06/04/11

Lada, ca-pek deh...



    TIAP ibu, atau gadis yang sedang berlatih jadi ibu, tentu kenal lada. Lada punya puspaguna. Seorang ibu rumah tangga menggunakannya untuk melezatkan makanan. Seorang tabib yang mahir meramu obat herbal, barangkali akan memanfaatkannya untuk pencampur jamu. Seorang anak kecil, yang lagi suka mengetapel burung prenjak, bisa jadi akan mencuri lada dari dapur, dan memakainya menggantikan kelereng atau kerikil sebagai pelor ketapelnya.

   Atau seorang pencinta yang terlalu kreatif, akan membeli sebutir lada, lalu ia menjadikannya bandul kalung; kalung berbandul lada itu diserahkannya pada kekasihnya sebagai hadiah ulang tahun. Lelucon yang majnun? Betul. Lada, kadangkala juga adalah pertanda ketakwarasan, sebagaimana diceritakan B.J.O. Schrieke dalam Indonesian Sociological Studies.

   Dalam buku yang dijadikan rujukan penulisan sejarah Indonesia oleh Sartono Kartodirdjo itu, Schrieke menjelaskan bagaimana lada yang pada mulanya adalah berkah berubah menjadi bala bagi Jambi. Jenis rempah ini diproduksi di daerah pedalaman Jambi hingga Minangkabau pada abad XVI-XVII. Waktu itu, selain emas, lada adalah komoditi ekspor utama Jambi.

Namun komoditi, seperti pernah disinyalir Karl Marx, akhirnya dipuja mati-matian. Dalam dunia ekonomi-politik, lada diberhalakan, lada dituhankan, dan ia menjelma fethis. Status ontologi lada menanjak tinggi, melebihi manusia, bahkan mengatasi tuhan.

   Lada diperebutkan oleh para orang kayo, orang laut, bangsawan, dan pedagang asing. Kerajaan Aceh yang menguasai pantai barat Sumatera menyerang Jambi hanya salah satunya untuk memonopoli produksi dan perdagangan lada Jambi, persis seperti Amerika dan sekutunya yang belakangan ini menggempur Libya untuk mencaplok minyaknya. Portugis yang menduduki Malaka pun menggempur Jambi. Johor dan Banten sama saja. Gara-gara lada lahir tidak hanya persaingan ekonomi, namun juga perang militer. Karena lada, manusia dihalalkan, bahkan diwajibkan, membunuh manusia yang lain. Majnun, bukan?

   Bahkan sampai saat ini, sisa-sisa perang lada tersebut masih terekam jelas dalam hubungan diplomasi Jambi-Johor. Genealogi konflik perebutan Pulau Berhala antara Provinsi Jambi di satu pihak, dengan Provinsi Kepulauan Riau di pihak lainnya, mungkin saja, secara psikohistoris, berakar dari gonjang-ganjing perang lada itu. Huft! Perang kok ya diwariskan segala! Ca-pek deh…

Jogja, 6 april 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam