24/11/11

Sekolah


Tidak bisa dimungkiri, sekolah, dengan sistemnya yang impersonal, kuantitatif, dan kognitivis, memengaruhi perilaku harian para siswa. Guru memang tidak mengajarkan cara berpikir kuantitatif kepada para siswa. Guru tidak menganjurkan kepada para siswa untuk mendefinisikan belajar sebagai menghapal dalam rangka ujian tertulis. Guru tidak secara langsung menjelaskan bahwa Ahmad adalah nabi dan bukan manusia; bahwa Santi adalah pelacur, bukan manusia; bahwa Suratman adalah polisi, bukan manusia; bahwa Rini adalah guru, bukan manusia; bahwa Paino adalah siswa, bukan manusia; bahwa Sakti adalah algojo, bukan manusia; bahwa Soekarno adalah pahlawan nasional, bukan manusia; bahwa Soeharto adalah penyamun nasional, bukan manusia.
Guru tidak pernah mengajarkan semua itu. Namun sistem sekolah, dari prinsip manajemen, regulasi, kurikulum, hingga mekanisme evaluasinya, mengondisikan siswa untuk tidak bisa menjadi manusia yang mengalami orang lain sebagai manusia. Sekolah membuat para siswa kurang mampu mengelola prasangka. Dengan landasan berpikir seperti ini, absah-absah saja menunjuk sekolah sebagai ujung pangkal dari meruyaknya tawuran antarpelajar-antarmahasiswa, pragmatisme politisi, kebangkrutan negara, luluh-lantaknya masyarakat, dan menipisnya peluang perdamaian antarbangsa.
Namun sekolah, sebuah lembaga pencerahan yang sejatinya luhur, tidak bisa semena-mena disalahkan. Pada mulanya sekolah mengacu pada tujuan profetis. Dia berjalan pada koridor yang sahih. Sudah kodrat alam, pencerahan yang dilembagakan akan mengalami reduksi sedemikian rupa sehingga terjadi diferensiasi yang jelas antara pencerahan di satu pihak dan lembaga di pihak lain. Tadinya, pencerahan dan sekolah adalah kesatuan utuh; sekolah adalah raga, pencerahan adalah jiwa. Waktu membelahnya ke dalam dua bagian yang sama sekali terpisah, bahkan terkadang kontradiktif. Sekolah adalah tempat untuk menghapal, mengejar nilai terbaik, bersaing secara curang, menyikutsepak kawan sebangku, menjilat kepada guru, membunuh rasa merdeka dan aktivisme, mengader para tukang yang loyalitas dan patriotismenya tak rasional.
Sementara pencerahan membimbing murid (salik) untuk mencapai ufuk sebaliknya. Murid adalah manusia yang mengalami, bukan menghapal.  Dia tak mengejar nilai dalam bentuk angka yang dengan mudah dapat dikuantifisir dan dimanipulisir. Dia mencari kepuasan, kedamaian, dan kecukupan batin yang tak mungkin diukur menggunakan komputer secanggih apa pun. Apa yang sungguh-sungguh dia cari adalah makna. Dia tak terburu-buru menyiksa diri untuk meraih nilai terbaik di mata manusia. Dia secara perlahan-lahan bereksperimentasi mencapai nilai terbaik di mata tuhan, dan terutama, di mata dirinya sendiri. Murid bukan tak kenal persaingan. Dia butuh persaingan dan pertarungan. Hanya dengan menghadapi pertarungan dia bisa mengevaluasi sampai di mana, dari mana, dan akan ke mana dia berjalan. Tetapi murid juga mengenal kerjasama yang dibangun atas dasar kesadaran. Di negara kita, kesadaran ini tercantum pada lima butir sila pancasila dan dijabarkan dalam konstitusi. Murid memang bersaing dengan kawan sebangku, tapi dia tidak memandangnya sebagai musuh. Dia memosisikannya kadang-kadang sebagai kawan bergelut dan kadang-kadang sebagai lawan senasib-sepenanggungan. Hubungan antarmanusia tidak pernah, dan tidak mungkin, kaku, monoton, tanpa dinamika. Kita butuh sengketa sebagaimana kita butuh musyawarah. Murid tidak menjilat dan meminta-minta kepada guru. Guru juga tidak meminta uang dan penghargaan kepada murid. Murid dan guru saling memberi. Tidak ada kata meminta dalam ruang kelas. Tidak pula di luar ruang kelas. Meminta hanya akan mengurangi. Memberi akan menambah. Murid mempertahankan, merawat, menumbuhkembangkan, serta menggunakan rasa merdeka dan aktivismenya. Pasivitas bukan ciri seorang murid. Murid taat dan takwa, tapi tidak pasif dan tidak terbelenggu oleh komando dan aturan. Dia akan berani menilai mana perintah yang wajib, sunah, makruh, atau haram untuk ditaati. Perintah dari guru yang kualitas moralnya ambruk haram ditaati. Hanya keledai yang mau diperintah oleh seorang koruptor. Murid selalu belajar menjadi pemimpin, karena manusia pada hakikatnya adalah leader. Menjadi tukang sama halnya dengan memesinkan diri. Kita pernah menonton terminator atau film sejenis, memang. Tetapi kenyataan menyebutkan, robot yang marah, menyesal, menangis, jatuh cinta, dan berniat membalas dendam belum pernah ditemukan. Fantasi tidak sama dengan fakta.
Sekarang kita menyaksikan, sekolah tidak lagi berfungsi sebagai lembaga pencerahan. Dengan metode menghapalnya, sekolah, sadar atau tidak, berusaha mengekalkan dan mempertebal prasangka. Selain itu, mengurangkreatifkan siswa. Cara belajar siswa pun menjadi seragam. Seolah-olah, satu-satunya gaya belajar yang tersedia hanya menghapal.
Pare membuka mata saya. Di Kampung Inggris, selain berharap sesegera mungkin dapat berbicara dengan lancar dalam bahasa inggris, kerja para pelajar tampaknya hanya masuk ke ruang kelas, menerima rumus dan vocabulary. Sampai di asrama atau kos-kosan, mereka akan sibuk menghapal, apalagi bila menjelang ujian. Saya pikir pare didesain sebagai alternatif dari sistem sekolah. Namun karena mayoritas pelajar pare adalah mereka yang pernah belajar di sekolah, maka mereka membawa “cara belajar standar” yang konvensional ke pare. Saya tidak mempermasalahkan apakah dalam jangka dekat atau lama mereka akan berhasil mengusai bahasa inggris atau tidak. Saya hanya sedih, jika mereka berhasil mengusai bahasa inggris, misalnya setelah belajar selama sebulan-dua di pare, jiwa mereka masih akan hampa dan hambar. Cahaya ilmu tidak mengisi batin mereka. Setimbun rumus dan sekarung vocabulary hanya mengendap di dalam kepala. Kita sudah belajar banyak dari peradaban barat. Saintisme Eropa dan Amerika gagal membangun humanisme global.
Saya bukan Illich. Saya tidak membenci sekolah dan mempropagandakan keharaman sekolah. Sekali lagi, sekolah tidak harus disalahkan. Saya juga lulusan sekolah. Saya masih menempuh studi di sebuah universitas negeri. Untuk menjawab persoalan yang ada, dan memperbaiki keadaan, harus terdapat keseimbangan antara kata “tidak” (nafi) dan kata “ya” (itsbat). Saya sekadar menyelediki seseksama mungkin. Tanpa sekolah, sulit membayangkan Indonesia bakal berumur panjang.

Kediri, 24 november 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam