18/06/14

Pasar Kembang: Satu Jalan, Dua Dunia


Dunia Pasar Kembang tak sepenuhnya gelap. Cahaya spiritual menerangi lokasi prostitusi terkenal di Yogyakarta itu, meski dengan terang yang tak benderang. 

MATAHARI sudah padam. Senjakala telah lama lewat. Lampu-lampu di sepanjang Gang 2 Jalan Pasar Kembang, Sosrowijayan Wetan, Yogyakarta, berlomba memancarkan terang, menghalau gelap malam. Juga lampu di beranda masjid Nurul Huda.

Malam Senin (15/6) itu, waktu salat Isya hampir tiba, tapi masjid Nurul Huda masih sepi. Di dalam masjid, hanya ada seorang ibu yang tertidur di area salat jemaah perempuan. Selebihnya lengang. 

Tapi lengang yang sejenak. Sebab, tak lama kemudian, seorang bapak tambun berkopiah haji, memasuki masjid, duduk bersender pada tiang berlapis marmer di depan kanan mimbar. Seorang bapak lain yang tak kalah tua umurnya dibandingkan bapak pertama, menyusul memasuki masjid. Lelaki bersongkok hitam, berbaju batik cokelat, dan bersarung biru-pudar tersebut mendekati mikrofon. Mengumandangkan azan Isya.

Hingga ikamah diserukan, belum ada jemaah lain di dalam masjid. Kalau jumlah jemaah salat bisa dihitung jari, itu wajar-wajar saja. Bukankah masjid Nurul Huda terletak di Pasar Kembang, lokasi prostitusi terkenal di Yogyakarta? Namun ternyata ada yang tak wajar. Sejak salat dimulai, satu per satu jemaah berdatangan. Memenuhi saf pertama, membentuk saf kedua. Jemaah perempuan pun berdatangan satu per satu. Membentuk saf pertama. Malam itu lebih dari 20 orang mengikuti salat Isya berjemaah.

Setelah mendirikan salat dengan khidmat, mereka pulang. Keluar dari masjid, mereka disambut sebuah spanduk yang menghadap ke dalam masjid. Isinya: informasi kegiatan masjid selama bulan Ramadan, antara lain salat Tarawih, sahur bersama, dan buka bersama.

Semakin menjauh dari masjid, suasana agamis semakin tak terasa. Berjalan dari masjid menuju arah utara, saya menyaksikan sejumlah losmen, restoran, kafe, gerai penukaran uang, juga outlet laundry. Pengunjung restoran dan kafe kebanyakan bule. Ada satu dua warga yang duduk-duduk di tepi jalan, entah membicarakan apa. Anak-anak mengerumuni penjual serabi keliling. Para pejalan kaki, lalu-lalang. Lelaki dan perempuan. Berjilbab dan tak berjilbab.

Jika suasana agamis masih terasa di Gang 2, di Gang 3 Jalan Pasar Kembang, Sosrowijayan Kulon, suasana agamis itu tak terasa. Jika gapura Gang 2 cerah oleh terang cahaya lampu, gapura Gang 3 tampak remang. Lampunya redup. Di timurnya, becak-becak berjejer, menunggu penumpang. Di baratnya, orang-orang duduk di angkringan, menikmati nasi kucing atau pisang goreng. Menyeruput segelas kopi. Atau mengisap rokok. 

Dekat tiang gapura, berdiri dua perempuan berpakaian seksi: baju sebatas dada, celana sebatas paha. Sejurus kemudian mereka masuk ke dalam gang. Beberapa lelaki, tua dan muda, dari arah stasius Tugu, memasuki gang satu demi satu. Seorang perempuan muda yang juga berpakaian seksi, turun dari sepeda motor, mencium tangan lelaki yang mengantarnya, kemudian masuk pula ke dalam gang. 

Setelah lama duduk di angkringan, saya mengikuti jejak mereka. Masuk gang ini tak gratis. Kepada pengelola yang berjaga di mulut gang, setiap pengunjung mesti bayar Rp 2.000. Pengelola menerima uang, lalu memasukkannya ke dalam kotak kayu yang cukup besar, mirip kotak amal. 

Melewati ‘kotak retribusi’, terbentanglah pemandangan khas lokasi prostitusi. Dalam keremangan, puluhan perempuan dengan pakaian membakar berahi, duduk berderet di sejumlah kursi panjang yang terletak di kanan kiri gang. Bagai manekin yang dipajang berjejer di etalase kaca toko pakaian.  Rata-rata make-up mereka berlebihan. Menor. Tapi ada juga yang merias wajah dengan bersahaja. Yang ini cantik dan masih muda. Pasti diincar banyak pelanggan.

“Mas, minta apinya,” terdengar suara genit perempuan dari sebelah kiri. Saya yang berjalan sambil merokok untuk mengusir gugup, berhenti dan menoleh, kemudian duduk di sebelahnya. “Minta apinya dong, Mas,” ulangnya, masih dengan nada genit, sambil mengambil rokok dari tangan saya, menyulut rokoknya sendiri. 

Habis berbasa-basi, penulis meninggalkan perempuan yang mengenakan blus hitam ketat itu, kembali berjalan menelusuri lekuk-liku gang, mengamati para pekerja seks komersial (PSK) seperti pembeli mengamati barang dagangan. 

Persis seperti yang dilakukan para lelaki lain yang datang ke sana saat itu. Mengamati, memilih, menawar. Bila harga cocok, mereka masuk kamar. Bila tidak, mereka berjalan lagi, mencari PSK lain. Lorong demi lorong dijelajahi. Kursi demi kursi disinggahi. Bebas memilih, asal punya uang. Mau yang tidak muda lagi, ada. Mau yang muda, ada. Bahkan, yang muda belia, belasan tahun umurnya pun ada. Mau hanya bercinta, bisa. Mau bercinta dan berkaraoke, juga bisa. 

Kalau mau berkaraoke, ada ruang khusus. Tak hanya satu. Dalam salah satu ruang karaoke, seorang lelaki sedang duduk di sofa, berbicara dengan PSK-nya. Sementara itu, PSK lain menyanyi dan berjoget di depannya. Begitulah, para PSK di Pasar Kembang melayani pelanggan sesuai dengan job-nya masing-masing.

Mereka berasal dari berbagai daerah. Ada yang asli Yogyakarta, ada yang berasal dari daerah lain, misalnya Jawa Timur. Melati (bukan nama sebenarnya) tinggal di Sleman, Yogyakarta. Bekerja di Pasar Kembang belum begitu lama. Bila bekerja, Melati menitipkan bayinya kepada kerabatnya untuk diasuh. Sebetulnya, ia tak tega menitipkan bayinya. Tapi apa boleh buat. Tak ada pilihan lain. Uang tak sekonyong-konyong jatuh dari langit, sementara dapur harus terus mengepul. 

Melati mengaku mengalami tekanan batin. Ia pernah dihajar oleh ‘saingan bisnis’-nya. “Saya balas, Mas. Saya tidak mau diperlakukan seperti itu,” bisiknya. ‘Saingan bisnis’-nya, yang duduk tak jauh dari tempat kami duduk, terus mengawasi kami. Ternyata, resiko bekerja di Pasar Kembang besar juga. Pasar Kembang rupanya dunia yang keras. Ada persaingan dan konflik antar-PSK. Untuk merebut pelanggan, ditempuhlah segala jalan, termasuk jalan kekerasan.

Irma, PSK dari Jawa Timur, tampaknya tidak mengalami tekanan batin seperti Melati. Gayanya bebas, tutur katanya blak-blakan, meluncur dari mulut tanpa beban. Dengan lincah, Irma membalas gurauan saya. Tapi, entahlah, mungkin di balik itu semua, Irma menyembunyikan sesuatu. Mungkin perih, mungkin sedih. Mungkin juga duka atau luka. 

“Berapa?”

“Seratus lima puluh,” jawabnya pendek, sambil memainkan telepon genggamnya. 

Berapa jam?” 

“Seperlunya,” jawabnya, lagi-lagi pendek. Sejak tadi wajahnya tak menghadap saya, melainkan menghadap warung makan yang ada di depannya. “Tidak main jam-jaman,” tambahnya.

Ditawar berkali-kali, Irma hanya menurunkan harga dua kali. Mulanya diturunkan menjadi Rp 140.000, selanjutnya  Rp. 130.000. Penulis menawar lagi, tapi Irma sudah enggan menurunkan harga. Mempersilakan mencari PSK lain. Saya bangkit, berjalan keluar dari Gang 3 yang kondisi dan suasananya jauh berbeda dengan Gang 2.

Gang 2 dan Gang 3 ada di satu jalan: Jalan Pasar Kembang. Jarak kedua gang dekat, lebih kurang 100 meter. Keduanya dihubungkan lorong-lorong kecil. Meski begitu, gang 2 dan gang 3 merupakan dua dunia yang kontras. Gang 2 terang, Gang 3 remang. Di Gang 2, anak-anak ramai bermain. Di Gang 3, tak kelihatan seorang anak pun. Di gang 2, ada masjid Nurul Huda. Di gang 3, mana mungkin ada masjid. 

Terangnya Gang 2 jadi penyeimbang remangnya Gang 3. Ramainya anak-anak di Gang 2 seolah mengabarkan: di Pasar Kembang masih ada harapan dan kesucian. Banyaknya jemaah masjid Nurul Huda seakan mewartakan:  cahaya spiritual juga menerangi Pasar Kembang, meski dengan terang yang tak benderang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam