13/07/16

Sebab Semua Wajah Belum Tersenyum


ALI bin Abi Thalib pernah pernah diberi Baginda Rasul pakaian yang bahannya bercampur sutra. Dia kemudian menghadap Baginda Rasul dengan mengenakan pakaian tersebut. Baginda Rasul tampak marah. Ali lalu pulang, melepaskan pakaian itu, dan menghadiahkannya kepada istrinya.
Dalam kitab haditsnya masing-masing, Imam Bukhari dan Muslim merekam kisah kecil tersebut, kisah tentang haramnya sutra bagi muslim lelaki. Sedemikian keras pengharaman itu hingga Baginda Rasul pasang wajah marah ketika melihat Ali mengenakan baju yang bahannya bercampur sutra.
Selain sutra, muslim lelaki pun dilarang memakai perhiasan emas dan perak. Sehubungan dengan hal ini, ada larangan lain. Tidak khusus bagi muslim lelaki saja. Umum sifatnya. Setiap muslim, baik lelaki maupun perempuan, dilarang makan dan minum dengan piring dan gelas dari emas atau perak. Menyimpan air dalam gentong emas atau perak pun dilarang. Demikian pula berwudu dengan kendi emas atau perak.
Sebuah hadits memberikan jawaban eskatologis mengapa hal itu dilarang. Gentong dan kendi emas merupakan perkakas rumah tangga sehari-hari muslim di akhirat kelak. Yang memakainya di dunia ini hanyalah mereka yang tergolong bukan muslim.
Adakah alasan lain? Muslim yang sungguh-sungguh percaya akan adanya akhirat, tentu memandang kehidupan dunia ini dengan kacamata akhirat. Dibandingkan akhirat, umur dunia tidak ada artinya. Dibandingkan akhirat, kesenangan, kenikmatan, dan kekayaan dunia pun tak berarti. Dunia hanyalah seujung kuku akhirat.
Lagipula, akhirat adalah kekekalan, sedangkan dunia adalah kesemantaraan belaka. Dunia bukan tempat bagi keabadian. Apa pun yang ada di atas bumi pasti akan sirna. Semula tidak ada, sekarang ada, nanti kembali tidak ada.
Semula kita lahir dalam kondisi fakir. Tanpa makanan. Tanpa pakaian. Tanpa rumah. Sekarang kita kaya raya. Paling tidak, sekarang kita memiliki sesuatu untuk dimakan hari ini, untuk menutupi tubuh dan memuliakan diri, dan untuk berteduh. Nanti, ketika ajal datang, kita kembali fakir. Ke liang kubur, kita tak membawa harta. Tak membawa rumah. Tak membawa makanan. Bahkan tak juga membawa pakaian yang sekarang melekat di badan.
Harta yang selama hidup kita kumpulkan dengan cucuran keringat bakal ditinggalkan di dunia. Lantas, mengapa pula kita perlu memamerkan dan membanggakannya? Mengapa kita perlu menebar benih sedih dan dengki dan benci di hati orang lain, lebih-lebih di hati mereka yang tak berpunya?
Berbangga atas harta, juga memamerkannya, sebenarnya adalah tindakan bodoh, adat istiadat jahiliah. Secara personal, tindakan itu berbahaya. Bisa melahirkan dan mengundang musuh. Secara sosial, berpotensi merusak, berkemungkinan menimbulkan ifsad fi al-ardh, kerusakan di muka bumi.
Konflik sosial seringkali bermula dari cinta dunia, bangga harta, pamer kekayaan. Hal ini kemudian menyalakan api dengki dan benci dalam dada kaum miskin. Saya yakin, begitulah logika kultural di belakang kerusuhan Mei 1998, juga kerusuhan anti-Cina lain di Indonesia. Begitu pulalah latar belakang kultural perang anti-Yahudi dalam sejarah Eropa.
Islam tidak menghendaki konflik sosial semacam itu. Islam sejatinya agama kasih sayang. Visi politik Islam adalah penataan masyarakat. Hamemayu hayuning bawana. Karena masyarakat tersusun oleh individu-individu, penataan masyarakat itu harus dimulai dari pendidikan, pembangunan budi pekerti, atau character building.
Sendi ketertiban masyarakat adalah akhlak mulia semua anggota masyarakat. Sementara itu, sendi akhlak adalah iman, terutama iman akan adanya Allah yang Esa dan iman akan adanya hari akhirat. Fungsi rukun Islam, sejak syahadat hingga naik haji, salah satunya terletak dalam kerangka character building ini. Ibadah senantiasa berkaitan dengan moral.
Fungsi sosial salat adalah untuk menjauhkan pelaku salat dari segala tindakan keji dan mungkar. Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. Salat memadamkan api angkara murka yang berkobar-kobar dalam dada. Baginda Rasul mengibaratkan salat seperti mandi. Setiap hari, seorang muslim menegakkan salat wajib lima kali sehari. Dia mandi lima kali sehari dengan air sungai yang mengalir. Mandi membersihkan tubuh dari kotoran. Salat membersihkan kita dari dosa. Membersihkan hati dari najis ruhani atau penyakit hati.
Fungsi sosial puasa berakar pada fungsi psikologisnya: olah rasa. Semakin banyak berpuasa, mestinya rasa empati kita semakin tinggi. Kita jadi gampang dan terbiasa ber-tepo seliro dengan orang lain. Kita jadi bisa merasakan, tidak sedikit-sedikit merasa bisa. Iso rumangsa, ora rumangsa iso. Rendah hati, andap asor. Tidak sok, ora dumeh. Tidak adigang adigung adiguna.
Kalau kita pintar, kita berempati dengan orang lain yang belum pintar. Kalau kita sukses, kita berempati dengan orang lain yang gagal. Kalau kita kaya, kita berempati dengan orang lain yang miskin. Kalau kita pejabat, kita berempati dengan orang lain yang hanya rakyat jelata. Kalau kita dihormati, kita berempati dengan orang lain yang dicampakkan dan dilupakan. Kalau kita kenyang, kita berempati dengan orang lain yang lapar.
Saat kenyang, kita ingat orang lain yang lapar. Saat berpakaian, kita ingat orang lain yang telanjang. Saat tinggal nyaman dalam rumah, kita ingat orang lain yang hidup menggelandang berlantai bumi berpayung langit. Saat sehat, kita ingat orang lain yang sakit. Saat bahagia, kita ingat orang lain yang bersedih. Saat berilmu, kita ingat orang lain yang awam. Saat berparas rupawan, kita ingat orang lain yang tidak berwajah elok. Saat jadi pemimpin, kita ingat orang lain yang dipimpin. Saat kaya, kita ingat orang lain yang miskin.
Karena itu, inti pesan puasa sebenarnya sederhana: hidup sederhana. Prasojo lan sakmadyo. Tidak mengumbar nafsu. Mengendalikan keinginan. Rumah sederhana. Pakaian sederhana. Makanan sederhana. Kendaraan sederhana. Tutur kata pun sederhana. Tidak ndakik-ndakik dan njelimet-njelimet.
Dengan gaya hidup sederhana itu, kita lebih berpotensi selamat tidak hanya di akhirat, tetapi juga di dunia. Terwujudlah damai di hati demi damai di bumi. Buah sosial dari gaya hidup sederhana adalah tertib dan damainya masyarakat.
Untuk mengajarkan gaya hidup sederhana, Baginda Rasul melarang muslim lelaki mengenakan pakaian sutra dan perhiasan emas perak. Beliau juga melarang kita, baik lelaki maupun perempuan, menggunakan perkakas rumah tangga dari emas perak. Selain itu, kaum lelaki dilarang mengenakan celana yang panjangnya melewati mata kaki.
Dan Baginda Rasul sendiri tidak hanya melarang-larang saja. Sebagai teladan bagi umatnya, beliau hidup dengan sederhana. Gaya hidup sederhana adalah sunah Nabi. Karena gaya hidup sederhana harusnya lahir dari tepo seliro, tepo seliro artinya sunah Nabi juga.
Dalam sebuah hadits, Baginda Rasul pernah menegaskan, takwa itu di sini, sambil menunjuk dadanya tiga kali. Maksudnya, takwa tempatnya di hati, agama sebetulnya soal rasa. Takwa berkaitan dengan kasih. Islam adalah agama cinta, rahmat bagi semesta. Dalam hadits tersebut, beliau juga melarang setiap muslim mengusik darah, harta, dan harga diri muslim lain. Itu artinya, tepo seliro adalah makna sosial takwa.
Itulah sebabnya, zakat dan sedekah jadi tanda kebertakwaan, juga keberimanan, seorang muslim. Jika memperoleh rezeki lebih, kita ingat orang yang rezekinya seret. Jika kaya, kita ingat saudara kita yang miskin. Seandainya saya tidak kaya seperti ini, tapi miskin seperti mereka, apa yang saya rasakan, pikirkan, dan lakukan? Kalau saya memamerkan kekayaan saya di depan mereka, apa yang mereka rasakan? Setelah berempati dengan kaum miskin, orang yang kaya, paling tidak yang dikaruniai rezeki yang lebih dari cukup untuk makan hari ini, membayar zakat. Jika punya harta berlebih, dia dianjurkan bersedekah.
Puncak dari pendidikan tepo seliro dalam Islam adalah naik haji. Saat berhaji, seorang muslim bertemu dengan berkumpul dengan muslim lain dari segenap penjuru bumi. Dia berjumpa dengan orang dari berbagai lapisan, hierarki, dan golongan sosial.
Karena itu, haji seharusnya memperluas jangkauan tepo seliro-nya. Sebelum berhaji, jangkauan tepo seliro-nya hanya seluas keluarga, tetangga, sanak kerabat, teman, kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan paling banter negara. Setelah berhaji, harus seluas bumi.
Dengan berhaji, dia merasakan makna persaudaraan umat Islam, bahkan persaudaraan seluruh umat manusia. Dia menghayati makna kemanusiaan. Al-Quran menyebutkan, Nabi Ibrahim tidak hanya mengundang orang Islam untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Beliau memanggil seluruh umat manusia untuk naik haji. Ini mengisyaratkan, visi sosial Islam memang hamemayu hayuning bawana. Seluruh manusia di bumi ini mau dibangun budi pekertinya. Islam menghendaki ketertiban sosial secara mondial. Damai di bumi sebagai perluasan damai di langit.
Dan semua itu bermula dari pendidikan karakter. Pertama-tama, tepo seliro mesti jadi budaya. Takwa harus jadi adat istiadat sehari-hari. Kita mesti mengikuti sunah Nabi dalam bergaya hidup sederhana. Kaum lelaki tidak mengenakan pakaian sutra dan perhiasan emas perak. Baik kaum lelaki maupun perempuan tidak menggunakan perkakas rumah tangga dari emas perak, apalagi makan dengan piring emas, minum dengan gelas perak.
Biarlah piring emas, gelas perak, dan pakaian sutra dipakai oleh kaum (sok) kaya yang tak punya perasaan. Biarlah busana branded dan kendaraan mewah dibeli, dimiliki, dibanggakan, dan dipamerkan oleh kaum (sok) kaya yang tak punya hati.
Bagi seorang muslim, yang punya hati dan akal, keglamoran dan kemewahan tempatnya di surga. Sebab, di surga tidak ada fakir miskin. Tidak ada duka lara. Tidak ada cemas takut. Tidak ada dengki benci. Semua mulut berucap salaman, salaman. Semua lidah berujar rahayu, rahayu. Semua hati tenteram damai. Semua jiwa rida bahagia. Semua wajah tersenyum bungah.


Bumi Mataram, 5 Syawal 1437 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam