24/11/11

desire


Dulu saya seorang pembela kesadaran yang gigih. Segala keputusan harus diambil secara sadar. Setiap perbuatan mesti dilakukan dengan kesadaran yang matang. Kalau mau maju, harus berpikir untuk sadar diri. Yang tak sadar, lebih baik menyingkir. Di situ ada alur yang jelas dan lurus: berpikir à sadar  diri à merdeka à progresivitas.
Tetapi kemudian saya mulai mengenal apa yang disebut sebagai desire dan passion. Psikologi Freudian menyebutnya sebagai dorongan tak sadar. Dia tersimpan di dalam alam bawah sadar. Dalam percakapan sehari-hari, kita menyebutnya sebagai naluri (instinct). Ini seperti apa yang dinamakan Nietzsche sebagai spirit dionysian.
Supaya lebih jelas, saya ambil satu contoh. Ada jejaka yang jatuh cinta pada seorang gadis. Siang malam wajah gadis ini memenuhi ingatannya. Di dalam hatinya hanya ada satu nama, nama si gadis. Lain tidak. Dia “ingin” memiliki gadis itu. Dia menyusun beragam program untuk memetik hati si gadis. Dia menjalankan program itu dengan semangat yang meledak-ledak. Si gadis sebenarnya juga jatuh hati kepadanya. Tetapi karena satu dan lain hal, si gadis terpaksa menolak cinta si jejaka. Hati jejaka kontan hancur berkeping-keping. Dia “ingin” pergi ke dukun untuk memelet si gadis atau untuk balas dendam. Dia “ingin” gantung diri. Dia “ingin” melarikan diri, mencari kesibukan lain. Dia “ingin” menjadi orang yang sukses sesukses-suksesnya. Dia “ingin” membuat si gadis menyesal karena telah menolaknya. Dia “ingin” melampiaskan kegagalannya dengan bermain cinta bersama sebanyak mungkin wanita.
Apa semua tindakan si jejaka masuk akal? Tentu tidak. Apa si jejaka berbuat begitu karena tidak punya akal? Tentu juga tidak. Dalam kasus ini, akal si jejaka memainkan fungsi sekunder dan pelengkap. Inilah, saya kira, yang disebut oleh Habermas sebagai nalar instrumental. Determinan dari tindakan-tindakan si jejaka adalah desire. Cinta seperti bedil. Bila dipegang oleh orang yang salah dia akan menjadi senjata pembunuh. Bila dipegang oleh orang yang tepat dia akan menumbuhkan napas kehidupan.
Celakanya (atau untungnya?), bila dicermati betul-betul, tiap tindakan kita, entah sedang jatuh cinta atau tidak, berasal dari dorongan alam bawah sadar. Jika ada anjing menggonggong dan bersiap mengejar kita, kita akan lari terbirit-birit. Tanpa berpikir dahulu, kita langsung saja lari.
Prasangka yang lama mengendap dan terpendam di alam bawah sadar menuntun kita untuk melakukan aksi A atau aksi B. Berpikir dapat mengubah susunan kimiawi prasangka ini atau mendekonstruksinya. Jika ada anjing menggonggong dan bersiap mengejar, seketika muncul prasangka lama di benak kita. Anjing itu akan mengejar saya. Dia akan menggigit saya dengan taringnya yang tajam. Saya akan terluka. Saya akan kena rabies. Agar tak digigit, saya harus lari sekencang-kencangnya. Dengan berpikir, kita meragukan prasangka lama ini. Apa benar anjing itu akan mengejar saya, menggigit saya, lalu saya terserang rabies, dan mati? Rupanya, anjing itu tak bisa mengejar saya. Dia dirantai. Rantainya pendek. Mengapa takut? Mengapa lari? Sayang, ketika ada anjing menggonggong dan bersiap mengejar, kita tak bakal sempat berpikir. Kita akan bertindak secara reflektif dan instingtual.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan banyak kejutan. Peristiwa-peristiwa baru yang tak terprediksi datang menyerbu. Adalah insting kita, dan bukan nalar kita, yang pertama-tama merespon peristiwa-peristiwa itu. Selang sehari atau seminggu setelah peristiwa itu berlangsung, baru kita mencoba berkontemplasi, merenungi kadar kesalahan dan kebenaran tindakan kita.
Dan bila kita tak melatih dan mengelola desire, apa yang akan terjadi kepada kita? Islam menganjurkan kita untuk bermuhasabah.

kediri, 25 november 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam