13/02/13

Apresiasi Puisi 1



MEMANDANG YOGYA DARI PENDAPA TAMANSISWA

Oleh: Iman Budhi Santosa

Ribuan anak belajar bijak dan mengepak
dari kamar petak, menikmati langit biru
dari kicau prenjak, menempuh lorong berliku
sambil bercinta dan bersajak

Tangan-tangan kecil sesekali bermain ketapil
sesekali menghujat bedil, karena batu
hanya meruntuhkan buah jambu
tapi, peluru akan membuat jantung peparu
penuh mesiu. “Di sini rumah dan halaman
penuh catatan. Pahlawan ada di setiap penjuru
di setiap zaman dan berpihak pada anak-cucu.”

Tahun demi tahun, ribuan anak datang bertamu
memburu bintang, memahat tembang
mengasah jari, menyusun rencana terbang
rencana menjadi kembang
setelah berguru pada kota berdada lapang
bertemu ibu kedua yang mengajarkan
kasih-sayang, seperti pintu terbuka
lebah kupu-kupu
bebas melintas
mencari cahaya

1999


Diparafrasekan:

Di pendapa Tamansiswa ribuan anak belajar bijak dan mengepak. Beranjak dari kamar petak,  mereka menikmati langit biru. Bermula dari kicau prenjak, mereka menempuh lorong berliku sambil bercinta dan bersajak.

Mereka adalah tangan-tangan kecil yang sesekali bermain ketapil dan sesekali menghujat bedil. Tidak melulu bermain ketapil karena mereka kadang kala sadar bahwa batu yang digunakan sebagai peluru ketapil itu hanya meruntuhkan buah jambu, tidak dapat menumbangkan pohon jambu. Batu yang dilontarkan dengan ketapil berdaya hancur lemah. Tidak kuasa menjatuhkan lawan secara telak. Mereka sesekali juga menghujat bedil karena peluru bedil akan membuat jantung dan paru-paru penuh mesiu. Bedil adalah senjata yang teramat mematikan dan tak bersahabat. Bedil bakal menewaskan lawan. Sedangkan maksud sejati perjuangan mereka bukanlah menewaskan lawan, melainkan menjadikan lawan sebagai kawan. “Di sini, di Yogya, rumah dan halaman dipenuhi catatan yang berisi proses belajar mereka, yang merekam perjuangan mereka. Catatan itu menunjukkan bahwa pahlawan ada di setiap penjuru dan di setiap zaman. Mereka berpihak pada anak-cucu.”

Tahun demi tahun, ribuan anak datang bertamu ke pendapa Tamansiswa, ke Yogya. Di Yogya mereka memburu bintang, memahat tembang, mengasah jari, dan menyusun rencana terbang. Di Yogya mereka juga menyusun rencana menjadi kembang. Rencana tersebut kelak akan mereka wujudkan ketika pulang ke tanah kelahiran masing-masing setelah berguru pada Yogya: kota yang berdada lapang. Ribuan anak itu bertemu dengan Yogya, ibu kedua yang mengajarkan kasih-sayang. Yogya itu seperti pintu terbuka. Bagaikan lebah dan kupu-kupu, mereka bebas melintas melewati pintu terbuka tersebut untuk mencari cahaya.


NB: puisi di atas diambil dari antologi Matahari-matahari Kecil (Grasindo, 2004), hlm. 89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam