MEMANDANG YOGYA DARI PENDAPA TAMANSISWA
Oleh:
Iman Budhi Santosa
Ribuan anak belajar bijak dan mengepak
dari kamar petak, menikmati langit biru
dari kicau prenjak, menempuh lorong
berliku
sambil bercinta dan bersajak
Tangan-tangan kecil sesekali bermain
ketapil
sesekali menghujat bedil, karena batu
hanya meruntuhkan buah jambu
tapi, peluru akan membuat jantung peparu
penuh mesiu. “Di sini rumah dan halaman
penuh catatan. Pahlawan ada di setiap
penjuru
di setiap zaman dan berpihak pada
anak-cucu.”
Tahun demi tahun, ribuan anak datang
bertamu
memburu bintang, memahat tembang
mengasah jari, menyusun rencana terbang
rencana menjadi kembang
setelah berguru pada kota berdada lapang
bertemu ibu kedua yang mengajarkan
kasih-sayang, seperti pintu terbuka
lebah kupu-kupu
bebas melintas
mencari cahaya
1999
Diparafrasekan:
Di pendapa Tamansiswa ribuan anak
belajar bijak dan mengepak. Beranjak dari kamar petak, mereka menikmati langit biru. Bermula dari
kicau prenjak, mereka menempuh lorong berliku sambil bercinta dan bersajak.
Mereka adalah tangan-tangan kecil yang
sesekali bermain ketapil dan sesekali menghujat bedil. Tidak melulu bermain
ketapil karena mereka kadang kala sadar bahwa batu yang digunakan sebagai
peluru ketapil itu hanya meruntuhkan buah jambu, tidak dapat menumbangkan pohon
jambu. Batu yang dilontarkan dengan ketapil berdaya hancur lemah. Tidak kuasa
menjatuhkan lawan secara telak. Mereka sesekali juga menghujat bedil karena peluru
bedil akan membuat jantung dan paru-paru penuh mesiu. Bedil adalah senjata yang
teramat mematikan dan tak bersahabat. Bedil bakal menewaskan lawan. Sedangkan maksud
sejati perjuangan mereka bukanlah menewaskan lawan, melainkan menjadikan lawan
sebagai kawan. “Di sini, di Yogya, rumah dan halaman dipenuhi catatan yang
berisi proses belajar mereka, yang merekam perjuangan mereka. Catatan itu
menunjukkan bahwa pahlawan ada di setiap penjuru dan di setiap zaman. Mereka berpihak
pada anak-cucu.”
Tahun demi tahun, ribuan anak datang bertamu ke pendapa Tamansiswa, ke Yogya. Di Yogya mereka memburu bintang, memahat
tembang, mengasah jari, dan menyusun rencana terbang. Di Yogya mereka juga menyusun
rencana menjadi kembang. Rencana tersebut kelak akan mereka wujudkan ketika pulang ke
tanah kelahiran masing-masing setelah berguru pada Yogya: kota yang berdada lapang. Ribuan
anak itu bertemu dengan Yogya, ibu kedua yang mengajarkan kasih-sayang. Yogya itu
seperti pintu terbuka. Bagaikan lebah dan kupu-kupu, mereka bebas melintas melewati pintu terbuka tersebut untuk mencari
cahaya.
NB:
puisi di atas diambil dari antologi Matahari-matahari Kecil (Grasindo, 2004), hlm. 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam