15/11/11

jarak


Jarak memang memisahkan. Keterpisahan dianggap sebagai balak yang menyakitkan. Tetapi sejatinya keterpisahan adalah kerugian yang menguntungkan. Penilaian secara adil dan objektif hanya mungkin jika terbentang jarak yang memadai antara si penilai dengan si dinilai. Jarak melahirkan kritisisme dan dekonstruksi-untuk-rekonstruksi. Dalam menilai, bukan dalam melakukan observasi lapangan, llmuwan tidak boleh subjektif, membawa-bawa, apalagi terombang-ambing, oleh perasaan. Dia adalah arjuna yang mau tak mau berperang melawan diri sendiri sebelum berperang melawan orang lain.
Keterpisahan—dalam filsafat manusia disebut sebagai alienasi—adalah syarat bagi berfungsinya nalar secara benar dan tepat. Ketidakbenaran dan ketidaktepatan fungsi nalar mengakibatkan proses kehidupan diatur samasekali tanpa hukum yang mengikat dan legitimatif, dengan kata lain, proses kehidupan itu tak-teratur karena tak “secara sadar” mengatur-diri. Seperti apa yang terjadi di Indonesia: kanon-hukum yang rasional sebenarnya telah disusun, tidak hanya dengan keringat, tetapi juga dengan timbunan airmata dan darah, tetapi karena nalar  tampaknya tidak pernah diberi ruang dan daya hidup yang cukup, maka kanon-hukum itu, beserta segenap institusi penopangnya, segera mati-fungsi, seolah tak ada, bahkan malfungsi.
Untuk menghakimi, maksudnya melakukan evaluasi ilmiah, ilmuwan harus menjaga jarak, berpisah dari himpunan, kelompok, gerombolan, kerumunan. Dia harus masuk ke dalam jagad kesunyian. Ongkos menjaga-jarak tidak murah, tetapi produk yang dihasilkan tidak murahan. Derajat keabsahan penilaian diukur dari konsistensi ilmuwan dalam menaati prinsip-etik dan prosedur ilmiah yang muktabar. Karena menilai suatu objek merupakan kegiatan sehari-hari, maka siapa saja akan tidak mengalami kesukaran berarti ketika melakukannya asal dia berani, pada titimangsanya, melepashempaskan prasangka kuno yang dia anut selama ini. Semua manusia, secara kodrati, adalah ilmuwan (pelajar).
Kesukaran akan muncul saat dia dituntut untuk menilai dirinya sendiri. Dalam rangka menilai diri (muhasabah), manusia mesti membelah dirinya bahkan sekurang-kurangnya menjadi tiga bagian: aktor protagonis, aktor antagonis, dan penonton. Jika menolak mengakui dan tidak menerima fakta kemunafikan diri, dia akan mengeluh bahwa laku tapa brata ini adalah tirakat yang berat dan mustahil.
Sebaliknya, kebersamaan tidak selamanya positif dan menguntungkan. Kebersamaan, dalam setiap situasi terancam yang mencekam, malah akan berperan sebagai habitat tempat meledaknya kekerasan-kolektif yang bersumber dari solidaritas-rimbawi. Kebersamaan yang selama ini dikira oleh kelompok  tertentu sebagai tolok ukur masyarakat ideal, ternyata juga dapat menyihir manusia menjadi binatang patuh, yang ironisnya, sekaligus buas.
Saya pikir karena alasan ini baik Moh. Hatta maupun Sutan Takdir Alisjahbana mendukung dan merekomendasikan suatu individualisme-bersyarat untuk dipancangkan sebagai dasar falsafah nasional. Hatta, Takdir, dan Tan Malaka paham betul watak-beringas masyarakat Indonesia. Dengan mengajukan individualisme-bersyarat (scientitude) sebagai “salah-satu” sokoguru kebudayaan bangsa, mereka mencoba mengarahkan perjalanan Indonesia agar tidak mundur ke belakang kembali ke zaman pra-kolonial atau pra-sejarah. Mereka mencita-citakan berlangsung-terusnya progresivitas sejarah. Mereka membimbing rakyat (presiden, anggota DPR, dan hakim agung pun termasuk rakyat) melangkah ke ambang peradaban. Saya ingat kata-kata Pramoedya sewaktu dia menerangkan apa yang dinamakannya sebagai individuitas: manusia lahir sendiri-sendiri dan mati sendiri-sendiri.

Yogyakarta, 15 november 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam