13/05/16

Teguh, Komunitas, dan Gerakan Literasi



Teguh Ranusastra Asmara berpulang. Nama itu, saya sekadar tahu, belum kenal. Memang, dalam satu dua acara sastra saya pernah melihat beliau. Sekadar melihat dari jauh. Sebab, saya sadar, dalam jagad sastra Yogya beliau orang besar, sedangkan saya, ah siapalah, mengaku sebagai orang yang belajar menulis pun malu. Bermimpi menjadi penulis, saya tidak berani.

Pernah pula saya melihat beliau di kantin Taman Budaya Yogya. Waktu itu beliau sedang berbicara dengan kawan-kawannya yang seniman, sementara saya sedang beromong kosong dengan seorang sahabat. Dari jarak cukup dekat, saya melirik-lirik beliau. Ingin rasanya berkenalan. Tapi keinginan itu kandas oleh minder: saya bukan siapa-siapa, tidak punya nama, tidak punya karya yang pantas ditunjukkan. Akhirnya, saya simpan dalam-dalam keinginan tersebut untuk pada akhirnya dibiarkan raib.

Dari sembarang tulisan dan tuturan yang kebetulan saya dapatkan, saya menyimpulkan bahwa Teguh adalah orang besar. Namun, kurang dikenal di panggung sastra nasional. Beliau besar bukan hanya karena karyanya, tetapi lebih karena kesetiaan dan keteguhannya dalam berkomunitas sastra.
Pada 1960-an, setelah dunia sastra kita tercabik-cabik oleh perkelahian Lekra melawan Manifes Kebudayaan, sejumlah sastrawan muda Yogya diam-diam merintis jalan baru, barangkali untuk keluar dari kemampetan dan kesumpekan kebudayaan itu. Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, dan beberapa nama lain membentuk Persada Studi Klub (PSK), komunitas sastra yang kemudian menjadi rumah bagi sastrawan muda dan bakal sastrawan.
Bergerak dalam sunyi, jauh dari gemebyar dan gemerlap panggung sastra nasional, komunitas ini perlahan-lahan mengader sastrawan baru, seorang per seorang, angkatan per angkatan. PSK menjadikan Malioboro, yang saat itu belum terasa gerah gersang dan hampa hambar seperti sekarang, sebagai rumah kebudayaan, sebagai universitas kehidupan. Tiga dari sekian banyak nama besar yang lahir dari rahim PSK adalah Cak Nun, Linus Suryadi Ag., dan Korrie Layun Rampan.
Mengapa sebuah komunitas sunyi ternyata melahirkan sastrawan-sastrawan besar? Marilah kita perhatikan proses yang dipergulati orang-orang PSK, sebagaimana dikenang Iman Budhi Santosa dalam puisinya, Orang-Orang Malioboro 1969.

Orang-Orang Malioboro 1969

Rumah kami Malioboro
            Mata kami Malioboro
Hati kami Malioboro
            Buku kami Malioboro
Puisi kami Malioboro

Di antara debu, trotoar, dan tahun-tahun kelabu
secarik kertas, berita dalam sepotong koran bekas
pernah jadi teramat perlu; di sini. Karena terik matahari
tak menjanjikan senja benar-benar temaram
malam direngkuh sinar rembulan
dan pagi pasti memuat cericit burung gereja
mengeja lapar yang semalam tertunda
tersangkut pada bentangan kabel telepon di atas kepala kita

Di pojok stasiun Tugu, masih melintas kereta demi kereta
sedang kami malah menyimpan cemas dalam saku
dalam kata, dalam senyum, ketika hanya secarik catatan
layak dibanggakan, dipamerkan
pengganti ijazah yang terlipat dalam angan-angan

Menyusuri Malioboro, pagar tembok jadi bangku
taman dan pokok asam merangkai sunyi
lebih indah dan santun dari hening rumah sendiri.
Kadang ada debat, mengadu kutipan-kutipan dari buku tua
menguji jejak pujangga, menukar pena dengan tajamnya lidah
yang tak terukur oleh rumus matematika

Ya, kami pernah di sini. Menyaksikan lampu-lampu
menjelma mercuri, mengukur panjangnya langkah
dari keraton hingga pemberhentian ini
dengan baju lusuh, mulut tabu mengaduh
tanpa sedikit pun berani memandang langit
negeri berawan yang robek dan belum terjahit

Bertahun-tahun kami mengais remah cerita
yang bertebaran di kaki lima
sepanjang Senisono sampai hotel Garuda
untuk bekal sabar mengolah musim dan cuaca.
Bertahun-tahun kami bertabrakan
dengan angin pesat dari tenggara
yang membuat bibir retak dan kering
namun, juga yang memberi tahu bagaimana belajar menjadi batu
yang tak pernah lapuk dalam terkaman waktu.
Bertahun-tahun kami menapak bumi keras
menginjak duri, teriris tatapan beringas
terpinggirkan bunyi klakson
terhalang bangunan toko, tiang listrik,
dan pengemis yang terus memohon.

Sungguh, kami tidak berhenti, dan hanya berhenti
ketika puluhan kisah wayang sudah tersimpan dalam hati.
Ketika sahabat bukan lagi orang-orang sakti
tapi, juga tembok dan beton, lukisan dan puisi
air comberan dan pemantik api

Di Malioboro, kami pernah menjadi bayi
pernah bertapa, sekaligus bercinta
pernah menyerupai sampah
pernah belajar mengeja
pernah tak dikenal tetangga
pernah menghitung bintang, mengikuti jejak tikus tua
membangun sarang yang nyaman
di bawah tanah kelahiran kedua
bernama Yogyakarta

2009

Tak perlu saya tafsir, puisi itu, dengan bahasanya yang tidak gelap, mengungkapkan banyak hal tentang proses belajar sastra dalam komunitas PSK. Terkesan keras dan berat. Tapi, kawah Candradimuka memang harus membakar Jebeng Tetuka agar menjelma Gatotkaca. Emas memang harus berulang kali disepuh dalam api membara, berulang kali pula dipalu dengan godam untuk menyapihnya dari suasa. Tanpa proses yang meluluh-lantakkan benteng eksistensi pribadi, tidak mungkin lahir sastrawan besar. Besar bukan hanya secara popularitas, tapi lebih secara kepribadian.
Walaupun tak perlu ditafsirkan, dari puisi di atas, saya mencatat dua hal. Pertama, orang-orang PSK, ketika mereka berproses, ternyata tidak lagi punya gantungan masa depan. Kesuksesan berkat pendidikan formal, tinggal mimpi masa lalu. Mereka merasakan kerapuhan dalam menjalani proses bersastra. Kebanggaan mereka bukan masa depan yang pasti atau telah dipastikan, tapi hanya secarik catatan yang mungkin tak laku dijual. Akan nasibnya sendiri, mereka merasa gamang.
Kedua, mereka saling menjalin persahabatan, persaudaraan, paseduluran, kekeluargaan. Dan bagi mereka, sahabat bukan hanya orang-orang sakti, tokoh-tokoh yang telah punya nama, orang-orang yang telah punya keahlian bersastra. Mereka juga bersahabat dengan siapa-siapa yang dilupakan, direndahkan, disepelekan, dipinggirkan, dibuang, distigma buruk, dipandang tak berarti, dianggap tiada: tembok, beton, lukisan, puisi, bahkan air comberan dan pemantik api.
Semua benda tersebut, bagi saya, adalah simbol yang menandakan orang-orang hilang yang tak diakui dan tak dilirik. Mereka adalah korban dari keakuan dan keangkuhan kita, akhlak yang lahir dari paradigma berpikir untung-rugi, dari watak saudagar.
Karena bersahabat dengan orang-orang hilang, kita menyaksikan kehadiran orang kecil dalam karya sastrawan PSK, dalam karya Iman, dalam karya Cak Nun, dalam karya Linus. Dalam karya mereka, orang kecil tidak saja dimanfaatkan sebagai hiasan untuk berpromosi, tapi dijunjung tinggi-tinggi sebagai pahlawan yang tak berniat menjadi pahlawan. Dalam perjuangan hidup sehari-hari, orang-orang kecil itu seringkali, atau malah selalu, kalah. Tapi, dalam kekalahan mereka tersembunyi kemenangan sejati, suatu kemenangan mental dan spiritual.
Persahabatan yang merupakan lelaku budaya itu, paseduluran itu, pada gilirannya menumbuhkan visi kemanusiaan: dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan; bukan kerabat bukan keluarga, jika mati ikut kehilangan. Orang lain, dia yang terpinggirkan, dilupakan, direndahkan, bahkan dianggap tiada, adalah bagian dari diriku. Penderitaan orang lain, yang kelaparan, sakit, dan terlunta-lunta di jalanan, adalah penderitaanku juga. Mereka manusia, aku pun manusia. Kau tersayat, kata Sutardji, aku berdarah. Kalau satu bagian tubuh sakit, kata Nabi Muhammad, bagian tubuh lain ikut menderita.
Tanpa me-laku-kan jihad besar untuk menekan keakuan dalam bermasyarakat, juga dalam berkomunitas, sukar membayangkan terwujudnya idealitas kemanusiaan. Orang-orang hilang yang tidak diperhatikan dan dipeluk mesra adalah gerombolan korban yang sedang menyiapkan rencana balas dendam untuk mengobrak-abrik tatanan komunitas dari dalam. Secara pasif dengan meninggalkan komunitas itu. Secara aktif dengan melancarkan pemberontakan.
Sepanjang apa umur komunitas ditentukan oleh seteguh apa perjuangan kita untuk menekan keakuan dan memeluk mesra orang-orang hilang. Ketika atmosfer keakuan telah meliputi komunitas, komunitas itu sesungguhnya telah hancur binasa, walaupun secara fisik masih bertahan. Bagai jasad tanpa ruh. Adalah omong kosong berbicara tentang paseduluran dalam komunitas para saudagar.
Karena itu, dalam rangka membangun dan melanggengkan komunitas dengan semangat paseduluran, orang-orang hilang mesti dihargai, betapa pun mereka tampak tak berharga, tak berguna, tak berkemampuan. Komunitas, dari tataran terkecil hingga tataran terbesar, yaitu negara, disangga bukan hanya oleh orang sakti, apalagi oleh orang yang merasa sakti, tapi juga oleh orang-orang hilang; dijaga bukan hanya oleh jati dan mahoni, tapi juga oleh rumput, semak belukar, dan rumpun daun sikejut. Dalam Belajar pada Siang, pada Malam, Iman Budhi Santosa menulis:

Aku belajar menghargai rumput
semak belukar dan rumpun daun sikejut
sebab, bukan hanya jati mahoni
yang patut menjaga erosi negeri ini

Lantas, dengan apa keakuan ditekan? Salah satunya, dengan mengisyafi hakikat puncak. Di antara latar belakang keakuan adalah nafsu untuk mewujudkan mimpi pribadi, dorongan gelap untuk mencapai puncak kesuksesan pribadi. Selama mendaki menuju puncak kesuksesan pribadi itu, kita hanya mendekati orang-orang yang kita anggap mampu mencapai puncak atau telah mencapai puncak. Mereka yang tampak tak berkemampuan, kita lupakan. Saingan yang tampak berpotensi menjegal jalan, kita singkirkan. Selama mendaki menuju puncak, kita tanpa sadar menjatuhkan orang lain. Aku berhitung, di puncak sana, tidak boleh ada orang lain. Di puncak sana, hanya akan dan boleh ada satu orang: aku sendiri. Tidak seorang pun boleh lebih dariku.
Setelah mencapai puncak sendirian, apakah aku menemukan kebahagiaan sejati? Sama sekali tidak. The winner, Coelho menyimpulkan, stands alone. Sang pemenang hidup sendirian. Di puncak, dia mengalami kesepian yang menyiksa. Agar terhindar dari siksa kesepian itu, juga agar kemounitas terbangun dan terjaga, kita perlu menihilkan puncak dan memberinya makna baru, makna yang sesuai dengan harapan-harapan kebudayaan. Itulah yang ditawarkan Suminto A. Sayuti, sastrawan cum kritikus sastra yang pernah berproses dalam PSK, melalui puisnya yang berjudul Syair Puncak.

Syair Puncak

Jangan tanyakan puncak. Mendakilah terus ke Utara
Karna puncak tak pernah ada. Ialah kerendahhatian yang
diam tanpa suara
Maka kita pun dataran rendah. Sepetak sawah bagi petani
kecil
Sejengkal kolam bagi ikan-ikan mungil. Rimbun daun bagi
birahi sepasang burung. Secercah cahaya bagi peja-
lan larut. Sebaris tawa bermakna.
Sebait puisi abadi. Tak ada puncak ketika di ketinggian
Tak ada puncak ketika kemah hunian kita dirikan dalam
diri

Yogyakarta, 2012

Petani kecil, ikan-ikan mungil, sepasang burung, dan pejalan larut dapat dibaca sebagai simbol-simbol yang melambangkan orang hilang. Bagi negara, suatu komunitas besar, mereka tidak dipandang berarti, apalagi berharga. Tapi, bagi siapa pun yang telah menginsyafi makna puncak, yang menyadari bahwa aku hanyalah dataran rendah, mereka menjadi sangat berarti, sangat berharga.
Apalah artinya dataran rendah tanpa petani kecil yang mengolah sepetak sawah, ikan-ikan mungil yang berenang di kolam, sepasang burung yang meluapkan birahi dalam selubung rimbun daun. Dataran rendah itu akan kelihatan gersang, lengang, tak indah, tak bermakna. Eksistensiku sebagai dataran rendah ditentukan oleh eksistensi petani kecil, ikan-ikan mungil, sepasang burung yang tenggelam dalam birahi.
Eksistensi pribadiku, selain tentu eksistensi komunitas, ditentukan oleh eksistensi orang-orang hilang yang adalah sahabatku, saudaraku, sedulurku. Ketika mereka tidak hadir, aku merasa ada yang kurang. Ketika mereka tersayat, aku berdarah. Ketika mereka dipanggil pulang oleh langit, aku merasa kehilangan. Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
Itulah pelajaran kecil yang saya petik dari sejarah komunitas PSK, model komunitas literasi yang pernah hampir kehabisan penerus. Untuk memanggil kembali ruh komunitas PSK dan meniupkannya ke dalam tubuh generasi sastra baru, juga untuk menggairahkan dan menyemarakkan kehidupan sastra Yogya, beberapa tahun lalu PSK mengadakan reuni. Punggawa-punggawanya, antara lain Cak Nun, Teguh, dan Iman, berkumpul. Hasilnya, terbitlah majalah sastra Sabana, mengambil nama rubrik sastra yang pernah dikelola Umbu, sang guru dalam PSK, tikus tua yang membangun sarang yang nyaman/ di bawah tanah kelahiran kedua/bernama Yogyakarta.
Majalah itu menyediakan ruang bagi pelbagai komunitas sastra di nusantara. Meski berperan nyata dalam membangun kehidupan sastra kita, mereka bagaikan anak hilang, tak dipandang dewa-dewi sastra Jakarta. Maka, Sabana menjadi forum silaturahmi bagai pelbagai komuntas sastra, pelbagai sastrawan, entah besar entah kecil. Majalah itu menjadi simbol paseduluran orang-orang sastra.
Sabana memperluas lingkup PSK, menyebarkan semangat paseduluran PSK. Semangat untuk menghargai tembok, beton, lukisan, puisi, air comberan, dan pemantik api. Semangat untuk mengingat rumput, semak belukar, dan rumpun daun sikejut. Semangat untuk memeluk mesra petani kecil, ikan-ikan mungil, sepasang burung yang mabuk birahi, dan pejalan larut. Semangat untuk menyapa orang-orang hilang, mengundang mereka, memberi ruang bagi mereka.
Sebagai anggota PSK, dalam proses tersebut, terlebih dalam proses panjang perjalanan PSK sejak lahir hingga sekarang, Teguh Ranusastra Asmara tentulah berperan penting. Sebab itu, Teguh adalah orang besar dalam kancah sastra Yogya, juga kancah sastra nasional. Hanya saja, beliau bergerak di bawah permukaan.
Sebagai sastrawan, mungkin namanya tidak masuk barisan sastrawan yang karyanya terpampang dalam koran nasional, tidak pula terekam dalam majalah sastra Horison. Tapi, atas segenap gerakan sastra, artinya juga gerakan literasi, yang dijalankannya dalam sunyi, kita mengenangnya sebagai pelampah kebudayaan. Untuk menyatakan rasa terima kasih kepada beliau, kita mencatat nama beliau dalam ingatan bersama.
Terima kasih Pak Teguh, selamat jalan….

Yogyakarta, 12 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam