01/04/11

Empat Posisi Buku



Banyak orang suka pada buku. Mati-matian mereka mengumpulkan uang untuk membeli buku. Sekali waktu mereka bisa membeli sekeranjang atau sekeresek besar buku. Kita kadang, bahkan kita sering, kagum terhadap gaya hidup mereka. Tapi ada yang terlewat, kita silap bertanya: apa motivasi mereka membeli buku?


Buku Sebagai Kosmetika

Buku, bagi sebagian orang, adalah kosmetika. Buku dibeli, ditumpuk, dipajang, dan dibawa-bawa hanya untuk menunjukkan pada orang ramai betapa pemiliknya adalah orang yang tinggi  ilmunya, luas pengetahuannya.

Buku diperlukan sebagai pendongkrak rating sosial. Yang punya buku terbanyak adalah ia yang memiliki kehormatan sosial paling besar. Ia lebih mudah menjinakkan dan menguasai orang lain dengan kosmetika buku.

Namun ia sebetulnya sama sekali tak suka, atau kurang suka, membaca buku. Sebab ia membeli buku bukan untuk dibaca. Membaca buku adalah kerja yang membosankan dan kurang menguntungkan. Berbeda dengan memajang atau membawa buku yang merupakan kerja ringan tapi membawa banyak keuntungan.

Orang seperti ini memang sedang menunjukkan kekuatan dan ketinggian pribadinya. Sayang ia kurang menyadari, justru dengan berperilaku demikian, ia sebenarnya sedang mempertontonkan kelemahan dan kerendahan martabatnya. Ia lemah karena kekuatannya bergantung pada buku. Jika buku-buku yang ia pajang dan bawa hilang atau terbakar, gengsi sosialnya akan susut, martabatnya akan jatuh, dan ia akan dinista orang-orang. Ia rendah karena ia lebih percaya pada buku daripada pada dirinya sendiri. Derajatnya lebih rendah daripada buku. Buku menjadi semacam jimat atau berhala baginya. Ia tidak kenal proposisi: manusia tidak menyembah buku.


Buku Sebagai Pakaian

Buku, bagi beberapa orang, adalah pakaian. Ia penting dan berguna untuk melindungi tubuh dari kebugilan di tempat umum, dari ketelanjangan di ruang publik. Ia dibeli dan dibaca agar pemiliknya tidak disumpahi sebagai orang yang tidak waras dan tidak berbudaya, atau agar ia mudah mencari rujukan apologi ilmiah sebagai pembenaran diri. Niat membaca buku, bagi orang semacam ini, belum muncul dari dalam dirinya sendiri. Tapi ia membaca buku agar orang ramai tidak mengejeknya dan menyalahkannya. Sebagian besar politisi-intelektual dan beberapa mahasiswa atau dosen termasuk dalam golongan ini.  

Pakaian selalu mengikuti mode. Orang akan memburu dan membeli pakaian mode terbaru hanya demi pamer terhadap kawannya atau keluarganya, sama seperti orang akan memburu dan membeli buku mode teranyar untuk pamer kepada sahabatnya belaka. Pembaca buku begini, artinya, dikontrol oleh pasar. Ia tidak memiliki visi otentik. Ia adalah orang yang bingung, gagap, dan terpengaruhi. Jelasnya, ia adalah budak, budak pasar. Padahal, di lain sisi, membaca buku adalah jalan agar kita tidak menjadi budak, metode agar kita menjadi rasional. Sudah pasti kreativitas para budak pasar sangat miskin. Ia, bisa jadi, adalah orang yang lupa menjalani pengembaraan batin dan spiritual.

Naasnya pakaian juga bisa menjadi kosmetika. Orang dihormati karena pakainnya, bukan karena pribadinya. Orang dipandang dan diperhatikan karena bukunya, bukan karena kualitas hati, pikiran, dan kerjanya. Buku dengan mudah mendisposisi manusia.


Buku Sebagai Oksigen

Lamun buku, bagi sangat sedikit orang, adalah oksigen. Tanpa buku ia akan mati lemas. Hidup adalah membaca buku. Tidak membaca buku sama saja dengan memutus urat nadi sendiri dengan pisau dapur, atau menikam perut sendiri dengan ujung gunting.

Tidak jelas apakah ia menundukkan buku atau sebaliknya malah ia yang ditundukkan buku. Yang terang, ia begitu bergantung kepada buku. Seakan-akan pengetahuan atau oksigen hidup hanya diproduksi buku. Ia juga memberhalakan buku. Buku lebih penting daripada manusia. Jika kita mengambil bukunya, ia akan terserang lumpuh, pengembaraan hidupnya akan terhenti.

Padahal, apalah artinya sebuah buku. Buku adalah catatan kehidupan, bukan kehidupan itu sendiri. Buku adalah representasi atau sublimasi realitas, bukan realitas itu sendiri.


Manusia Sebagai Buku Hidup

Masyarakat Padang hebat. Mereka punya seloka: alam terkembang menjadi guru. Di situ tidak tertulis: buku terbuka menjadi guru.  Seloka tersebut merupakan wisdom yang amat dalam. Manusia tidak sepantasnya sujud di hadapan buku. Manusia diharapkan belajar pada alam, pada realitas, pada manusia yang lain, pada hewan, pada tumbuhan, pada makhluk-makhluk di sekitarnya.

Dengan belajar pada alam, manusia menggapai martabatnya, dan ia akan menjadi buku yang hidup. Sedang buku yang kita beli, pajang, baca, dan tanting ke mana-mana dari dulu adalah benda mati belaka.

Dengan belajar pada manusia dan lingkungannya, seseorang akan dapat menghargai orang lain dan mencintai lingkungan. Ia akan menghormati si gila, si bisu, si bengak, anak kecil, si buta, tukang becak, penjual angkringan, hansip keliling, buruh pabrik, guru TK, pengangguran, preman kampung, pengamen, anak jalanan, pemabuk, penjudi, pelacur, sebab  ia menjadikan mereka sebagai tempat belajar, sebagai sumber ilmu, sebagai guru kehidupan.

Dengan belajar pada hewan dan tumbuhan, seseorang akan dengan senang hati merawat sepohon rambutan yang tumbuh di samping rumahnya, memberi makan seekor kucing yang kebetulan mampir di rumahnya.

Dengan belajar pada makhluk yang lain, seperti sungai bening, ia akan membantu masyarakat membersihkan sungai dari sampah yang menyumpal dan menyumbat alirannya, ia akan berpikir keras sebelum seenaknya membuang sampah di sungai.

Akhirnya, buku tidak lebih penting ketimbang manusia. Buku tidak mungkin menjadi manusia. Namun manusia bisa menjadi buku, sekali lagi, buku yang hidup. Saya dapat membaca kehidupan manusia yang lain, saya dapat belajar pada manusia yang lain. Manusia lain dapat membaca dan belajar dari kehidupan saya.

Jogja, 30 maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam