26/11/11

mencintai


Kuntowijoyo, guru besar UGM, adalah penulis yang sangat prolifik. Dia menulis puluhan buku. Barangkali hidup baginya adalah membaca dan menulis, meneliti dan berkontemplasi. Dia tidak bisa dipisahkan dari dunia penelitian dan dunia sastra. Sampai, suatu waktu, dia terserang penyakit langka. Penyakit itu merusak otaknya. Memorinya sedikit demi sedikit hilang. Tidak mungkin lagi baginya membaca, menulis, meneliti, dan berkontemplasi. Untuk mengingat dan bicara saja payah. Apalagi untuk berpikir dan presentasi. Dapat Anda merasakan bagaimana derita Kuntowijoyo? Dia tidak lagi bisa bermesra-mesraan dengan buku dan bercumbu dengan mesin ketik. Gairah sirna. Tak ada gunanya lagi hidup. Tetapi selama beberapa tahun berikutnya Kuntowijoyo terus bertahan dan mempertebal kesabaran. Dia berusaha menerima realitas. Dia kuat. Namun ajal lebih kuat. Walaupun kemudian dia mangkat, dia meninggalkan warisan berharga: daya tahan di tengah penderitaan dan kemauan untuk hidup ketika maut mendekat. Dia berani hidup dan berani mati.
Kita kenal Beethoven, musisi kenamaan dunia. Begitu banyak orang terpesona dan mengagumi karyanya. Dia menaiki tangga karir pelan-pelan. Dia berhasil mencapai puncak keemasan. Tetapi pada saat itu, ketika popularitasnya sedang meroket, dia harus kehilangan pendengaran. Apa jadinya pianis tanpa kemampuan mendengar? Bagaimana mungkin seorang tuli bisa bermain musik? Lebih kurang setahun setelah dia kehilangan pendengaran, Beethoven bangkit. Dia menciptakan keajaiban. Dia kembali bermusik. Dia kian produktif. Dan pada saat-saat inilah dia menggubah dua karya agungnya: fur elise dan simphony IX. Kekurangan dan keterbatasan bukan hambatan. Hanya karena kekurangan dan keterbatasan, kita bisa maju, dan menjadi lebih baik. Kreativitas tidak bersama orang-orang yang mapan dan sempurna sebagaimana tuhan tidak bersama orang-orang yang merasa suci dan beriman.
Borges adalah penyair amerika latin paling gemilang, selain octavio paz dan pablo neruda. Dia memenangkan hadiah nobel sastra. Boleh-boleh saja dia bilang bahwa dia tidak suka membaca dan menulis. Tetapi kita tahu, sahabatnya yang paling setia adalah buku dan pena. Piranti paling penting untuk membaca dan menulis adalah mata dan tangan. Tampaknya dia sangat menikmati berumah dalam dunia sastra. Ketika memasuki usia senja, matanya mulai rusak. Dia buta. Dia hanya bisa memandang kegelapan yang tak terukur, tak terbatas, tak ternilai. Cahaya meninggalkan dirinya. Dia tidak bisa lagi membaca dan menulis. Sastrawan buta, tidakkah itu demikian mengerikan dan menggelikan? Apa arti hidup bagi seorang sastrawan buta? Tapi borges adalah penyair, orang yang sudah terlalu biasa dengan kontras. Menikmati puisi adalah menikmati kontradiksi, tarik-ulur tak sudah-sudah antara perang dan damai. Sebagai seorang penyair, borges akan belajar mencintai kebutaan dan menyayangi kegelapan.
De mello, seorang spiritualis kristen, memberi nasihat kepada sahabatnya yang mendadak buta: belajarlah mencintai kebutaanmu. Awalnya sahabat de mello ini membenci dan menolak kebutaannya. Dia berjuang keras untuk mencintai kebutaannya. Dia berhasil. Parasnya cerah. Dia bahagia.
Cerita serupa banyak kita dengar. Ada pemain sepak bola dunia yang kakinya harus diamputasi. Ada penari balet yang kaki dan tangannya patah. Ada aktris atawa model yang wajahnya tersiram air raksa. Ada pangeran yang dikutuk menjadi si buruk rupa. Ada putri yang disihir menjadi angsa. Ada raja yang kehilangan tahta. Ada jutawan yang perusahannya gulung tikar. Dan sebagainya. Beberapa di antara mereka terburu-buru mengambil kesimpulan dan kehilangan kepercayaan diri, lalu bunuh diri atau membunuh orang lain. Beberapa yang lain mengumpulkan remah-remah semangat, membangun kembali kehidupan yang telah runtuh, dan memupuk mimpi yang tengah sekarat. Mungkin mereka berhasil bangkit. Mungkin juga tidak. Tetapi mereka tidak kehilangan iman dan harapan. Karena bencana, kepercayaan mereka kepada diri sendiri, tuhan, dan orang lain bertambah tambun. Martabat mereka terangkat tinggi, seperti Isa yang diangkat ke langit setelah menerima sekian banyak ujian. Mereka menjadi lilin yang menerangi, sosok yang menginspirasi.
Yogyakarta, 27 november 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam