27/05/16

Manusia Modern, Agama, dan Islam

Sejak paruh kedua abad ke-20, gereja Katolik Eropa menghadapi tantangan besar: dekristenisasi. Gelombang sekulerisme semakin tidak terbendung. Semangat ritualistik masyarakat Eropa merosot. Geraja mulai ditinggalkan jemaat. Manusia modern menjadi semakin skeptis terhadap agama.
Apakah skeptisisme manusia modern hanya terarah pada agama Katolik saja? Ternyata tidak. Agama lain pun, dalam hal ini yang berkarakter legalistik dan sistemik, yaitu Islam, menjadi sasaran kritik, kalau bukan objek sinisme dan kebencian, sekurang-kurangnya kecurigaan. Inilah barangkali yang menjadi bingkai paradigmatik sebagian orientalis dalam mengkritik agama Islam dan mengkronstuksi citra Islam yang serba negatif dalam diskursus akademik. Kritik manusia modern terhadap Islam semakin menajam ketika peristiwa besar yang mengubah konfigurasi dunia Islam terjadi: revolusi di Iran pada 1979. Bertolak belakang dengan visi yang sekian abad, sejak era Renaissance, diperjuangkan manusia modern untuk menempatkan agama di bawah kontrol negara, revolusi Islam Iran merobohkan tatanan negara modern untuk kemudian meletakkan agama di atas dan sebagai dasar bagi negara.
Tentu saja, karena itu manusia modern secara psikofilosofis menyikapi revolusi Islam tersebut, juga gemanya ke seantero wilayah Islam, sebagai ancaman humanitas. Mereka takut, sejarah bukan mengarah lurus maju ke depan meninggalkan masa lalu yang kelam, tetapi mundur ke belakang ke abad pertengahan, kurun yang dalam literatur Eropa disebut sabagai Dark Age, zaman kegelapan, ketika lembaga agama mengatur gerak langkah kerajaan dengan kewenangan hampir absolut, kondisi yang mengantarkan gereja dan kerajaan melakukan korupsi kolektif dalam tindak kezaliman terhadap humanitas.
Kebangkitan negara bangsa, juga apologi filosofis atas keberadaannya, berakar pada trauma historis yang dialami masyarakat Eropa akibat perselingkuhan gelap antara agama dengan kerajaan pada abad pertengahan. Geraja memapankan teologi skolastik yang mengawang-awang di langit metafisik dan jauh dari kerasnya kenyataan hidup sehari-hari di bumi. Agama gagal menjalankan peran mesianistiknya untuk, dalam ungkapan biblikal, memberi roti kepada orang-orang lapar. Agama menjadi tidak berpijak pada realitas.
Sebagai respons atas kemandulan dan kesontoloyan agama tersebut, sejumlah cendekiawan maju untuk mengkritik agama. Sebab, setelah ditelusuri cermat, agamalah yang menjadi biang kerok derita masyarakat. Terpangil oleh hati nurani dan akal sehat, mereka menabahkan diri untuk siap menjadi martir seperti Socrates yang dihukum minum racun karena kebenarannya, seperti nabi-nabi yang diusir dari kampung halamannya bahkan dibunuh karena menyebarkan kebenaran, atau seperti teladan agung mereka sendiri: Kristus yang rela disalib demi menebus dosa manusia dan membangun kerajaan ilahi.
Martin Luther menawarkan proyek reformasi, dengan mana lahirlah agama Kristen Protestan, suatu agama yang dilandasi semangat modern dan berpijak pada realitas. Copernicus dan Galileo membantah heliosentrisme skolastik dan menyodorkan geosentrisme saintifik. Decartes mengganti kesadaran teosentris dengan kesadaran baru: antroposentrisme yang berpusat pada pikiran. Poros sejarah bukan lagi Tuhan, melainkan manusia. Pada kurun selanjutnya, Comte menyatakan bahwa agama hanyalah masa lalu bagi umat manusia, sembari menegaskan bahwa sains positif adalah alat yang diperlukan manusia modern untuk mencapai progresi. Jauh sebelum negara-bangsa berdiri setelah revolusi Perancis, Hobbes menulis risalah Leviathan-nya: agama harus diperlakukan sebagai alat bagi negara-kekuasaan dalam rangka mencapai stabilitas dan kedamaian sosial. Feuerbach menyatakan bahwa Tuhan adalah proyeksi manusia, tidak lebih dari sekadar imajinasi dan konsep belaka. Marx melihat agama, yang berada pada ranah suprastruktur masyarakat kapitalis, sebagai candu bagi kelas pekerja, juga sebagai perpanjangan tangan ideologi kapitalisme. Selanjutnya, Nietzsche memproklamasikan kematian Tuhan, kemudian Freud mengkategorikan agama sebagai gejala kegilaan.
Dengan kecenderungan intelektual untuk mengeluarkan agama dari ruang publik dan mengurungnya dalam ruang privat, bahkan menghapuskan keberadaan agama sekali pun dalam ruang privat, tidak heran jika manusia modern membaca Islam-sebagai-teks hampir selalu dengan pendekatan hermeneutika kecurigaan, lebih-lebih setelah Revolusi Islam Iran, lebih-lebih lagi setelah terorisme al-Qaeda. Jadi, kritik manusia modern terhadap Islam tidak saja disebabkan sikap sementara umat Islam yang eksklusif dan radikal, tetapi juga dilatarbelakangi oleh trauma sejarah yang mereka alami pada abad pertengahan.
Karena itu, untuk menepis kecurigaan manusia modern terhadap Islam, selain harus menampilkan Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang, umat Islam pun harus memfungsikan agama sebagai jawaban terhadap persoalan ekonomi-politik rakyat. Teologi memang merupakan bangunan metafisis, tetapi ia perlu menunjukkan wajah praksisnya. Bahwa ketuhanan merupakan continuum kemanusiaan, demikian pula sebaliknya, perlu diterjemahkan dari sekadar konsep menjadi aksi. Fikih tidak tinggal diam saat menyaksikan rakyat, umat Islam lapis bawah, menjadi korban kerakusan kapital, yang seringkali menggunakan negara sebagai perangkat persuasif, koersif, bahkan represif. Ulama berperan sebagai anjing galak yang menggonggong apabila terjadi korupsi kekuasaan, bukan menjadi anjing yang menjilat kaki tuannya: penguasa yang gagal menjalankan fungsi kekhalifahan sebagai manifestasi kehambaan.

Ringkasnya, sebagaimana garis besar ajaran Nabi Muhamad, di samping dituntut untuk kembali ke khittah-nya sebagai agama kasih sayang, Islam pun harus tampil kembali sebagai agama kerakyatan, yang memberi roti pada orang-orang lapar, atau dalam bahasa hadits: memberi makan bagi orang yang lapar, memberi pakaian bagi orang yang telanjang, memberi tempat berteduh bagi orang yang kehujanan, memberi tongkat bagi orang yang buta. Persoalannya, sejauh mana saat ini Islam, khususnya Islam di nuswantara, berpihak kepada rakyat? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam