10/03/12

syukur


Saya sudah lebih kurang lima tahun di Yogyakarta, tetapi saya masih saja kuliah, sementara teman-teman seangkatan saya sudah sarjana, mendapat pekerjaan, dan sebagian telah menikah. Dengan kondisi saya sekarang, apa saya menyesal, dan bersedih? Tidak. Tepatnya, tidak lagi. Pernah saya menyesali keadaan dan menangisi nasib, kemudian bersikap pesimistis. Tetapi rupanya penyesalan, kesedihan, dan pesimisme saya tidak beralasan kuat, bahkan tampaknya tak beralasan sama sekali, dan adalah kerugian besar.

Sikap negatif saya ini muncul karena saya terseret mengikuti arus prasangka umum. Prasangka umum kadang baik, namun lebih sering buruk. Contoh, dalam masyarakat yang tidak rasional, laki-laki yang berjalan memakai payung ketika gerimis turun dinilai tidak jantan. Saya lantas mengikuti prasangka umum ini. Daripada malu dikatain orang banyak dan disangka tidak jantan, saya memilih berjalan tanpa payung ketika gerimis. Akan tetapi, dua menit kemudian hujan turun dengan sangat lebat. Saya terpaksa berhenti berjalan dan berteduh. Waktu saya terbuang percuma hanya untuk menunggu hujan reda. Kalau sejak langkah pertama saya memakai payung, dan menampik prasangka umum, saya tidak perlu berteduh, dapat melanjutkan perjalanan, dan barangkali telah sampai di tempat tujuan. Saya menggunakan waktu dengan baik.

Di sekiling kita, masih banyak prasangka umum yang secara nalar tidak baik dan merugikan, tetapi masih kita ikuti karena kita ingin selalu berada dalam kenyamanan psikologis. Kita tidak ingin digunjing, dicemooh, dan dihakimi masyarakat. Kita takut berpisah dengan masyarakat. Kita ingin hidup damai dengan masyarakat, walaupun hal ini malah membuat kita tidak bisa berdamai dengan diri sendiri.

Hati kecil kita yang cenderung mengarah kepada kebaikan bertikai dengan prasangka umum masyarakat yang tidak senantiasa baik. Pertikaian ini menimbulkan kekacauan batin yang berdampak sangat gawat jika tidak segera diterapi. Kita bisa-bisa terbiasa bertindak tanpa melakukan penalaran terlebih dahulu. Subjektivitas, kreativitas, otentisitas, dan kemampuan kritik kita lama-lama akan melemah. Perkembangan hidup dan kejiwaan kita akan tersendat, macet, atau mengalami kemunduran. Kita akan bermental kerdil. Dan bila pertikaian itu dibiarkan berlarut-larut, kita akan mengalami stress, gila, menjadi tidak lebih mulia ketimbang binatang.

Contoh lain dari prasangka umum yang tidak baik: pelajar yang kuliahnya tidak cepat selesai adalah pelajar yang bodoh, nakal, bejat, dan tidak memiliki masa depan yang jelas. Penilaian dan prediksi mereka mungkin benar, tetapi juga mungkin salah. Ada banyak sebab mengapa si pelajar tidak lekas selesai kuliah. Sebab-sebab itu bisa datang dari luar dan tidak melulu berasal dari kelalaian dirinya sendiri. Sementara itu, apa yang akan terjadi di masa depan tidak selalu bersesuaian dengan hasil analisis logis. Dalam kenyataan, “jika” tidak pasti “maka”; jika empat dikalikan dengan tujuh, maka bisa jadi hasilnya akan sembilan. Di sinilah ruang bagi Tuhan untuk menunjukkan kekuasaan dan cintanya kepada kita, dan untuk mengingatkan manusia bahwa Dia nyata ada.

Oleh karena itu, saya tidak perlu menyesal, bersedih, dan pesimistis. Prasangka umum belum tentu baik dan benar. Walaupun mereka menyangka masa depan saya akan tidak gemilang, saya akan tetap optimistis, karena masa depan tidak tunduk pada prasangka umum dan hanya patuh terhadap kehendak Tuhan.

Dengan kondisi saya saat ini, saya juga tidak perlu menyesal karena niat saya datang ke Yogyakarta sejak semula adalah untuk mencari ilmu. Saya memaknai ilmu sebagai moralitas sehari-hari.

Kampus atau sekolah bukan satu-satunya tempat untuk memperoleh ilmu. Di kampus kita hanya mendapatkan, dan berlatih teknik menemukan, teori-teori. Teori-teori ini oleh manusia yang berjiwa lemah sering digunakan sebagai alat untuk mendukung tujuan-tujuan buruknya. Teori tidak sinonim dengan, bahkan kadangkala antonim dari, moralitas. Tetapi adalah keliru jika pendapat saya ini dikutip untuk membenarkan sikap antipati sekelompok orang terhadap sekolah atau kampus. Fungsi kampus dan manfaat prediket sarjana sangat penting, terlebih dalam masyarakat kita yang simbolis dan pragmatis. Selain itu, soko guru moralitas mustahil diemban sendiri oleh kampus semata.

Ilmu bisa kita timba dari mana saja, kapan saja, dan di mana saja. Kita bisa menimba ilmu di toilet atau di lokalisasi. Kita bisa menimba ilmu ketika sedang mengemudikan motor atau sedang tidur. Kita bisa menimba ilmu dari daun kering yang gugur ke tanah, dari embek kambing, atau dari tembelek ayam. Para nabi memperoleh ilmu langsung dari tuhannya. Untuk menjadi nabi, mereka tidak harus belajar di kampus. Kampus hanya salah satu dari amat banyak tempat mencari ilmu. Sebelum zaman modern, orang belajar di rumah gurunya, di rumahnya sendiri, atau di tempat-tempat ibadah. Pada zaman informasi sekarang ini, orang belajar melalui internet yang telah bisa dioperasikan di mana pun.

Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk menyesal, bersedih, dan pesimistis. Saya hanya punya alasan untuk mensyukuri masa lalu. Masa lalu, entah baik atau buruk, adalah hadiah dari tuhan yang tidak ternilai harganya. Masa lalu adalah bagian dari diri saya. Tengkyu, Gusti.

Yogyakarta, 10 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam