13/07/16

Menjemput Fajar Kalasuba

KALABENDU. Istilah ini pertama kali diperkenalkan Ronggawarsita III. Sebagai mata rantai terakhir pujangga Jawa, santri Kiai Imam Besari Ponorogo ini kawentar dengan ramalannya. Dalam Serat Sabda Jati, dia menulis,

Waluyaning benjang yen wus ana wiku
memuji ngesthi sawiji
sabuk lebu lir majenun
galibetan tudang-tuding
anacahken sakehing wong.

Iku lagi sirep jaman kalabendu
kalasuba kang gumanti
wong cilik bisa gumuyu
nora kurang sandhang bukti
sedyane kabeh kalakon.

Zaman edan berakhir bila sudah ada pendeta
ikhlas menyembah Tuhan yang Esa
berikat pinggang tanah, laksana orang gila
kian kemari berjalan, menuding-nuding telunjuknya
menghitung jumlah semua orang.

Pada masa itu, zaman kalabendu berakhirlah
berganti dengan zaman kalasuba.
Rakyat jelata dapat tertawa.
Tiada kurang sandang pangan.
Terwujud semua cita-cita.

Dalam serat tersebut, kalabendu adalah nama bagi sebuah zaman. Ronggawarsita juga menyebut zaman itu sebagai zaman edan. Berbeda nama, berbeda penekanan, tapi intinya sama: zaman kalabendu atau zaman edan adalah zaman yang tak diharapkan, tapi pasti menghampiri. Kita mesti menerima dan menjalaninya dengan tabah.
Terlempar ke dalam zaman seperti itu, tugas kita yang primer adalah menjaga kewarasan, kesehatan akal (dan) budi. Tidak ikut edan. Tidak hanyut terseret arus kejahiliahan massal. Anglaras ilining banyu, pesan Sunan Kalijaga, ngeli ning ora keli. Menjalani kehidupan selaras aliran air sungai, mengalir tapi tak hanyut.

Hakikat Kalabendu
Untuk menjalankan pesan tersebut, kita mesti paham dulu karakter dan hakikat zaman kalabendu. Kala adalah waktu adalah masa adalah zaman. Bendu banyak maknanya. Kata ini bisa bermakna amarah atau murka atau kutukan. Tapi juga bisa dimaknai bencana. Kedua dimensi makna ini tidak kontradiktif. Ada yang memandang bencana sebagai kasih sayang Ilahi. Tapi, ada pula yang memahaminya sebagai amarah, murka, atau kutukan langit.
Jadi, kalabendu adalah zaman bencana. Bencana itu sendiri menandakan amarah, murka, dan kutukan. Akarnya, atmosfer amarah yang menyelimuti bumi, sifat dur angkara yang menghuni dada kebanyakan orang.
Pada zaman kalabendu, ya zaman kita ini, di mana pun orang-orang diliputi aura raksasa. Sedikit-sedikit marah. Sebentar-sebentar ngamuk. Agama yang bersendikan kasih sayang pun bisa menyulut api amarah. Atas nama agama, kita ngamuk menyerang saudara sendiri yang seiman.
Seiring dengan itu, bencana alam datang silih berganti. Bencana yang satu belum tuntas tertangani, sudah muncul bencana lain. Terlalu seringnya terjadi bencana, kita jadi terbiasa dengan bencana. Bencana jadi hal yang sehari-hari, lumrah, lazim. Bencana jadi sesuatu yang banal, yang tak menggetarkan hati, menggugah jiwa, dan menunjukkan jalan pencerahan. Bagi sebagian kalangan yang berada jauh dari lokasi bencana, ada bencana atau tidak, sama saja.
Tapi, tidak demikian bagi kalangan lain, para pemancing di air keruh. Bagi mereka, bencana adalah uang. Mereka menjalankan bisnis bencana. Atas nama kemanusiaan, mengemis sumbangan ke setiap penjuru bumi. Sebagian sangat kecil dari sumbangan itu memang menetes kepada korban bencana. Tapi sebagian sangat besarnya, mengalir ke rekening pribadi para pengemis itu.
Kita tak perlu kaget dengan gejala amoral tersebut. Aja gumunan, aja kagetan. Bisnis bencana barangkali umurnya sudah setua sejarah umat manusia. Kita tentu sepakat, kemiskinan adalah bencana. Bencana yang hingga kini belum rampung-rampung ditangani. Bencana yang menunjukkan betapa bodohnya kita, betapa jahatnya kita, juga betapa edannya kita.
Demi menyauk simpati rakyat, pemimpin mana yang tak berjanji bakal membasmi kemiskinan? Tapi, pemimpin mana pula yang tak mengingkari janjinya itu? Mereka yang sinis akan mendefinisikan pemimpin sebagai pendusta. Politik adalah dusta yang dilembagakan, kemunafikan yang dibenarkan.
Agama apa yang tak berpihak pada kaum miskin? Tapi, agamawan mana yang tulus bersahabat dengan dan membela kaum miskin? Kebanyakan agamawan justru memuja harta dan hartawan, merasa jijik dengan kemiskinan dan kaum miskin. Bahkan, mereka tega menjual agama untuk memperoleh sebanyak-banyaknya pundi rupiah.
Itulah ciri ulama Bani Israel pada zaman Nabi sebagaimana digambarkan al-Quran. Bukan Tuhan, tapi dunialah kiblat hati mereka. Ke mana pun wajah menghadap, yang mereka lihat hanya uang. Jangankan kemiskinan dan kaum miskin, ayat-ayat suci pun bagi mereka sangat bernilai dan bermanfaat. Maksudnya, bernilai tukar, sehingga jadi komoditas yang diperjualbelikan. Bermanfaat untuk mengumpulkan harta dan kehormatan dan nama besar.
Bagi mereka, ilmu mereka pun bermanafaat. Maksudnya, bermanfaat untuk memperoleh pekerjaan, pangkat, kedudukan, gelar, status, gengsi. Perjalanan hidup mereka melingkar-lingkar dari hal duniawi ke hal duniawi lainnya. Ibaratnya, keledai yang berjalan melingkar untuk menggerakkan alat pengolah gandum.
Memang, berkenaan dengan ilmu yang mereka miliki, al-Quran mengumpamakan ulama Bani Israel sebagai keledai. Keledai itu memanggul setumpuk buku di punggungnya. Ini mengisyaratkan, ilmu mereka hanya tertulis pada lembaran buku. Mereka diberi al-Kitab, tapi tidak mengamalkannya. Ilmu justru menjauhkan mereka dari cahaya.
Ilmunya menutup mata hati. Akibatnya, mereka tidak bisa melihat kebenaran. Ketertutupan mata hati itulah arti dasar dari kufur. Orang kafir adalah orang yang mata hatinya tertutup sehingga dia tidak tahu, tidak pula bisa membedakan, mana yang benar dan mana yang salah. Semua itu menunjukkan, mereka dikutuk oleh ilmunya sendiri. Karena ilmu itu, mereka mendapat kutukan, amarah, murka, bendu.
Kalangan Bani Israel seperti inilah yang dalam Surat al-Fatihah disebut sebagai orang-orang yang dimurkai, al-maghdhub ‘alaihim. Hati mereka membantu dan terkunci mati. Bagi mereka, agama bukan soal rasa. Agama semata-mata akal. Bukan akal (yang) sehat, tapi akal (yang) sakit. Akal paling rendah. Akal pragmatis.
Prinsip keberagamaan akal pragmatis adalah, kalau menguntungkan bagiku, itulah agama. Kalau merugikan bagiku, bukan agama. Kehendak Tuhan adalah kehendak perutku. Maka, dengan sekehendak perut, ulama Bani Israel menjungkir-balikkan tata syariat: menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal. Mereka pun jadi berparadigma syariat sentris. Syariat atau hukum kudus ditunggangi untuk merebut sebanyak mungkin keuntungan pribadi.
Dengan perilaku sebejat itu, adakah hal yang bisa menghindarkan mereka dari bendu? Mungkin, ada jawaban positif untuk pertanyaan ini. Tapi yang lebih mungkin, adalah jawaban negatif. Mereka berhak menerima bendu.
Ada lagi karakter lain masyarakat Bani Israel. Ini diterangkan dalam Surat Yasin. Mereka tidak bermawas diri. Tidak berkaca pada cermin yang sudah disediakan. Semut di ujung lautan kelihatan. Tapi, gajah di pelupuk mata tak tampak. Bagaikan orang menuding, jari telunjuk mereka mengarah pada orang lain. Tapi, tiga jari menekuk ke belakang, mengarah pada diri sendiri.
Ketika ditimpa bencana dirundung bendu, mereka mencari kambing hitam. Mereka tidak merasa salah dan tidak mau disalahkan. Mereka merasa benar sendiri, pertanda bahwa hati telah membatu dan terkunci mati. Mereka tak kenal lagi hikmah ngundhuh wohing pakarti.
Sebab, bagi mereka, bencana bukan akibat perbuatan tangan sendiri. Bencana melekat pada sang kambing hitam, sang juru eling utusan langit. Sang juru eling sudah mengkritik tradisi yang diwariskan leluhur. Karena itu, bendu pun datang.
Siapakah Bani Israel saat ini? Al-Quran adalah petunjuk (al-huda) dan obat hati (al-syifa’). Dia baru jadi petunjuk, baru jadi obat hati, jika kita menggunakannya sebagai cermin. Kalau mau berkaca pada cermin yang tersedia, kita pun menyaksikan betapa bopengnya wajah sendiri.
Apakah kita mau menerima kebenaran atau tidak, itulah persoalannya. Kalau hati kita membatu dan terkunci mati, mata hati kita pun tertutup. Tidak bisa melihat kebenaran. Bahkan, kebenaran itu kita tampik, sebagaimana Bani Israel pernah menampik kebenaran karasulan Muhammad yang ummy dan orang Arab.

Tanda Kalabendu
Tapi, sungguhkah kita sekarang sedang tertimpa bendu? Apa saat ini kita benar-benar sedang mengalami kalabendu? Ronggawarsita memang memaparkan tanda-tanda zaman kalabendu. Namun, leluhur Jawa lain juga menjelaskannya: yen pasar ilang kumandange, yen kali ilang kedunge; wong lanang ilang perbawane, wong wadhon ilang wirange.
Kita mulai urai maknanya dari kalimat terakhir: wong wadhon ilang wirange. Ada kemungkinan, kata wirang diserap dari bahasa Arab, wira’ atau wara’. Lebih kurang, artinya harga diri, kehormatan, kemuliaan, martabat. Karena itu, wirang juga bermakna malu, identitas perempuan yang seharusnya paling menonjol. Perempuan adalah rasa malu, martabat, kemuliaan, kehormatan, harga diri. Perempuan adalah aurat.
Barangkali karena hal ini, syariat Islam mengharuskan perempuan mengenakan hijab khususnya ketika salat. Hijab itu menutupi seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Sebabnya, perempuan adalah rasa malu. Wong wadhon menandakan ke-wirang-an.
Dengan kata lain, hakikat wong wadhon adalah wirang. Untuk menjaga wirang itulah, pakaian dikenakan. Khususnya bagi perempuan, fungsi busana adalah sebagai penutup aurat, penanda identitas keperempuanan.
Tapi, nyatanya saat ini fungsi busana telah bergeser. Pakaian dikenakan tidak semata-mata untuk menutup aurat, menjaga ke-wirang-an, atau hifdhzul farji dalam istilah al-Quran. Pakaian adalah life style. Masalahnya, dalam dinamika pasar, life style itu berlari tunggang langgang tiada hentinya. Mode fashion berganti begitu cepat mengejar kecepatan pergerakan moneter. Kini, pakaian tak bisa dipisahkan dari pasar, tak dapat dilepaskan dari uang.
Maka, pakaian pun jadi tanda keduniawian. Seberapa terikatnya seorang perempuan, juga laki-laki, dengan hal duniawi, terbaca pada pakaian yang dikenakan. Pakaian telah jadi tanda ketidak-eling-an kita. Padahal, semestinya pakaian melambangkan ke-eling-an. Kita tentu ingat frasa Quranik libas al-taqwa, pakaian takwa, yang diambil Hamengkubawana I untuk menamai baju tradisional Jawa yang dia desain: baju takwa.
Pada umumnya, sekarang pakaian tak lagi menandakan ketakwaan, ke-eling-an, dan kemuliaan. Pada kebanyakan perempuan, pakaian tak lagi menandakan ke-wirang-an. Justru sebaliknya, pekaian melambangkan ketidak-wirang-an. Itu artinya, pada saat ini, pada zaman pascamodern, kebanyakan perempuan sebenarnya kehilangan rasa malu, entah sedikit entah banyak.
Bagi Anda, lebih-lebih bagi golongan feminis, hasil pembacaan kasunyatan ini barangkali salah. Namun sebaiknya, kita mengembalikan benar salah pada kenyataan, pada fakta. Kalau kenyataan berkata demikian, apa kita bisa menafikannya? Kalau kasunyatan berkata, wong wadhon ilang wirange, apa kita bisa menyangkalnya?
Tanda zaman kalabendu berikutnya adalah, wong lanang ilang perbhawane. Perbhawa atau kewibawaan batin adalah apa yang membuat kepemimpinan jadi efektif. Karena seorang pemimpin lelaki berwibawa, yang dipimpin pun patuh.
Bawahan menghormati pemimpinnya dengan tulus. Dia menjalankan perintah dengan segenap semangat pengabdian. Dia tidak membangkang. Sebab, dia tahu bahwa sang pemimpin senantiasa berada di pihaknya. Sang pemimpin tidak berlaku zalim kepadanya.
Dalam konteks negara, pemimpin itu adalah presiden sedangkan yang dipimpin adalah rakyat. Dalam konteks keluarga, normalnya pemimpin itu adalah suami, yang tentu saja laki-laki. Yang dipimpin pertama-tama adalah istrinya, yang tentu saja perempuan, kemudian anak-anaknya. Kalau tidak punya wibawa di hadapan istri, suami tidak dipatuhi istrinya. Kepemimpin keluarga pun tidak efektif. Bahtera rumah tangga pada akhirnya karam.
Saat ini, betapa banyak jumlah keluarga broken home. Angka pernikahan dini tinggi. Angka perceraian cenderung meningkat. Kriminalitas remaja, bahkan anak-anak, meruyak. Sedihnya, gejala ini tidak hanya terjadi di kota-kota tapi juga di desa-desa.
Masyarakat kita jadi haus kasih sayang, lapar perhatian. Apa ini yang menyebabkan kita gemar ber-selfie, saya tak tahu. Apa karena ini komunikasi media sosial bagi kita lebih penting daripada interaksi nyata, saya juga tak tahu. Tapi saya yakin, rasa haus akan kasih sayang dan rasa lapar akan perhatian berkaitan dengan masyarakat kita yang sekarang suka ngamuk. Sedikit-sedikit marah.
Kita memandang orang lain dengan mata kebencian dan kecurigaan. Kita cenderung tidak percaya pada orang lain. Lihat saja, di kota Yogyakarta, betapa banyak tukang parkir. Di kota Jambi, betapa tertutupnya masjid. Bahkan, masjid pun berpagar. Pagar besi lagi. Setelah isya, pintu dikunci. Sekolah merasa perlu pasang kamera pantau, CCTV. Kita merasa tidak aman. Kita curiga kepada orang lain, bahkan kepada jamaah masjid dan siswa sekolah yang kita didik. Kita memperlakukan orang lain sebagai ancaman.
Dan psikologi kolektif yang negatif itu boleh jadi bermula pada situasi keluarga. Akarnya, suami yang kehilangan wibawa batin. Wong lanang ilang perbhawane. Ternyata, leluhur Jawa begitu canggih berpikir. Mereka meneliti rantai sebab akibat suatu gejala sosial hingga ke akarnya yang terpangkal, tidak berhenti pada analisis lapis permukaan.
Kecanggihan berpikir leluhur Jawa juga tampak pada penjelasan mereka tentang tanda zaman kalabendu lain: kali ilang kedunge, sungai hilang sumber mata airnya. Dalam budaya Sunda, ada peribahasa mun kiruh tigiring, komo ka halirna. Kalau keruh air di hilir sungai, lebih keruh lagi di hilirnya. Hulu, sumber mata air, melambangkan pemimpin. Hilir menyimbolkan rakyat. Jika pemimpin tak beres, rakyatnya lebih tak beres lagi. Krisis sosial mencerminkan krisis kepemimpinan.
Kali, dalam kalimat kali ilang kedunge, dapat disamakan dengan hilir. Kedung adalah hulu. Kali adalah rakyat. Kedung adalah pemimpin. Kali ilang kedunge menggambarkan situasi ketika masyarakat kehilangan kepemimpinan, ketika rakyat tidak punya pemimpin sejati.
Yang tampil di panggung politik adalah para pemimpin yang mahir main akrobat pencitraan. Tebar pesona untuk menangguk trust dan popularitas. Janjinya diingkari sendiri. Kebijakannya zalim. Politik hanya dimengerti sebagai jurus untuk merebut dan mengelola kekuasaan. Juga untuk mengumpulkan kekayaan. Politik jadi semata-mata bernilai duniawi. Tidak diterangi cahaya hikmah, pelita hikmat kebijaksanaan. Kali ilang kedunge.
Tanda zaman kalabendu keempat: pasar ilang kumandange. Mengapa pasar ilang kumandange? Bukankah hal itu tidak mungkin terjadi? Pasar senantiasa ramai. Hiruk-pikuk. Kumandangnya terdengar hingga jauh. Bila pasar ilang kumandange, tentu bukan pasar lagi. Tidak mungkin pasar sepi seperti kuburan.
Pasemon ini tidak hanya mengisyaratkan kematian pasar tradisional karena kalah bersaing dengan pasar modern dan pasar moneter. Pada era kapitalisme lanjut, pasar mengalami ekstensifikasi seluas-luasnya. Pasar berekspansi sejauh-jauhnya bahkan hingga ke ranah paling privat dan paling personal. Pada Hari Valentin, biasanya mal dan media massa berdagang komoditas cinta.
Selain cinta, religiositas pun telah dikuasai dan dijajah pasar. Secara terang-terangan, agama diperdagangkan. Muncul generasi ulama, yang kini lazim kita sebut ustadz, yang mematok harga tinggi sekali untuk ceramahnya.
Bahkan, ada ustadz yang hilir mudik mengemis sedekah. Bermunculan pula lembaga zakat non-pemerintah. Sebagian amil zakat privat bertampang profesional ini memanfaatkan kemiskinan dan syariat untuk cari uang. Cerita tentang takmir masjid yang sibuk sebar proposal, sudah klise.
Sekarang, tidak ada satu ranah kehidupan pun yang terbebas dari logika pasar. Sekolah dan madrasah adalah pasar. Rumah sakit adalah pasar. Panti asuhan adalah pasar. Masjid adalah pasar. Semuanya jadi pasar, tempat jual beli. Ketika semua ranah kehidupan jadi pasar, apa kita mendengar kumandang pasar? Jangankan kumandangnya, seringkali bahkan kita tak sadar sedang berada di pasar, sedang berpikir untung rugi, sedang bertindak dengan paradigma ekonomistik.
Bandingkan saja, apa kita mendengar suara ultrasonik yang amat sangat keras itu? Saking kerasnya suara, sampai-sampai kita tak mendengarnya. Bandingkan lagi, apa kita dapat melihat sinar matari tengah hari? Saking terangnya sinar, sampai-sampai mata kita tak dapat menangkapnya. Saking luasnya pasar, saking kerasnya hiruk-pikuk pasar, sampai-sampai kita tak mendengar kumandangnya. Pasar ilang kumandange. Sebab, semua telah jadi pasar. Segala hal adalah pasar.

Menuju Kalasuba
Jadi, apa kita sedang mengalami zaman kalabendu? Anda sudah tahu jawabannya. Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya kita menyikapi zaman kalabendu? Bagaimana agar kewarasan kita tetap terpelihara pada zaman edan ini?
Leluhur Jawa menyambung penjelasannya tentang zaman kalabendu: enggal-enggal tapa lelana, njajah desa milang kori. Jika datang kalabendu, segeralah bertapa kelana. Menjelajahi desa dan menghitung pintu rumah.
Apakah tujuan tapa kelana? Imam al-Ghazali ternyata memberikan jawaban. Tujuan tapa kelana, yang dalam literatur sufisme disebut safar, adalah untuk mencari hikmah yang hilang tergerus zaman, menemukan hakikat yang rucat dari syariat, mengejar makna yang meninggalkan wadah simbolisnya.
Sederhananya, tujuan tapa kelana adalah untuk mengobati hati, meruwat diri sendiri. Hati jadi sakit karena terinveksi virus zaman kalabendu, pascamodern, kapitalisme lanjut. Karena itu, hati perlu segera diobati, perlu secepatnya diruwat, supaya segera sembuh dan tak mengeras, membantu, akhirnya terkunci mati. Obat hati banyak. Salah satunya tapa kelana.
Saat bertapa kelana, kita menjelajahi desa, menghitung pintu rumah. Pasemon ini bisa dimaknai sebagai silaturahmi dari rumah ke rumah, dari desa ke desa. Tapi, saya kira maknanya lebih dalam dari itu.
Desa mawa cara, negara mawa tata. Begitu petuah para sesepuh Jawa. Di luar sana, ada banyak kebudayaan, aneka hikmah. Cara satu desa dengan desa lain berbeda. Tatanan satu kota dengan kota lain tidak sama. Tradisi kampung ini dan kampung itu lain. Adat masyarakat ini dan masyarakat itu pun lain.
Berapa banyak desa, sebanyak itulah cara. Berapa banyak kota, sebanyak itulah tatanan. Masing-masing desa, setiap kota, punya rahasia hikmahnya sendiri. Rahasia hikmah itulah yang dicari saat bertapa kelana.
Sebab, apa yang hilang pada zaman kalabendu pada dasarnya adalah hikmah, yang dilambangkan dengan kumandang pasar, kedung kali, perbhawa wong lanang, dan wirang wong wadhon. Jika dalam tapa kelana, yang tidak harus dilakukan secara fisik tapi bisa juga dijalankan secara intelektual, kita bersabar memungut percik demi percik hikmah, dada kita kelak bakal penuh hikmah.
Al-Quran menyebut orang-orang yang dadanya penuh hikmah, yang senantiasa eling, sebagai ulul albab, penjaga rahasia hati. Rahasia hati itu antara lain hikmah, makna, ilmu. Kearifan hidup, kata Gus Dur. Ronggawarsita, dalam penggalan Serat Sabda Jati yang dikutip pada mukadimah tulisan ini, menyebut ulul albab sebagai wiku. Ibnu ‘Arabi, kemudian al-Jilli, menamainya al-insan al-kamil.
Ahli hikmah secara teguh dan istikamah menggenggam bara api kebenaran. Meski kulit telapak tangan leleh oleh bara, dia tidak mengendurkan genggaman itu, apalagi membukanya. Dia memuji ngesthi sawiji, senantiasa beribadah kepada Yang Maha Esa dengan menghayati makna terdalam tauhid: manunggaling kawula-Gusti. Al-‘abuudah.
Tak putus-putus memandang Ilahi, dia senantiasa eling dalam segala keadaan: berdiri, duduk, berbaring. Segala tindak-tanduknya adalah ibadah. Dia ahli tawakal. Dia tak kenal sedih, tak kenal takut.
Karena itu, dengan sepenuhnya bertumpu pada kebenaran, dia berani galibetan tudang-tuding/anacahken sakehing wong, berjalan kian kemari menuding orang lain, menghitung jumlah orang banyak. Dia berani membuka kedok pencitraan penguasa. Menyingkap dusta para pemimpin. Terhadap kasunyataan, dia berkata apa adanya. Tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Cablaka.
Dari mana keberanian itu datang? Dia telah mengalami puncak pencarian hikmah. Telah sungguh-sungguh menghayati bahwa pada asal kejadiannya manusia adalah tanah yang ditiupkan ke dalamnya ruh Ilahi. Mengapa mesti takut jika ternyata Allah, Tuhan Semesta Raya, lebih dekat daripada urat leher sendiri? Adakah yang mampu mengalahkan-Nya? Manusia memang hanya tanah, tapi tanah yang dilimpahi cahaya Ilahi.
Itulah sebabnya, Ronggawarsita menulis, sang wiku, yang kehadirannya menandai berakhirnya zaman kalabendu, mengenakan sabuk tanah. Pada saatnya, manusia yang semula tanah, bakal jadi tanah lagi. Setiap manusia bakal mati. Dalam perjalan hidup yang sekejap, dunia hanya persinggahan sementara. Dunia tak perlu dikejar mati-matian. Orang yang tak takut mati, apa takut menyatakan kebenaran, takut kepada penguasa zalim?
Karena ketidak-takutannya dalam menyatakan kebenaran dan mengkritik kekuasaan itu, sang penguasa, juga mayoritas orang yang telah tenggelam dalam pesona dan nikmat pasar, menganggap sang wiku sebagai orang gila, majnun. Dia gila dalam pandangan manusia. Tapi di langit, namanya harum. Seungguhnya sang wiku berjiwa sehat.
Apakah sang wiku, yang hanya seorang diri ini, benar-benar dapat mengantar kita dari zaman kalabendu menuju zaman kalasuba? Betapa pun juga, sastra adalah pasemon atau simbol, termasuk sastra Jawa. Sastra mengandung berlapis-lapis makna. Sang wiku barangkali simbol pencerahan kolektif.
Bahwa pencerahan kolektif itulah yang menandai peralihan zaman kalabendu ke kalasuba, secara tersirat dinyatakan Ronggawarsita dalam candrasengkala Serat Jaka Lodhang: wiku sapta ngesthi ratu. Tafsirnya, 1877 Saka. Angka tahun ini biasanya di-gathuk-kan dengan 1946 Masehi, satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia.
Terjemahan candrasengkala itu lebih kurang adalah, tujuh pendeta jadi pemimpin. Ternyata, tidak hanya satu, tapi ada tujuh wiku yang akan menahkodai bahtera peralihan zaman. Apa makna tujuh di situ? Apakah mengisyaratkan jumlah tujuh orang?
Tampaknya, makna tujuh tidak sesederhana itu. Tujuh, dalam budaya Jawa, juga dalam tradisi Islam, adalah bilangan istimewa. Lebih dari sekadar menunjuk pada jumlah tujuh, kata tujuh melambangkan kejamakan.
Wiku sapta ngesthi ratu kiranya bermakna pencerahan kolektif, katakanlah semacam renaissance spiritual dan budaya. Terang saja, ketika renaissance seperti ini terjadi, kalabendu tentu bakal segera jadi masa lampau.
Waktu bakal segera bergulir menuju kalasuba, zaman ketika orang kecil tak lagi sengsara. Mereka tertawa gembira. Sebab, sandang pangan tercukupi. Segala harapan politik dan ekonomi pun terwujud. Krisis ekonomi, politik, sosial, dan budaya, berakhir. Tentang zaman kalasuba ini, Ronggawarsita menambah keterangan lain.

Sengkalane maksih nunggal jamanipun
neng sakjroning madya akhir
wiku sapta ngesthi ratu
ngadil parimarmeng dasih
ing kono karsaning manon.

Tinemune wong ngantuk anemu kethuk
malenuk samargi-margi
marmane bungah kang nemu
marga jroning kethuk isi
kencana sasotya abyor.

Terjemahan Simuh (1988), dengan beberapa penyesuaian, atas penggalan Serat Jaka Lodhang itu adalah sebagai berikut. Ciri waktu pada zaman itu, yakni pada zaman pertengahan akhir, muncul wiku sapta ngesthi ratu. Itulah masa keadilan dan kemakmuran yang merata. Demikian kehendak Tuhan. Waktu itu, orang yang sedang mengantuk pun, sambil duduk-duduk saja menemukan kethuk (benda). Kethuk itu terdapat di sepanjang jalan. Orang yang mendapatkannya, bersuka cita. Sebab, di dalamnya ada permata gemerlapan.
Pendek kata, kalasuba adalah antitesis kalabendu. Kesengsaraan kalabendu berganti jadi kesejahteraan kalasuba. Dulu serasa dikutuk. Kini dianugerahi rahmat dan nikmat berlimpah. Zaman kalabendu diselimuti atmosfer amarah. Pada zaman kalasuba, menyebar wangi kasih sayang.
Rantai bencana alam terputus. Politik dan hukum kembali manunggal dengan etika. Ulama jadi pewaris para nabi. Ilmunya bermanfaat. Pasar kembali terdengar kumandangnya. Kali menemukan kedung-nya yang pernah hilang. Lelaki punya kewibawaan batin. Perempuan teguh menjaga wiring-nya.

Kalasuba Pribadi
Kita tak tahu kapan pastinya zaman emas itu tiba. Kita juga tak bisa menerka-nerka kapan ajal kalabendu datang. Sebelum kemerdekaan, kita pernah merasa sedang mengalami kalabendu. Manakala kemerdekaan diproklamasikan, kita pernah merasa yakin bahwa kalabendu telah usai, kalasuba telah menghampiri. Tapi, kemudian kita kecewa. Terbenam kembali dalam liang gelap pesimisme. Rupanya, kalabendu belum berakhir. Begitu kita menyimpulkan.
Sebelum reformasi, kita pun pernah merasa hidup pada zaman kalabendu. Manakala Orde Baru tumbang, kita merasa yakin sedang berdiri di depan gerbang kalasuba. Nyatanya, justru setelah reformasi, berbagai macam bendu berdatangan, seakan menyerbu dari seluruh penjuru.
Kini, kita merasa perlu membaca kembali karya Ronggawarsita. Untuk sekadar membaca tanda-tanda zaman. Untuk merumuskan sikap terbaik merespons kalabendu. Untuk menjaga nyala api optimisme dan harapan yang hampir padam. Atau, untuk mencari jalan keluar dari labirin kalabendu.
Meski pernah berkali-kali, pada berbagai kurun berbeda, membaca tanda-tanda zaman dengan hasil yang meleset, tampaknya kita tak bisa mengelak dari kepastian tanda-tanda zaman saat ini. Kenyataan menunjukkan, kita sedang mengalami kalabendu. Kalasuba terasa bagai mimpi yang jauh.
Sang wiku majnun yang bersabuk tanah, belum tampil. Tujuh wiku yang memimpin masyarakat pun, belum terlihat. Maka, kita butuh renaissance. Kita perlu bertapa kelana. Menjelajahi desa demi desa. Menghitung pintu rumah satu demi satu. Bersegara, tapi dengan sabar dan istikamah, memungut puing-puing hikmah yang berserakan di mana-mana. Lalu, hikmah-hikmah itu diramu sebagai obat hati.
Kita harus bertapa kelana untuk mengumpulkan air hikmah dari tujuh sumur. Air suci itu, tirta itu, lalu kita gunakan untuk membersihkan diri dari najis dan hadats dan janabah kalabendu. Untuk meruwat raksasa yang mendekam dalam dada. Untuk mengikis sifat dur angkara pribadi.
Jika sepanjang hayat tak berjumpa zaman kalasuba, minimal kita mengalami kalasuba pribadi. Saya pikir, itulah yang pertama-tama dikehendaki Ronggawarsita, jawaban mengapa dia menulis Suluk Saloka Jiwa, Suluk Suksma Lelana, Serat Pamoring Kawula-Gusti, dan Wirid Hidayat Jati.
Ronggawarsita ingin kalasuba terbit dan kalabendu terbenam. Tapi dia lebih ingin, kita secara pribadi mengalami kematian dalam kehidupan dan kehidupan dalam kematian, mati sakjroning urip dan urip sakjroning mati. Dia bermaksud menuntun kita menuju jalan lurus, membimbing kita menemukan hidayah. Kepada kita, Ronggawarsita membentangkan rute yang mesti ditempuh untuk menjemput fajar kalasuba pribadi.
Setelah mengalami kalasuba pribadi, ketika mencapai martabat ulul albab, kita tak (lagi) jadi sumber bendu. Setelah menjalani ruwatan, kita tak (lagi) jadi raksasa bagi yang lain. Sebagai penyalur rahmat dan penyebar salam, kita pun bisa dengan jujur berujar: rahayu, rahayu, rahayu….


Bumi Mataram, 27 Ramadan 1437 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam