22/03/15

Syariat dalam Sastra Jawa

Clifford Geertz, antropolog dari Universitas Chicago, pada 1960-an mengadakan penelitian di Jawa Timur. Dia menerbitkan laporan penelitiannya dalam bentuk buku, The Religion of Java. Menurutnya, masyarakat Jawa terpilah menjadi tiga golongan, yaitu santri, priyayi, dan abangan. sederhananya, santri adalah kelas pedagang muslim, priyayi adalah kelas bangsawan, dan abangan adalah masyarakat kelas bawah. santri berideologi islam puritan, sedangkan priyayi dan abangan berideologi sinkretis, gabungan unsur animisme-dinamisme, hindu, buddha, dan islam. kerangka berpikir Geertz menkonfrontasi islam dengan non-islam, santri dengan priyayi dan abangan. dalam kerangka berpikir itu, santri dipandang jauh dari dunia wayang; priyayi dan abangan kurang kenal islam, bahkan tidak menyukai agama arab itu.

banyak pihak tidak setuju dengan kerangka sosial yang ditemukan, ditawarkan, dan cenderung dipaksakan Geertz. trikotominya merupakan generalisasi berlebihan. ketiga golongan masyarakat jawa menurut Geertz, pada kenyataannya tidak terpilah secara jelas dan tegas. ada priyayi yang sekaligus santri. dia akrab tidak saja dengan dunia wayang, melainkan juga dengan kitab-kitab klasik agama islam. ada santri yang menyukai wayang dan sastra jawa, bahkan menggunakannya sebagai media dakwah. kaum abangan bukan sama sekali tak kenal syahadat, rukun iman, dan rukun islam. bukan kategori mutlak, tetapi klasifikasi Geertz senyatanya merupakan kontinum perkembangan islam di jawa baik secara individual maupun sosial, yang merentang dari tingkat abangan hingga tingkat santri. sepanjang rentangan itu, kaum priyayi bergerak dinamis.

sebab itulah, kita menemukan priyayi semacam mangkunegara IV yang dalam karya piwulangnya, wedhatama, mengkritik santri dul yang nggubel sarengat. di kutub lain, kita pun menjumpai hamungkubuwono I yang banyak membangun masjid, juga diponegoro yang memimpin perang jihad muslim se-jawa melawan kafir belanda.

pergerakan dinamis kaum priyayi sepanjang rentangan abangan-santri merupakan kesimpulan yang kita petik dari fakta sejarah. fakta sejarah sendiri adalah hasil tarik ulur antara idealitas dengan tantangan kenyataan. maka, pergerakan--katakanlah--ideologis kaum priyayi yang dinamis tersebut merupakan penyimpangan dari ideologi yang semula dirancang. apakah ideologi priyayi yang sebenarnya? apakah ruh kepriyayian itu?

saya tidak bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan mengusulkan pendapat yang pasti dan selesai. dalam hal itu, saya tidak punya wewenang dan kemampuan. saya hanya ingin bercerita tentang sebuah karya sastra jawa yang tidak banyak dibicarakan, yaitu serat sasanasunu.

Yasadipura II: Santri-Pujangga Jawa
sasanasunu, kadang disbut sanasunu saja, ditulis yasadipura II, satu dari tiga pujangga bukan-raja surakarta yang paling terkenal dan berpengaruh. dua pujangga lainnya adalah ayahnya, yasadipura I, dan cucunya, ranggawarsita III. sarjana barat menilai, mereka telah melakukan renaissance kebudayaan jawa dengan menyadur dan menulis sejumlah besar karya sastra. mereka meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan kebudayaan jawa setelah perang hingga sekarang.

yasadipura II diperkirakan lahir pada 1760 dan meninggal pada 1844, artinya dia menyaksikan dan mengalami perang jawa. bahkan, lebih dari itu, dia ambil bagian dalam perang jawa, sebagai juru tulis surat-surat pakubuwono IV kepada diponegoro. pakubuwono IV diam-diam memihak diponegoro. dugaan saya, yasadipura II juga memihak diponegoro.

Yasadipura II mempelajari baik budaya jawa maupun agama islam. keturunan sultan pajang ini lama nyantri di pesantren tegalrejo, ponorogo, jawa tengah, sebuah lembaga pendidikan islam yang tampaknya berhubungan dekat dengan keraton surakarta. keluarga besarnya merupakan santri yang taat. ayahnya belajar di pesantren kedu. ketika dibuang belanda di palembang, kakeknya, padmanegara, berguru kepada seorang ulama bernama kiyai jaenal abidin.

sebagai pujangga yang mengerti seluk-beluk budaya jawa dan punya wawasan keislaman yang mendalam berkat pendidikan pesantrennya, yasadipura II menghasilkan karya-karya yang berkarakter islam, walaupun karakter itu tidak selalu ditampakannya secara blak-blakan. berapa banyak jumlah karyanya, tidak diketahui pasti. masing-masing ahli menyebut angka yang berbeda. berapa jumlah pasti karya Yasadipura II sukar dihitung karena dia kerap menulis karya-karya tertentu bersama dengan ayahnya. kadang, Yasadipura I menulis bagian pertama sebuah karya, bagian berikutnya dirampungkan yasadipura II; atau sebaliknya, Yasadipura II yang memulai, Yasadipura I yang mengakhiri.

namun demikian, sering dinyatakan bahwa hampir dapat dipastikan, serat dewa ruci, serat sasanasunu, serat bratasunu, serat menak, panitisastra digubah atau pun disadur oleh Yasadipura II. ada pula yang mengatakan bahwa Yasadipura II ambil bagian dalam penulisan serat Centhini, ensiklopedi kebudayaan jawa. dewa ruci dan centhini, di samping wulangreh, wedhatama, dan babad tanah jawi, merupakan karya sastra yang populer di kalangan masyarakat jawa. jadi, yasadipura II, yang santri itu, punya andil besar dan elementer dalam membangun kebudayaan jawa, termasuk, tentu saja, kebudayaan priyayi jawa atau kebudayaan keraton. salah satu karya yang tampaknya sengaja dia tulis untuk menegakkan dan memantapkan islam jawa di lingkungan keraton adalah serat sasanasunu.

Sasanasunu: biografi dan strukturnya
yasadipura II menulis sasanasunu pada 1747 tahun jawa, sekitar 1820 M, 5 tahun sebelum perang jawa meletus. perang jawa memang disebabkan oleh komplikasi faktor struktural. namun demikian, faktor kulural atau masalah moral tidak kurang pentingnya, lebih-lebih dari sudut pandang orang Jawa. periode menjelang perang jawa adalah tahun-tahun kemerosotan moral, bersamaan dengan semakin merasuknya intervensi kolonial ke dalam lingkaran keraton. dinamika kultural berkembang ke arah yang negatif karena adanya pertemuan antara priyayi jawa dengan kebudayaan barat, walaupun pertemuan dua budaya yang berbeda ini tentulah bukan satu-satunya penyebab.

merosotnya moralitas di lingkungan priyayi ternyata sejalan dengan merosotnya moralitas di kalangan rakyat di luar tembok keraton. mabuk, madat, dan berjudi sudah menjadi perilaku rakyat yang gampang ditemui. kematian karena madat, tidak kecil jumlahnya. banyak orang menjadi miskin karena berjudi. aneka masalah sosial ini bergema dalam dan tercermin pada serat sasanasunu, khusunya pada bagian yang membahas tentang syariat.

sasanasunu tersusun dari 4 bagian, dengan 466 bait yang dirangkai menjadi 14 pupuh: 5 dhandhanggula, 3 sinom, 2 kinanthi, 1 asmaradana, 1 megatruh, 1 pucung, dan 1 mijil. bagian pertama, pembukaan, dilanjutkan dengan keterangan tentang sistematika penulisan. bagian kedua, pembahasan. ada 12 masalah yang dibahas. panjang-pendek pembahasan tidak konsisten. ada masalah yang pembahasannya menghabiskan 71 bait, tetapi ada juga yang hanya memerlukan pembahasan sepanjang 3 bait. secara berurutan, kedua belas masalah yang dibahas itu adalah (1) takdir sebagai manusia, (2) anugerah sandang pangan, (3) nafkah, (4) syariat islam, (5) aturan berpakaian dan kegemaran, (6) persahabatan, (7) makan, tidur, dan bepergian, (8) menghormati tamu, (9) adab berbicara, (10) status sosial, (11) susutnya derajat dan berpindahnya wahyu, dan (12) perubahan zaman (zaman kalisengara).

Syariat di Mata Yasadipura II
bagi saya, sesuai dengan topik tulisan ini, masalah yang paling menarik adalah masalah ke-4, yaitu syariat islam, yang dalam sasanasunu disebut sarengat dan/atau sarak. perhatian yang dicurahkan yasadipura II terhadap masalah ini bisa dibilang besar. pembahasan syariat cukup panjang, hingga 45 bait, lebih dari satu pupuh, sepersepuluh isi serat sasanasunu. sarjana yang menyetujui pendapat Geertz bahwa priyayi bukan santri, lebih jauh lagi bahwa jawa kurang islam bahkan tidak islam, pasti terkejut dengan pandangan dan ajaran Yasadipura II tentang syariat. dia memberi syariat harga yang tinggi.

yasadipura II menulis bahwa kita, anak cucunya, wajib memeluk agama islam tidak secara nominal belaka, melainkan hingga melaksanakan sarengat kanjeng rasul. perintah dan larangan harus diingat. semua hukum, harus diperhatikan. bahkan, perkara yang meragukan (mutasyabihat) harus pula dicermati. halal dan haram, harus dimengerti, baik makna lahiriahnya maupun batiniahnya. yang halal lebih dari sekadar yang dibolehkan. halal adalah segala yang termasuk ke dalam kabaikan. hasil dan tujuan kehalalan adalah kesucian hati (tyase suci) dan kesadaran (nora lali). jika itu berhasil dicapai, tidak ada lagi tabir penghalang dan pembatas antara kita dengan Tuhan. tabir itu tidak tersingkap sepanjang kita mengabaikan apa yang haram. sebab, yang haram sesungguhnya tabir penghalang dan pembatas itu sendiri. apabila kita menghindari segala yang haram, segala doa kita pasti diterima. inilah imbalan atas kepatuhan kita dalam melaksanakan syariat.

 secara hierarki laku keagamaan, syariat ada pada posisi yang fundamental. syariat itu laku badaniah (lakuning badan), tarekat itu laku hati (lakuning hati), hakikat itu laku jiwa (lakuning nyawa), sedangkan makrifat itu laku rasa (ing rasa den pakeling). karena itu, sebagi laku keagamaan dasariah, syariat tidak boleh ditinggalkan. kalau ditinggalkan, akibatnya merusak: badan kita tidak sanggup mewadahi kecenderungan spiritual buah dari laku hakikat, tarekat, dan makrifat.

sarengat lakuning badan
tarekat lakuning ati
kakekat lakuning nyawa
makripat ing lakuneki
ing rasa den pakeling
kawruhana lakunipun
nanging aja atilar
ing sarengat lakuneki
yen tilara nora kuwat badanira

(transliterasi oleh sudibjo ZA, 1980: 107)

ternyata, pandangan dan ajaran yasadipura II tentang sufisme tidak heterodoks. itu artinya, jauh dari penilaian umum yang selama ini berkembang, kejawaan pada dasarnya dibangun dengan asas keislaman yang neo-sufistis. kejawaan, khususnya yasadipura II sebagai peletak dasar-dasar kejawaan, bersikap tidak positif terhadap heretisme.

yasadipura II tampaknya memahami bahwa dalam perjalanan spiritual syariat bukan tangga yang apabila pejalan spirtual telah mencapai puncak pengalaman rohani, tangga itu boleh dan bisa dibuang begitu saja. lebih dari sekadar tangga, syariat adalah wadah. syariat bahkan merupakan tata krama. bagi orang jawa, meninggalkan tata krama termasuk perkara tabu. karena syariat adalah tata krama hamba terhadap tuhannya juga terhadap makhluk-Nya, syariat pun tabu untuk ditinggalkan. yang meninggalkan syariat adalah pendurhaka besar yang terlaknat. dia telah dikendalikan setan. dia bakal mendapat murka kangjeng rasulullah, juga murka tuhan. murka kangjeng rasulullah identik dengan murka tuhan karena kangjeng rasulullah sebenarnya merupakan iluminasi (tajali) tuhan.

agar tidak dimurkai tuhan dan tidak menjadi pendurhaka besar yang terlaknat, kita jangan kafir, jangan pula musryik. berbeda dari dosa maksiat, dosa musyrik sukar pemulihannya. pertaubatan dari dosa musysrik, kecil kemungkinan diterimanya. jika tuhan tidak menerima pertaubatan tersebut, kita bakal mengalami berbagai malapetaka (pancabaya). jadi, mengabaikan syariat, itulah penyebab malapetaka dan bencana.

karena itu, jangan mengabaikan syariat. jangan pula meremehkan dan mengolok-olok kitab suci di mana terdapat dalil-dalil syariat. jika tak mampu melaksanakan hukum islam, jangan membantah dan mencelanya. yang menertawai orang yang salat, adalah penjelmaan setan. dosanya berlipat ganda, yaitu dosa meninggalkan salat dan dosa mengolok-olok orang yang salat, sebagaimana berlipat gandanya dosa peminum arak yang menghalalkan arak.

meskipun ada tuntutan keras untuk menjalankan syariat, yasadipura II mengakui, mengikuti dengan sempurna jejak ketaatan nabi (ngepleki sarengat nabi) tidaklah mudah. sekali pun demikian, jika tuhan menghendaki, kita pasti bisa menjalankan syariat secara tuntas sehingga memperoleh gelar mukmin sejati (mukmin kas).

Lima Jenis Mabuk
jika tuhan menghendaki, kita pasti bisa, misalnya, menjauhi minumam keras. minuman keras harus dijauhi dan dihindari karena dua hal. pertama, karena haram. kedua, karena tidak ada manfaatnya. orang yang mabuk, kesadarannya hilang. kehati-hatian (weweka) dan tata krama (subasita) juga hilang. perhatiannya tidak menghadap kepada tuhan lagi (ginggang madhepe mring Suksma). inilah kerugian dan kerusakan akibat mabuk minuman keras.

mabuk memang seringkali disebabkan minuman keras. tapi, karena yasadipura II merumuskan pengertian mabuk yang melampaui batasan fisis fikihiyah, maka baginya mabuk karena minuman keras bukan satu-satunya jenis mabuk--saya kira, dalam wawasan yasadipura II, sebagaimana dalam wawasan Imam Ghazali, fikih merupakan bagian dari tasawuf. menurut Yasadipura II, mabuk ada lima jenis. pertama, mabuk minuman keras. kedua, mabuknya anak muda. anak muda yang rupawan cenderung sombong. merasa paling tinggi dan paling baik. itu indikasi bahwa dia kehilangan kesadaran, artinya dia pada hakikatnya mabuk. mabuk jenis ini, seperti halnya mabuk karena minuman keras, hukumnya haram.

kedua, mabuk kawiryawan. kata kawiryawan sulit dicari padanannya dalam bahasa indonesia. sudibjo ZA, penerjemah serat sasanasunu edisi departemen pendidikan dan kebudayaan (1980), menerjemahkan kawiryawan sebagai kewibawaan, dan menerjemahkan endeming kawiryawan sebagai mabuk kewibawaan atau mabuk akan kesenangan. terjamahan itu tampaknya terlalu jauh. arti harfiah dari kawiryawan adalah kepahlawanan, tetapi dia tampaknya digunakan pula untuk arti yang lebih khusus: kepahlawanan yang berhubungan dengan keprajuritan. prajurit negara yang secara populer dipahlawankan menikmati pencapaian psikologi dan duniawi yang istimewa. pencapaian itu berpotensi membuatnya mabuk.

sederhananya, kawiryawan barangkali dapat dipahami sebagai heroisme, sifat merasa menjadi pahlawan. orang bisa mabuk karena heroisme. dia merasa kuat, hebat, dan menang sendiri. dia selalu ingin memperoleh setinggi-tingginya penghormatan dan sebanyak-banyaknya kesenangan. siang malam ingin merasakan kesenangan. ingin selalu makan enak dan tidur enak. ingin terus hidup dalam kesenangan yang silih berganti. sebagaimana dua jenis mabuk sebelumnya, mabuk karena heroisme tidak dibolehkan. hanya ada satu cara yang realistis untuk menghindari mabuk jenis ini, yaitu membersihkan hati dari heroisme. yasadipura II memang memahami fikih sebagai bagian dari tasawuf.

mabuk keempat, mabuk hawa nafsu. ini jenis mabuk yang membahayakan. pengikut hawa nafsu merasa benar sendiri. baginya, orang lain selalu salah. kalau nafsunya tak terpenuhi, dia bersikap keras dan kasar terhadap orang lain, khususnya orang-orang terdekatnya, antara lain isteri dan temannya. dia mudah kalap karena bermata gelap dan berpikir pendek. dengan dampak seburuk itu, mabuk hawa nafsu dilarang agama. hukumnya sudah jelas: haram. islam menentang perilaku jahiliyah ini.

mabuk kelima, gemar tanpa batas terhadap sesuatu. contohnya, memelihara burung secara wajar, itu tidak buruk; tidak pula dilarang. tapi, gemar memelihara burung secara berlebihan, buruk akibatnya. penghasilan bisa habis hanya untuk membeli dan merawat burung. anak isteri tak terurus. keluarga remuk. ketanpa-batasan pada akhirnya tidak pernah baik. karena itu, dia dilarang. hukum menggemari sesuatu tanpa batas adalah haram.

mabuk karena minuman keras dan keempat jenis mabuk lain haram karena punya satu kesamaan: sama-sama menyebabkan pelakunya lupa kepada tuhan. kebajikan bermakna apa lagi yang dapat kita lakukan kalau kita sudah melupakan tuhan. pondasi kebajikan bermakna, amal saleh istilah quraniknya, adalah kesadaran (eling). orang arab menyebut eling sebagai dzikr. yasadipura II memungkasi pembicaraan tentang mabuk dengan kalimat berikut.

....
kalamun manungsa wis
kanggonan ndem lilimeku
kagem dadya satunggal
tan wurung nemu nisthip
aben-aben katekan bilahi dunya

nora nganggo ing ngakirat
ing dunya bae pinanggih
denya sru karam makaram

sudibjo ZH menerjemahkannya sebagai berikut.

....
jika seseorang telah
ditempati kelima jenis mabuk itu
pastilah akan mengalami kepapaan
bahkan mungkin akan mengalami siksa dunia

tak usah menunggu lagi zaman akhirat kelak
di dunia ini saja sudah ia temui kesengsaraan itu
semua itu disebabkan karena sangat menggemari hal-hal yang haram
....

Hukum Madat dan Judi
setelah membahas keharaman mabuk, yasadipura II menerangkan hukum madat. keputusan fikihiyah yasadipura II tentang madat, tegas. madat itu haram karena memabukkan. syariat mengharamkan apa pun yang bikin mabuk. apabila kita sudah kecanduan opium, kita sebenarnya tidak lagi mengonsumsi opium, tapi sebaliknya, kita malah dimakan opium; dudu wong kang mangan apyun/apyun kang mangan janma. akibat terburuk opium atau madat bagi konsumennya adalah kematian. karena itu, penghisap opium sesungguhnya menganiaya diri sendiri. islam tidak membenarkan penganiayaan baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri.

akan tetapi, hukum mengonsumsi opium tidak selalu haram. untuk tujuan pengobatan, opium boleh dikonsumsi dengan kadar dan takaran terbatas. opium halal, dengan sejumlah syarat dan ketentuan. ketika menjelaskan tentang kehalalan bersyarat opium ini, yasadipura II merujuk pada kitab sarahbayan, barangkali teks fikih yang populer di kalangan santri jawa pada masanya. yasadipura II tidak merasa perlu menyebutkan judul asli kitab tersebut dan siapa pengarang dan pensyarahnya.

seringkali, penghisap opium juga penjudi. karena dua hal ini, yaitu madat dan judi, kita menjadi orang yang durjana. perjudian papar Yasadipura II, dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam jurang kehidupan yang hina. itulah sebabnya, syariat mengharamkan perjudian.

lan malih wawaleringwang
nak putu ywa nglakoni
ing penggawe ngabotohan
kalebu nisthaning urip
dhasaring sarakneki
kinaramaken satuhu
laire luwih nistha
dadya lip-alipaneki
wong durjana saking madat ngabotohan

ada lagi laranganku
yang anak cucu tak boleh menjalankannya
ialah berjudi
berjudi itu termasuk pekerjaan hina
menurut asas di dalam hukum syarak
pun diharamkan
secara lahir pun sudah nista
dan hal itu dapat menjadi jalan kesesatan
dasar seorang durjana biasanya karena madat dan judi

(transliterasi dan translasi oleh sudibjo ZA, 1980: 113-4; 17)

Dilarang Percaya Ramalan
selain madat dan judi, percaya terhadap ramalan hasil perhitungan wuku-pun diharamkan. percaya akan hal itu bukan saja tidak baik, tetapi juga meracuni tauhid. pelakunya dinilai kufur oleh syariat. dia menduakan tuhan, sasat ngroro pangeran. gejala yang sejenis dengan wuku, yaitu ilmu laduni, falak, falkiyah, dan nujum, menurut kaul fikih yang kuat (kaul ingkang ekas), juga diharamkan.

tampaknya, yang dimaksud falak (palak) dan falkiyah (palkiyah) oleh Yasadipura II bukanlah astronomi, tetapi astrologi, atau astronomi yang digunakan secara menyimpang untuk tujuan meramal nasib. wuku, laduni, palak, palkiyah, dan nujum adalah kata-kata yang mengacu pada sebuah gejala yang sama, yaitu ramalan.

Yasadipura II, di samping mengemukakan pendapat yang kuat tentang ramalan, juga menunjukkan pendapat yang lemah (kaul langip). ini menunjukkan, dia mengajarkan syariat dengan penuh pengertian dan pemakluman, tetapi juga dengan ketegasan, tanpa terlampau memaksakan suatu pendapat yang kebenarannya dia yakini.

pendapat yang lemah tentang ilmu ramal-meramal menyatakan, yen sira yun uninga ing ngelmu kasab//kang winening ing agama, diterjemahkan dengan: sekirannya engkau ingin mengerti tengang ilmu kasab (ilmu mencari nafkah)//hendaknya mengambil yang dibenarkan oleh agama (sudibjo ZA, 1980: 18). penerjemahan ilmu kasab sebagai ilmu mencari nafkah, dalam konteks ini, saya pikir tidak pas. 

memang, kasab dalam bahasa arab merupakan bentuk turunan dari akar kata k-s-b, yang artinya berhubungan dengan usaha untuk mencari atau memperoleh harta. kalau arti harfiah ini yang dipakai, kita gagal membangun makna satuan teks yang bulat dan menyeluruh. antara keharaman ilmu meramal dengan ilmu mencari nafkah, tidak ada hubungan langsungnya. ilmu kasab dengan arti seperti ini baru dapat kita gunakan jika kita menakwilkan frasa 'ilmu kasab' berdasarkan data-data tekstual yang melingkunginya. artinya, pengertian 'ilmu kasab' diperluas sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konteks tektstualnya. dengan begitu, ilmu kasab dipahami sebagai 'ilmu mencari nafkah berlandaskan ramalan' atau 'ilmu meramal yang dimanfaatkan untuk mendukung usaha mencari nafkah'.

namun demikian, kita tak perlu bersusah payah menakwilkan 'ilmu kasab'. sebab, kata 'kasab' pada frasa tersebut boleh jadi diturunkan dari akar k-s-b, tetapi boleh jadi pula diturunkan dari akar h-s-b. lidah jawa sukar mengucapkan h. sebab itu, huruf h sering dibunyikan secara 'kreatif' menjadi 'k'. jadi, 'ilmu kasab' yang disebut Yasadipura II adalah 'ilmu hasab' yang disalah-bunyikan. arti akar h-s-b antara lain menghitung, membilang, menyangka, mengira, dan (kira-kira) cukup. ilmu wuku atau pawukon termasuk ngelmu petungan, ilmu hitung atau matematika klenik. palak, palkiyah, dan nujum, sebagaimana pawukon, mengandung aspek matematis. hanya laduni yang tidak bersifat matematis. barangkali, matematika klenik yang digunakan untuk meramal inilah yang disebut Yasadipura II sebagai ilmu kasab. ilmu laduni digolongkan sebagai ilmu kasab karena identik dengan ramalan.

menurut kaul yang lemah, kita boleh mempelajari ilmu kasab, tetapi tidak semua ilmu kasab, melainkan hanya ilmu kasab yang dibenarkan agama. kendati Yasadipura II membentangkan kepada kita dalam sasanasunu pendapat lemah tentang ramalan atau ilmu kasab, dia tampak tidak bersimpati dengan pendapat ini. kelihatannya, dilihat dari keterangan yang diberikannya untuk pendapat kuat dan pendapat lemah--keterangan tentang pendapat kuat lebih panjang, yasadipura II mengambil pendapat yang kuat. dia memberi tekananan khusus bahwa (percaya) ramalan itu dilarang syariat.

larangan yang datang dari jantung budaya jawa ini mengejutkan. kehidupan masyarakat jawa tidak dapat dipisahkan dari ramalan, khususnya pawukon atau petungan. ramalan bahkan merupakan unsur pembangun kebudayaan jawa. sementara itu, yasadipura II, sebagai peletak dasar kebudayaan jawa, justru melarang pawukon.

Fikih Gamelan
tidak kurang mengejutkan daripada hal itu adalah larangan memainkan gamelan. namun, larangan ini tidaklah mutlak. leluhur jawa, tulis Yasadipura II, melarang anak cucunya memainkan gamelan pada upacara pernikahan. dia tidak menjelaskan apa alasannya.

gamelan dilarang bukan saja kerena leluhur telah melarangnya, tetapi juga karena syariat pun melarangnya. sebenarnya, masalah musik dan nyanyian hingga sekarang masih merupakan polemik fikihiyah. satu pendapat tegas mengharamkannya. pendapat lain cukup toleran. Yasadipura II tidak berpihak kepada pendapat yang pertama.

menurutnya, gamelan boleh dimainkan, asal tidak pada upacara pernikahan. pada upacara khitanan (tetakan) dan nujuh bulan (tingkeban), gamelan boleh dimainkan, walaupun itu tampak kelewat mewah (gegedhen nganggo gamelan). Yasadipura II sadar, hal itu memang sedikit melanggar peraturan (narajang waler sakedhik). tapi, bagaimana pun juga, gamelan telah menjadi tradisi (kalumrahaning urip). lagipula, sudah sepantasnyalah kita, sebagai abdi raja, memainkan gamelan pada upacara khitanan dan nujuh bulan.

tradisi menhendaki kita untuk tetap memainkan gamelan, meskipun itu dilarang leluhur dan syariat. jalan keluar dari dilema ini, sebelum gamelan dimainkan, kita berdoa memohon restu (dan ampun) kepada tuhan. kedua, perlu pula diadakan ritual untuk memohon restu dari leluhur. bila direstui, gamelan dimainkan. restu itu disampaikan melalui mimpi.

Kewajiban Belajar
kalau hukum gamelan masih problematis, hukum belajar tidak. kita harus belajar, dengan sungguh-sungguh. pelajar harus memperhatikan dan menjalankan etika menuntut ilmu.

den kerep nggugulang ngelmi
nggugurua para ngulama
lawan den kerep tatakon
minta waraning sujana
den bisa anoraga
aywa kuminter kumingsun
nadyan silih wusa bisa

api-apia tan bangkit
angarah wuruking liyan
menawa liya murade
kabecikan lan kamulyan
awit saking tumitah
prepteng wusananing maut
kamulyaning sangkan paran

rajin-rajinlah engkau mempelajari ilmu
berguru kepada para ulama
dan bertanyalah sebanyak mungkin
dalam hal minta ajaran para budiman
dan disertai pula dengan sopan santun
sekali-kali jangan sok pintar atau merasa diri paling hebat
meskipun engkau sudah mengetahui sesuatu masalah

lebih baik berpura-pura tidak dapat atau tidak mengerti
dalam usaha mendapatkan pengetahuan dari yang lain
siapa tahu ternyata penjelasannya berbeda
dan ternyata dapat mendatangkan kebaikan dan kemuliaan
duniawi
hingga ukhrawi
yang dapat disebut kemuliaan awal akhir

(transliterasi dan translasi oleh sudibjo ZA, 1980: 118; 21)

Kaifiyat Baca Kitab
kaifiyat atau metode membaca kitab dapat dimengerti sebagai bagian dari etika menuntut ilmu. Yasadipura II mengingatkan, dalam membaca kitab, janganlah kita terlena sehingga melupakan dan tidak mengamalkan ajaran yang dikandungnya. jangan pula terpesona dengan lagu pembacaannya saja. kitab-kitab jawa, termasuk yang ber-genre piwulang, dibacakan dalam forum dengan melagukannya. pembacaan berlagu ini disebut macapatan, persis seperti santri bertilawah al-quran.

karena asyik berlagu, pembaca lupa mengurai ajaran dan makna kitab yang dibacanya. lebih buruk dari itu, bagi muda-mudi, khususnya pada zaman Yasadipura II, forum macapatan malah menjadi ajang pamer keindahan suara. hal itu, tulis Yasadipura II, selain tidak bermanfaat, juga ngalingi lalandheping tyas, menabiri ketajaman hati.

macapatan, membaca kitab dengan berlagu, bukan tidak boleh. bukan pula tidak ada manfaatnya. metode macapatan justru diperlukan agar pembaca tidak lekas bosan. juga agar kita tertarik dan gemar membaca. akan tetapi, metode macapatan jangan sampai membuat kita lalai, mengesampingkan tujuan sejati membaca kitab atau buku. Yasadipura II menutup nasihatnya tentang kaifiyat membaca kitab dengan, kang winoco den aemut/catheten ing wardayanta; apa yang dibaca harus diingat, catatlah dalam hati sanubarimu. kalimat ini mengakhiri pembahasan tentang masalah syariat dalam serat sasanasunu, yang menggambarkan pandangan dan ajaran Yasadipura II tentang syariat.

serat sasanasunu menunjukkan bahwa jawa pada dasarnya identik dengan islam. klasifikasi sosial geertzian, yang memisahkan santri, priyayi, dan abangan, terbantah oleh data tekstual yang kita temukan dalam sasanasunu. klasifikasi tersebut pada kenyataannya merupakan kontinum perkembangan islam baik secara individual maupun sosial. pada puncak perkembangan itu kita menemukan pribadi semacam yasadipura II yang di dalam dirinya terhimpun kepriyayian sekaligus kesantrian. dalam kasus yasadipura II dan serat sasanasunu karangannya, priyayi bukan hanya identik dengan santri, jawa bukan hanya identik dengan islam, tetapi bahkan kesantrian merupakan galih kepriyayian, dan islam merupakan galih kejawaan (kejawen).

keraton jawa, dalam konteks ini keraton surakarta di mana Yasadipura II mengabdi dan mengajar, mengembangkan wawasan islam yang ortodoks tetapi moderat. berdasarkan data tekstual dalam serat sasanasunu, Yasadipura II adalah santri-pujangga yang cenderung berpaham neo-sufisme. doktrin yang diajarkannya tidak heretik. dia mengarus-utamakan syariat. baginya syariat merupakan wadah atau wadak, sedangkan isi atau ruhnya adalah tasawuf. yasadipura II, sebagaimana imam al-ghazali, memahami fikih sebagai bagian dari tasawuf.

syariat, fikih, dalam serat sasanasunu, dengan demikian juga dalam sastra jawa secara relatif, memperoleh perhatian dan kedudukan tinggi dan istimewa. yasadipura II tampaknya menulis sedemikian banyak karya sastra antara lain untuk mengajarkan islam dengan medium kebudayaan jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam