20/05/16

Mencari Akar Radikalisme Islam



Setelah komunisme ambruk, sejarah mendapatkan tantangan baru: radikalisme Islam. Sejak tahun pertama alaf kedua masehi, persisnya ketika menara kembar Wall Trade Center dirobohkan pesawat teroris, hampir seluruh media global secara sinambung melaporkan aktivisime radikal umat Islam. Radikalisme Islam kemudian menjadi semakin terorganisasi dan terlembaga dengan berdirinya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).
ISIS, negara teror ini, tidak saja bertanggung jawab atas rangkaian teror di negara-negara Eropa, tetapi juga memaksa sejumlah besar rakyat Timur Tengah mencari suaka ke Eropa. Selain menghancurkan umat Islam dari dalam, radikalisme Islam juga menggoncang kemapanan dan keseimbangan tata demografis Eropa.
Radikalisme Islam pun menjadi problem yang harus segera dicari solusinya. Keharusan dan kesegaraan solusi atas problem kemanusiaan ini mendorong sementara kalangan menawarkan, bahkan mengeksekusi, solusi yang reaktif: ISIS ditumpas dengan perang kontra-teroris. Kenyataan menunjukkan, solusi reaktif seperti itu bukan mengatasi masalah, melainkan memperkompleks dan mengamplifikasi masalah, laksana memadamkan api bukan dengan air, melainkan dengan minyak tanah.
Radikalisme Islam memang masalah mendesak, tetapi kita perlu berpikir dingin untuk mencari jalan keluarnya, pertama-tama dengan menelusuri akar radikalisme. Mengapa radikalisme Islam muncul? Mengapa perilaku beragama umat Islam menjadi radikal, sedangkan doktrin Islam justru bertumpu pada kedamaian dan berorientasi pada kasih sayang? Pendek soal: apa latar belakang sosial-historis ambivalensi umat Islam? Lebih menukik lagi: apa faktor filosofis dari ambivalensi tersebut?
Artikel ini ingin menjawab persoalan musykil itu dengan berangkat dari tiga pandangan. Pertama, pandangan Fazlur Rahman yang memeriksa kebangkitan radikalisme Islam dalam konteks sejarah epistemik umat Islam. Kedua, pandangan Amartya Sen yang meletakkan radikalisme Islam dalam diskusi pascakolonial. Ketiga, pandangan Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan. Arendt, yang menggeluti filsafat politik, suntuk dengan problematika Yahudi, dan meninggal pada 1970-an, jelas tidak menulis tentang radikalisme Islam. Namun demikian, renungan filsafatnya dapat digunakan sebagai kerangka untuk memahami radikalisme Islam hingga ke akarnya yang terdalam.  
Pandangan Fazlur Rahman tentang radikalisme Islam terasa mengejutkan. Pendapat mainstream menyatakan bahwa radikalisme Islam berakar pada karakter agama Islam itu sendiri yang integral, holistik, dan total. Islam tidak menerima sekularisme. Dalam Islam tidak ada pembedaan mana ruang kudus, mana ruang sakral. Seluruh dimensi manusia berada dalam atmosfer kekudusan. Misi Islam radikal untuk meniadakan negara sekuler dan mendirikan negara agama berpangkal dari integralisme dan totalisme Islam.
Rahman, dalam Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982), menyodorkan pandangan yang berkebalikan. Memang Islam merupakan agama yang integralistik, tetapi radikalisme Islam tidak muncul karena karakter integral Islam. Radikalisme Islam justru dilahirkan dalam lingkungan epistemik umat Islam yang bernuansa sekuler. Pada abad pertengahan, era keemasan Islam, ulama klasik merumuskan konsep ilmu yang dikotomistik. Mereka membelah ilmu, yang tadinya merupakan kesatuan, menjadi dua kategori, yaitu ilmu umum dan ilmu agama. Diferensiasi epistemik itu kemudian menjelma sebagai diferensiasi kosmik. Kalau dulu bagi umat Islam dunia merupakan kesatuan yang bulat, sekarang dunia terbelah menjadi dua, yaitu ranah umum dan ranah agama, ruang yang profan dan ruang yang kudus.
Ketika Islam berjumpa dengan modernitas dan modernisme pada era kolonial, ruang profan mendesak ruang kudus ke pinggir gelanggang. Modernisme Barat hadir, maju, memonopoli kesadaran kolektif, kemudian mengalahkan agama. Karena itu, gerakan neo-revivalisme dan neo-fundamentalisme bangkit, kemudian menyusun barisan untuk mengambil kembali apa yang bagi mereka telah dirampas modernitas. Islam radikal mengumandakan perang sabil, jihad, melawan Barat.
Dari uraian ringkas tentang penalaran Rahman itu, terlihat bahwa pandangan Rahman yang sosial-historis berkaitan dengan fakta kolonialisme Dunia Ketiga, yang sebagian besar merupakan wilayah Islam, tetapi fakta kolonialisme tersebut bagi Rahman bukan akar utama dari radikalisme Islam. Amartya Sen mengambil posisi yang berbeda. Sebagaimana tampak dalam bukunya, Krisis dan Identitas (2016), Sen meletakkan radikalisme agama terutama dalam konteks pascakolonial. Kolonialisme Dunia Ketiga menimbulkan apa yang disebut Sen sebagai dialektika berpikir kaum terjajah, paralel dengan apa yang disebut Bhabha sebagai ambivalensi. Masyarakat pascakolonial bersikap ambivalen terhadap (mantan) penjajahnya. Mereka membenci, tetapi sekaligus mengagumi, penjajah. Relasi hate and love terjajah-penjajah ini sejalan dengan terbentuknya inferioritas mental kaum terjajah di hadapan kaum penjajah.
Akibatnya, relasi kedua pihak tidak bisa sejajar dan setara, kaum terjajah senantiasa meletakkan dirinya di bawah kaum penjajah, Timur memposisikan dirinya di bawah Barat. Berhadapan dengan Barat, bahkan setelah penjajahan formal berakhir, Timur yang terjajah, termasuk Islam, memperlakukan dirinya sebagai “Sang Lain”, musuh abadi imperialis-kolonialis Barat. Radikalisme Islam adalah kelanjutan dari dialektika berpikir kaum terjajah ini.
Walaupun berbeda pendapat pada level permukaan, pada dasarnya Rahman dan Sen memandang radikalisme Islam juga sebagai gejala filosofis. Itulah yang mendorong saya untuk menemui Hannah Arendt. Setelah mengikuti persidangan Adolf Eichmann, penjahat perang kelas kakap yang bertanggung jawab atas pembantaian jutaan orang Yahudi dalam Perang Dunia Kedua, Arendt menulis laporan panjang, Eichmann in Jerusalem: a Report on the Banality of Evil. Menurut Arendt, pandangan kita tentang kejahatan selama ini perlu dikoreksi. Kejahatan tidak melulu bersifat mitologis. Pelaku kejahatan tidak selalu terdorong oleh daya-daya satanik yang melenyapkan akal sehatnya.
Kejahatan merupakan perkara sehari-hari yang banal: lazim, biasa, dangkal, mekanis. Kejahatan terjadi karena pelaku kejahatan tidak berpikir. Itu saja persoalannya. Tapi, perlu diperjelas, berpikir dalam pandangan Arendt tidak bisa dilepaskan dari kemanusiaan. Artinya, selama seseorang berpikir, selama dia mengambil kemanusiaan sebagai pertimbangan dalam keputusan-keputusannya, dia tidak akan jatuh dalam tindak kejahatan yang tidak manusiawi. Tapi, kalau tidak berpikir secara demikian, dia akan jatuh dalam banalitas kejahatan. Pelaku kejahatan yang banal mengelak dari tanggung jawab dengan berlindung dalam konsep atas-nama, dalam kasus Eichmann adalah atas-nama negara. Dia mencuci tangannya dari dosa dengan air ideologi. Karena itu, Eichmann tidak merasa bersalah atas kejahatan yang telah dilakukannya, bahkan dia bangga dengan hal itu. Dia merasa telah menjalankan kewajibannya secara hukum sebagai fungsi bagi negara.
Aksi terorisme, yang dilakukan Islam radikal, adalah kejahatan jenis itu. Radikalisme Islam merupakan sebentuk banalitas kejahatan. Teroris muslim tidak merasa bersalah, juga berdosa, atas kejahatan yang telah dilakukannya. Bersandar pada ideologi, berlindung dalam konsep atas-nama Tuhan, mereka bangga dengan aksi terornya, bahkan memandang hal itu sebagai keharusan dan kewajiban. Aksi teror yang mereka lakukan sebagai banalitas kejahatan terjadi karena mereka tidak berpikir sebagai manusia. Memang mereka berpikir, tetapi bukan sebagai manusia pribadi yang niscaya hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain, melainkan sebagai sekadar fungsi dari ideologi keislaman tertentu yang merupakan aplikasi dari tafsir relatif atas sumber-sumber ajaran Islam.
Pertanyaannya, mengapa umat Islam terkena kutukan banalitas kejahatan tersebut? Saya tidak berkemampuan, juga tidak berpretensi, untuk memberikan jawaban. Saya hanya ingat bahwa dalam dunia keilmuan Islam, filsafat telah secara programatik dipinggirkan. Jika diamati secara hermeneutis, program peminggiran—saya lebih suka menyebutnya pembatasan—filsafat harus diakui tidak dapat dituduh bersalah. Tapi, harus diakui pula, program pembatasan filsafat tersebut telah menimbulkan dampak kultural yang negatif, bahkan destruktif. Sikap anti-intelektualisme yang dipegang mayoritas umat Islam sejak zaman pertengahan ternyata merupakan salah satu faktor, di antara sekian faktor, yang membidani kelahiran banalitas kejahatan Islam radikal, sebagaimana kebijakan anti-intelektualisme Hitler turut membidani kelahiran banalitas kejahatan Eichmann.
Dengan demikian, untuk menjawab persoalan radikalisme Islam, kita tidak bisa puas dengan hanya menyebarkan wacana bahwa Islam merupakan kasih sayang bagi semesta, seraya merespons problem ketidakadilan sosial dengan praksis teologi sosial. Untuk melengkapi upaya-upaya tersebut, kita perlu mengembalikan Islam kepada kodratnya sebagai agama akal dengan menghidupkan kembali gairah berfilsafat dalam Islam.
Dalam rangka membendung arus radikalisme, sudah menjadi tugas kita untuk menyambut filsafat dengan tangan terbuka dan merayakannya dengan suka cita, tentu tanpa meninggalkan kesadaran dan menanggalkan kritisisme. Tentu juga dengan mengingat bahwa sebagaimana mata memiliki batas pandang terjauh, akal pun memiliki batas pikir terjauh. Di belakang batas itu, terhampar samudera misteri yang tidak terselami akal. Perlulah mengerahkan segenap potensi akal untuk sampai pada batas itu agar kita tidak terjatuh dalam banalitas kejahatan atas-nama Islam, juga agar pondasi religiositas kita tidak rapuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam