08/05/16

Berdikari, Keinginan yang Mustahil

Siapa tak kenal Soekarno? Dia proklamator Republik Indonesia. Salah seorang founding fathers bangsa kita, di samping Hatta. Oleh pemujanya—jadi lebih dari sekadar pengagumnya—Soekarno diperlakukan sebagai raja, Ratu Adil, bahkan dewa. Dewa kebal dari dosa. Dia tidak berada di luar lingkaran kebenaran.
Tapi, bagi korban-korban politiknya, juga bagi para kritikusnya, Soekarno adalah manusia biasa. Sebagaimana manusia pada umumnya, Soekarno ialah paradoks yang harmonis, ambivalensi yang dinamis. Bukan saja tidak luput dari kesalahan, tetapi dia kerap salah, walaupun motif tindakannya belum tentu salah.
Di antara semua kesalahan Soekarno, ada jenis kesalahan yang jarang dibicarakan, yaitu kesalahannya dalam berbahasa. Karena berbahasa identik dengan menalar, kesalahan berbahasa Soekarno itu menjadi kesalahan berpikir juga.
Dia mengenalkan istilah berdikari, akronim dari berdiri di atas kaki sendiri, yang kemudian menjadi jargon politik, salah satu jangkar konseptual ideologi Marhaenismenya. Dengan menciptakan istilah itu, dalam satu jurus ujar, Soekarno melakukan dua kali kesalahan berbahasa.
Pertama, dia mengbastrakkan apa yang konkret. Dia menciptakan kata yang menyihir. Kata sihir yang mengandung sihir kata, digunakan dalam propaganda. Tujuannya, memengaruhi audiens. Lebih lugasnya, menyetir audiens. Kata-kata, apalagi yang abstrak, yang acuan indrawinya tak mudah dilacak, bisa menjelma sebagai mantra jika masuk dalam gelanggang politik.
Terpukau kata berdaya sihir, audiens tidak merasa perlu mengusut maknanya yang awal. Kata seperti itu diterima begitu saja hanya karena terdengar hebat atau tampak gagah. Kata berdaya sihir, berdikari misalnya, menjauhkan audiens dari kritisisme. Politik bahasa Soekarno ini kelak ditiru penerusnya, Soeharto, dengan hasil yang lebih efektif. Soeharto tahu betul, menguasai bahasa adalah mengendalikan pikiran.
Kesalahan berbahasa kedua bukan lagi pada berdikari sebagai sebuah akronim, tetapi pada frasa yang diakronimkan menjadi berdikari itu: berdiri di atas kaki sendiri. Berdiri di atas kaki sendiri adalah tindakan yang mustahil. Sejak dunia diciptakan sampai dihancurkan kelak, berdikari tidak mungkin terjadi, kecuali kalau kita mengamputasi salah satu kaki kita, kemudian kaki yang lain tegak di atas bangkai kaki amputasian tersebut. Itu pun kita berdiri secara tidak sempurna. Berdiri yang sempurna adalah berdiri dengan sepasang kaki, kanan dan kiri.
Mengapa Soekarno, dalam kasus berdiri di atas kaki sendiri, gagal berpikir logis? Barangkali, karena imajinasinya melambung kelewat tinggi sehingga lepas dari kontrol logika. Penderitaan hidup yang panjang, dari penjara ke penjara, dari pembuangan ke pembuangan, kadang menerbangkannya ke langit khayal yang tinggi. Akibatnya, dia tidak selalu berpijak di bumi logika. Dalam psikonalisis, gejala kegagalan berbahasa sekaligus kegagalan menalar yang disebabkan tekanan kejiwaan adalah hal yang wajar.
Secara psikoanalisis, sebagai manusia biasa, kesalahan berbahasa Soekarno bisa dimaklumi. Tapi sebagai founding fathers, teladan kebangsaan dalam hal berpikir—laku budaya paling elementer—kesalahan berbahasa Soekarno tidak bisa, juga tidak boleh, dilupakan.
Walaupun artinya tidak logis, maksud berdiri di atas kaki sendiri cukup terang. Soekarno ingin rakyat Indonesia secara mikro, bangsa Indonesia secara makro, mandiri dalam bidang ekonomi. Tidak bergantung kepada siapa pun. Tidak didikte bangsa lain. Itulah syarat kemerdekaan hakiki, yang pada gilirannya menjadi syarat keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Selama ekonomi kita dikendalikan bangsa lain, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat hanya omong kosong.
Pada zamannya, gagasan kemandirian ekonomi bangsa bukan monopoli Soekarno. Dalam hal ini, dia bukan penemu gagasan jenial. Kemandirian ekonomi bangsa adalah episteme, visi kolektif kaum pergerakan nasional, sebagai antitesis pengalaman kolonialistik.
Hatta bicara tentang kemandirian ekonomi. Dia merintis dan mengawal gerakan koperasi. Ki Hadjar juga mengajarkan kemandirian ekonomi. Kalau Soekarno menciptkan semboyan berdiri di atas kaki sendiri, Ki Hadjar menggubah pepatah Jawa opor bebek mentas awake dhewek, bebek opor mematangkan dirinya sendiri. Bebek yang sedang dimasak opor, mengeluarkan minyak. Dengan minyak mandiri itu, bebek matang, kemudian dientas sebagai santapan yang siap makan. Kita tak perlu memasak opor bebek dengan minyak eksternal, seperti jika kita menggoreng ayam.
Agar sesuai dengan nalar, frasa berdiri di atas kaki sendiri perlu dimodifikasi. Hanya dimodifikasi, tidak diganti total, untuk menghormati Soekarno dan pemikirannya. Modifikasinya: berdiri dengan kaki sendiri. Dengan begitu, metafornya menjadi gamblang dan berdaya.
Ada godaan metonimik dalam frasa modifikatif tersebut: berdiri dengan kaki sendiri, bukan dengan kaki orang lain. Berdiri dengan kaki sendiri, itulah berdiri yang sejati dan sempurna. Jika kita sebenarnya mampu berdiri dengan kaki sendiri, tetapi ternyata berdiri dengan topangan orang lain, kita sewajarnya dan seharusnya merasa tidak percaya diri. Hal itu menunjukkan betapa jongkoknya mentalitas kita. Saya yakin, persis begitulah Soekarno memahami semboyan berdikari-nya.

Dengan segenap ambivalensinya, Soekarno membangunkan rakyatnya dari tidur keterjajahan. Dia menyalakan api kemerdekaan yang lama padam dalam dada mereka. Lepas dari kesalahannya dalam berbahasa dan menalar, juga dari dosa-dosa politiknya, kita berkewajiban mengenangnya. Mengenangnya sebagai pejuang yang rapuh. Mengenangnya sebagai manusia yang mengejar kebenaran, tetapi sesekali tersandung keteledoran, sehingga terjatuh dalam kesalahan. Kita, yang sama-sama manusia, juga demikian: ambivalen. Tanpa sadar, ambivalensi kita itu sering tampil dalam tindak berbahasa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam