20/02/13

Apresiasi Puisi 4



KETIKA BERSUJUD DI KAKI JENAZAH IBU

Oleh: Iman Budhi Santosa

Seperti kapal berlabuh, aku di sampingmu 
bersimpuh melipat sauh. Burung-burung yang dulu 
terbang jauh telah kembali, dan di tangannya 
hanya puisi, sedikit doa dan air mata

Tak ada pesan pada untaian melati 
(selain aroma kopi) yang menjelaskan 
bagaimana kemarin engkau pergi. 
Di luar masih berjajar pot-pot bunga, 
kaktus, rumpun sirih, serta pohon nangka 
teman bertapa saat menjanda.
Setiap hari mereka akan bercerita 
“Dulu, kami sering disiram dengan air kendi 
disanjung seperti anak-anak sendiri...”

Kini, potret itu tetap tersenyum di atas peti 
dan kali ini bakal kucium. Sebab, di depanmu 
aku tak pernah merasa tua. Tetap bayi pertama 
buah pertama yang memilih sunyi 
karena kau tak bisa dimiliki seorang diri.

1999

Puisi ini terdapat dalam antologi Matahari-matahari Kecil (Grasindo, 2004) h. 90


Parafrase

Kini aku di sampingmu. Aku seperti kapal berlabuh, yang tengah bersimpuh melipat sauh, setelah pelayaran yang panjang. Aku seperti burung. Dulu ia terbang jauh, kini telah kembali ke sarangnya. Tangannya hanya menggenggam puisi, sedikit doa, dan air mata.

Pada untaian melati, yang menghiasi peti matimu, tak ada pesan—selain aroma kopi—yang menjelaskan bagaimana kemarin engkau pergi. Di luar rumah, masih berjajar pot-pot bunga, kaktus, rumpun sirih, serta pohon nangka, temanmu bertapa saat menjanda. Setiap hari mereka akan bercerita: “Dulu, kami sering disiram dengan air kendi dan disanjung seperti anak-anak sendiri...”

Kini, potret itu, potretmu, tetap tersenyum di atas peti. Kali ini bakal kucium. Sebab, di depanmu aku tak pernah merasa tua. Aku tetap bayi pertama. Aku tetap buah pertama yang memilih sunyi, karena kau tak bisa dimiliki seorang diri.

Catatan
1.      Judul
a. Penyair “bersujud” di kaki jenazah ibu
b. Memakai “jenazah”, bukan “mayat”

2.      Bait 1
a.       Penyair mengungkapkan dirinya dengan mengganti-ganti pelaku secara gradatif: kapal (benda mati), burung (binatang), kemudian manusia. Kapal berlabuh. Burung terbang jauh. Manusia dengan tangannya menggenggam puisi, sedikit doa, dan air mata.
b.      Pada bait ini, ada pergeseran persona secara halus. Mulanya menggunakan “aku”, lalu (klitik) “ia”, yaitu –nya dalam “tangannya”.
c.       Kesegaran ibarat:
v  kapal bersimpuh dan melipat sauh
v  manusia (atau burung?) menggenggam puisi, sedikit doa, dan air mata.

3.      Bait 2
a.       “selain aroma kopi” dimasukkan dalam tanda kurung, petunjuk adanya kontradiksi yang tak pasti. Pada untaian melati bukan tak ada pesan apapun, masih ada pesan tersembunyi: aroma kopi. Tapi keberadaan pesan tersembunyi masih diragukan penyair.
b.      Penyair menyapa ibunya yang sudah meninggal dengan “engkau”.
c.       Kesegaran ibarat
v  Teman bertapa ibu saat menjanda adalah pot-pot bunga, kaktus, rumpun sirih, serta pohon nangka. Penyair me-mereka-kan benda-benda dan tetumbuhan tersebut.
v  Setiap hari mereka akan bercerita bahwa ibu sering menyiram mereka dengan air kendi, bahwa ibu menyanjung mereka seperti anak-anak sendiri.
4.      Bait 3
a.       Penyair menyapa ibunya dengan persona orang kedua tunggal: “kau” serta “-mu”.
b.      Penyair menyatakan dirinya dengan transparan, tidak lagi berakting sebagai kapal dan burung. Secara tegas dan langsung, ia menyebut dirinya dengan “aku”. Pada bait ketiga ini, ia (sudah) meng-aku.
c.       Kesegaran ibarat
v  Potret tersenyum
v  Buah memilih sunyi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam