13/04/11

halte

aku perawan. tak punya sayap, tapi ingin memegang awan.

ibu waktu dan bapa ruang, pada suatu jum'at yang malam, saling mengumpulkan kenangan dan harapan, merapal secanting doa berulang kali, dan beberapa hari kemudian, lahirlah aku, seperti sabda yang mudah jatuh ke tanah.

namun orang-orang tak mau mendengar tangisku yang nyanyi, juga tak peduli dengan laparku yang wangi. mereka mengolok-olokku sebagai ular berbisa muasal dosa. anak-anak pembawa layangan dan kelereng, berkumpul melingkari ayunan airku. mata mereka adalah pisau yang diasah tujuh puluh tujuh kali dan ditusuk-tusukkan ke sekujur tubuh kapukku.

aku ketakutan dan meraung dalam bisu. di bibir sungai, ibuku mematung saja. di tepi rumah, bapaku terpaku saja. keduanya seakan tak bisa berbuat apa-apa, juga untuk sekedar berteriak marah: "hei kalian para keji, anak kami bukan haram, kalianlah justru iblis yang bersembunyi di balik rupa dan kata manusia, dan setan yang tenang bersemayam di sela-sela jari tangan tuhan."

tetapi, entah telingaku yang tuli, atau raga dua orang tuaku yang mayat, aku tidak mendengar pertolongan timur atau bantuan barat.

aku perawan. sekarang aku sangat yakin bahwa aku tak punya sayap, dan masih ingin memegang awan. tapi bagaimana metodologi memegang awan?

"Titi tangga ini. Lepaskan bajumu dan kerudungmu dan rok merakmu dan sepatu debumu. campakkan pikiranmu dan tanggalkan tubuhmu. abaikan waktu, ibumu itu. berpalinglah dari ruang, bapamu itu. turun, turunlah ke sini, ke diriku yang awan ini, cintaku. peganglah aku, peganglah aku, dengan sederhana dan apa adanya. "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam