24/03/12

oposisi


Sastra, tidak seperti matematika, tidak menawarkan kepastian. Dalam matematika, dua ditambah dua pasti sama dengan empat. Tidak bisa lain. Dalam sastra, jawaban dari dua ditambah dua adalah keserbamungkinan, bisa empat, bisa nol, bahkan bisa tidak terjawab, atau hanya dijawab dengan: “saya tidak tahu”.

Mengapa sastra bersifat tak eksak? Sastra membicarakan kehidupan. Kehidupan tidak bakal dapat dipastikan. Dan dalam kehidupan, pilihan yang tersedia tidak hanya dua macam saja: atau hitam atau putih. Kadang-kadang hitam secara aneh, menakjubkan, dan selaras bersenyawa dengan putih, tanpa harus menjadi abu-abu. Kadang-kadang apa yang disangka hitam ternyata sejatinya putih, atau sebaliknya. Dan kadang-kadang lagi, ada sosok yang tidak dapat dikategorikan masuk ke dalam golongan hitam maupun golongan putih, jadi dia bukan hitam sekaligus bukan putih, dan dia mengatasi batas yang memisahkan dan membedakan hitam dan putih. Dia adalah sosok yang lain yang baru, seorang moderator yang bergerak (nomad, musafir, gelandangan, orang usiran, petualang, pengelana, pengembara, eksil, dan lain sebagainya, dan seterusnya).

Teori yang dilahirkan dan disimpulkan secara matematis akan menghadapi kebuntuan dan mengalami kebingungan dalam memahami sosok seperti dia. Solusinya, kita mau tidak mau dituntut untuk membatalkan teori tersebut. Kekeraskepalaan kita untuk bersikukuh memegang dan mendukung mati-matian teori itu, selain menunjukkan ketertutupan dan ketakutan kita, juga merupakan sikap yang tidak sejalan dengan kehendak kehidupan, dengan kata lain, kita menjerumuskan diri ke lembah kematian.

Membicarakan kehidupan adalah membicarakan manusia yang ingin mengetahui dengan pasti, dan memastikan, kejadian, tetapi karena kelemahan epistemiknya manusia mesti mengakui bahwa dia tidak mungkin mampu mengetahui, dan menjelaskan, misteri kejadian. Sebab itu, tidak sedikit sastrawan yang tak sengaja menjumpai tuhan dalam perjalanan hidup dan proses kreatifnya, meskipun dia sesungguhnya tidak berniat mencari tuhan.

Tuhan di sini adalah tuhan yang tak terbahasakan. Tidak ada nama yang dapat digunakan untuk menerangkan hakikat-Nya. Penamaan tuhan justru akan mempermiskin dan mempersempit hakikat-Nya. Tuhan tidak lagi memiliki, namun dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Posisi sudah dibalik. Tuhan yang seharusnya Maha Tinggi ditempatkan di bawah (kuasa) manusia yang diciptakan dari tanah yang busuk dan air yang menjijikkan, makhluk yang sangat dan paling rendah asal-muasalnya.

Selain itu, penamaan tuhan merupakan pernyataan terbuka bahwa Dia telah ditemukan. Tidak ada lagi misteri dan pencarian. Manusia yang hidup diberi “insting mencari”.  Lalu, apa jadinya jika misteri tertinggi dan pencarian termustahil sudah tidak ada lagi? Bisa jadi lantaran hal ini, dalam teologi Islam, tuhan dipercayai mempunyai 99 nama yang indah. Angka 99 adalah isyarat ketakterhinggaan, kelaksaan. Maksudnya, tuhan sebetulnya tidak terdefenisikan dan tidak terangkakan. Dia adalah misteri, al-ghaib, dan keluasan, al-wasi’. Karena kemisterian tuhan memungkinkan manusia untuk mengadakan pencarian sehabis-habisnya, manusia pun hidup dengan progresi yang luar biasa. Kita memahami “progresi yang luar biasa” ini sebagai keajaiban. Dengan keajaiban itu, kita merasakan keberadaan tuhan melalui perbuatan manusia yang masuk akal maupun yang tak masuk akal.

Hubungan antara kehidupan dan tuhan ini, menurut pandangan lama yang mempertentangkan antara matematika dengan sastra, tidak terjangkau oleh kaedah-kaedah eksakta. Bagi matematikus, tuhan adalah tuhan yang konseptual dan teoritis. Tuhan tidak dapat tidak bernama. Untuk membicarakan tuhan, kita harus terlebih dahulu memberi-Nya nama, dan merumuskan defenisi-Nya, meringkus dan meringkas-Nya ke dalam bahasa verbal manusia.

Akan tetapi, zaman ketika sastra dan matematika diasumsikan saling berseberangan dan mengambil jalan dan alamatnya masing-masing tampaknya sudah lewat. Kini, entah bagaimana juntrungannya, semakin banyak matematikus yang tak sengaja menyaksikan kehadiran tuhan dengan sarana angka-angka. Demikian pula sebaliknya, telah lahir generasi sastrawan yang menyangsikan kehadiran tuhan, dan mereka terang-terangan mempromosikan diri sebagai ateis. Matematika pun menjadi puitis, dan puisi menjadi matematis. Atau jangan-jangan, kesadaran akan “yang lain yang baru” yang telah lepas dari dikotomi sastra-matematika memang telah tumbuh dalam masyarakat kita. Sains dan agama yang sejak era aufklarung tercerai-berai kini sudah mulai rujuk dan menyatu kembali, bukan?

Yogyakarta, Sabtu, 24 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam