluhan tahun lalu. Tak terpengaruh perubahan zaman. Seakan menolak diseret gelombang modernitas Malioboro.

ZAMAN berganti. Wajah Malioboro kini sudah jauh berubah. Mal-mal besar didirikan. Kendaraan bermotor memadati jalan. Iklan-iklan berjubel. Seolah-olah bersaing memperebutkan ruang yang semakin sempit. Tapi siapa sangka, di antara deretan mal megah, toko sandang, warung makanan, dan lapak-lapak yang menjual berbagai produk sepanjang Jalan Malioboro, terdapat sebuah lapak kecil yang lain dari yang lain: lapak sol sepatu. Pemiliknya bernama Muhadi.

Lapak yang berada persis di depan toko Vadka Fashion, sebelah selatan mal Ramayana, itu begitu bersahaja. Di depan kursi yang diduduki Muhadi, ada sebuah meja kecil. Sepatu dan sandal rusak menumpuk di atasnya. Di atas meja itu juga ada tumpukan lembaran ban dan kotak plastik berisi peralatan untuk mengesol sepatu. Di sebelah kanan kursi, tersender sepeda tanggung Muhadi yang berwarna biru. Muhadi menggeluti usaha tersebut sejak 40 tahun lalu. Ternyata, perubahan besar yang terjadi di Malioboro, sama sekali tidak berpengaruh terhadap Muhadi. Tidak dapat menggusur lapaknya yang bersahaja.

Selama ini, usaha sol sepatunya telah menghidupi keluarganya. Tapi ia mengaku, usaha sol sepatu tidak membuatnya kaya. Keuntungan yang diperoleh tidak banyak. Penghasilan serba pas-pasan. Bahkan, ia pernah menjual dua sepedanya untuk mencukupi biaya sekolah anaknya. Ketika istrinya sakit, 25 tahun silam, Muhadi menjual sepedanya yang lain untuk membayar biaya pengobatan dan perawatan.

Memang, pelanggan Muhadi sedikit. Ketika diwawancarai selama lebih dari setengah jam pada Minggu (6/4) siang itu, tak seorang konsumen pun yang menyewa jasa sol sepatunya. Sepanjang wawancara, ia hanya sibuk memperbaiki sandal perempuan yang ditinggalkan pemiliknya untuk diperbaiki.

Demi menutupi kekurangan ekonomi keluarga, Muhadi lama bekerja di sebuah pabrik sepatu. Membuat sepatu untuk umum. Juga untuk tentara. Semasa bekerja di pabrik, ia kerap bertemu dengan Sri Sultan Hamengkubowono IX. Di sana, gubernur Yogyakarta pertama itu disapa Ndoro Jatun. Demikian kenang Muhadi.

Bekerja untuk Cucu
Karena usaha sol sepatu hanya menghasilkan untung kecil, ia tak punya ekspektasi bisnis yang melambung tinggi. Muhadi bekerja sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kini, ketika anak-anaknya yang telah mapan menanggung semua biaya hidupnya, ia tetap bekerja. Hasilnya tidak untuk dirinya sendiri, tapi untuk cucunya. Penghasilannya sehari, sebesar Rp. 30.000,00, ia berikan seluruhnya kepada cucunya sebagai uang jajan.

Jumlah uang sebanyak itulah yang dijadikan Muhadi sebagai target penghasilan harian. Saban hari, setelah memperoleh penghasilan sebesar Rp. 30.000,00, ia menutup lapaknya. Lalu pulang dengan mengendarai sepeda tanggungnya. Rumahnya terletak di belakang kantor surat kabar harian Kedaulatan Rakyat di Jalan Pangeran Mangkubumi. Jadi jam kerja Muhadi tidak tentu. Lapak dibuka pagi-pagi, sekitar jam delapan. Ditutup setelah target penghasilan harian tercapai, jam berapa pun itu.

Di rumah, Muhadi tak mengutak-atik usaha sol sepatunya lagi. Waktu senggangnya digunakan untuk memancing di tepi Kali Code. Belakangan, ia punya kesibukan baru di rumah: menyambut tamu-tamu politik anaknya yang menjadi calon anggota legislatif dari Partai Demokrat.

Ngeplak Preman Papua
Puluhan tahun membuka lapak sol sepatu di Malioboro, Muhadi tentu punya pengalaman menarik. Konsumen luar Jawa sering memberinya uang lebih. “Kadang Rp 30.000,00, kadang Rp 50.000,00,” tuturnya sambil mengiris bantalan ban untuk dipasang pada sandal yang sedang diperbaikinya. Ada juga bule yang ngesol sepatu di lapaknya.

Ia kemudian menceritakan pengalaman lain yang tak kalah menarik. Saat itu seorang preman Papua yang biasa beroperasi di Malioboro, memalak toko fashion di depan lapaknya. Menagih “uang pajak”. Muhadi bangkit dari lapaknya, menghampiri preman tersebut, lalu mengeplak kepalanya. Anehnya, si preman tidak menghajar balik, justru segera pergi meninggalkan tempat itu. Barangkali si preman segan menghadapi Muhadi. Di kawasan Malioboro, terutama kawasan Lor Pasar Beringharjo, kakek satu ini dikenal sebagai veteran perang kemerdekaan yang berani, tegas, dan keras. Ia pernah bertempur bersama Soeharto dan Jenderal Soedirman.

Muhadi mengingat Soeharto sebagai perwira pengecut. Mantan presiden Indonesia itu lari dari medan tempur saat peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Berbeda dengan Soeharto, Pak Dirman, begitu Muhadi menyebut Jenderal Soedirman, dikenangnya sebagai komandan yang keras. “Pak Dirman orangnya keras,” ujarnya. Sewaktu mengalami sakit parah pun, Pak dirman terus berjuang di medan tempur, meskipun dengan ditandu. Dan salah seorang pemanggul tandu Pak Dirman ialah Muhadi.

Pergulatan dalam dunia militer dulu ternyata bermanfaat bagi kesehatannya semasa tua. Daya tahan tubuh Muhadi kuat. Fisiknya masih bugar, meskipun ia mengira sebentar lagi akan memerlukan tongkat sebagai alat bantu jalan. Penglihatan masih cukup jelas. Muhadi masih sanggup mengayuh sepeda dari Malioboro sampai Imogiri. Tiga bulan lalu, Muhadi memang dirawat di rumah sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Sakit paru-paru akibat banyak menghirup asap saat bekerja di pabrik dulu.

Siap-Siap Pulang
Meskipun terhitung bugar dan masih mampu bekerja, Muhadi memang sudah sepuh. Usianya kini 80. Menyadari kesepuhannya ini, Muhadi merasa tak perlu bercita-cita apa-apa lagi. “Saya sudah harus bersiap-siap pulang,” katanya. Maksudnya tentu bersiap-siap menghadapi ajal.

Kalau kelak, entah kapan, Muhadi meninggal, kita jelas akan kehilangan seorang perlambang hidup masa lalu Malioboro. Malioboro akan semakin ditenggelamkan gelombang modernitas. Dan ketika jalan-jalan di Malioboro, kita tidak akan lagi melihat kebersahajaan lapak sol sepatu Muhadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam