30/09/10

Dan Marah pada Jawa Bertahta


Pramoedya Ananta Toer (PAT) hanya bisa terbakar amarah sendirian di usia senjanya. Setelah berjuang puluhan tahun, ia merasa terasing di negerinya sendiri, negeri yang amat dicintai dan dibanggakannya: Indonesia.

Ia menyadari, perjuangan literernya puluhan tahun menasihati bangsanya agar tidak terus dan terus terperosok dalam jurang kehancuran kebudayaan tidak dihargai oleh bangsanya. Naskah-naskahnya dirampas angkatan darat, lalu dibakar. Perpusatakaannya yang memuat ribuan manuskrip dan dokumentasi historis langka, juga dibakar. Melalui mulut Kejaksaan Agung, Soeharto melarang diterbitkannya karya-karya PAT.

Sastrawan kelahiran Blora ini selama 10 tahun disekap di kemp konsentrasi Buru tanpa proses pengadilan apapun. Bahkan PAT tak tahu apa sebetulnya kesalahaannya. 34 tahun lamanya sejak peristiwa kudeta 1965 ia menjadi tahanan politik. Di kemp konsentrasi Buru, PAT sempat mau dibunuh. Tapi eksekusi tak jadi dilaksanakan karena ada tekanan politik terhadap Seoharto dari masyarakat internasional.

Yang menghargai PAT justru Amerika, negara yang ironisnya amat dibenci oleh PAT terutama karena peristiwa kudeta 1965 dan penaklukan Timor-Timur. Ironisnya lagi, penggagas buku “Saya Terbakar Amarah Sendirian” ini adalah wartawan berkebangsaan Amerika, Andre Vltchek.

Sejak Desember 2003 hingga Maret 2004, Andre Vltchek menyusun buku ini bersama Rossie Indira, seorang arsitek dan analis bisnis yang aktif menulis di The Jakarta Post, Gatra, dan Geograficky Magazin Kokteijl. Andre awalnya khawatir kalau-kalau
PAT menolak diwawancarai dalam rangka penyusunan buku ini.

Tetapi kemujuran memihak Andre: “Boleh saja,” kata PAT menyutujui usul Andre. Meski demikian, PAT tak bisa menyapu seluruh kecurigaannya terhadap wartawan Amerika tersebut. PAT benar-benar memendam kebencian dan amarah yang besar terhadap Amerika. Tapi kecurigaan tersebut tidak sedikitpun mengurangi kebernasan buku ini. Sebaliknya, kecurigaan itu malah mampu menggambarkan sikap tegas PAT terhadap Amerika.

Jasa Penjajah

Namun, PAT tak mau menimpakan seluruh kesalahan atas kehancuran Indonesia pada Amerika semata. Tidak pula pada Belanda semata atau Jepang belaka.

Amerika memang berkonstribusi besar dalam peristiwa kudeta 1965, sebuah peristiwa politik yang menelan 8 ratus hingga 3 juta rakyat Indonesia, peristiwa yang mengubah haluan ekonomi-politik Indonesia menjadi pendukung kapitalisme, peristiwa yang memotong proses nation dan character building yang tengah digalakkan Soekarno. Tanpa komando Presiden Eishenhower dan CIA, Soeharto dan gengnya tak mungkin mampu menyingkirkan Soekarno dan PKI.

Terhadap penjajahan Belanda dan Jepang pun, PAT tak mau melihatnya hanya dari lensa hitam-putih. Benar bahwa kedua negara imperial tersebut telah mengeksploitasi kekayaan alam dan keringat-darah rakyat Indonesia. Tetapi jasa-jasa Belanda dan Jepang terhadap kemajuan bangsa Indonesia tidak bisa seenaknya dilupakan.

Belanda-lah yang menyatukan bangsa-bangsa di Indonesia. Tanpa jasa Belanda “tidak akan ada yang namanya Indonesia. Suku-suku lokal masih akan terus berperang sendiri, sampai sekarang”. Indonesia mengenal administrasi, pemerintahan, pers, hukum, dan pendidikan dari Belanda. Bahkan tanpa andil Belanda, sukar membayangkan nasionalisme Indonesia.

Dan tanpa politik bahasa yang dilancarkan Jepang, Bahasa Indonesia tidak akan seberkembang sekarang. Untuk menancapkan kuku-kuku ideologisnya, Jepang mendirikan Komisi Istilah di Indonesia, suatu badan kebudayaan yang tugas pokoknya membahasa-indonesiakan istilah-istilah asing.

Gejala Jawanisme

Dalam penglihatan PAT, sejatinya bukan Belanda atau Jepang atau Amerika yang menjadi biang-keladi penjajahan nusantara selama berabad-abad. Biang-keladinya adalah Jawanisme. “Jawanisme”, papar PAT “adalah taat dan setia kepada atasan, yang pada akhirnya menjurus pada fasisme. Kita namakan fasisme Jawa saja ya, dan sistem ini tumbuh dan berkembang dengan sangat subur pada masa Soeharto”.

Belanda dapat dengan enteng masuk ke dan menjajah Pulau Jawa karena Jawanisme. Raja-raja Jawa berkolusi dengan Belanda. Melalui tangan raja-raja Jawa, Belanda menjajah nusantara.

Setelah menerima suap dari Belanda, raja-raja tersebut memerintahkan pada rakyatnya untuk bekerja memproduksi rempah-rempah demi keperluan ekonomi Belanda. Dan rakyat menuruti saja segala yang diperintahkan rajanya, tanpa pembangkangan, tanpa perlawanan, tanpa reserve-revolt, kendati mereka mengetahui bahwa rajanya korup dan amoral. PAT memberi contoh praktik Jawanisme lainnya:

“Ketika di abad ke-16 awak kapal dari Belanda datang untuk menjarah kekayaan bangsa, para kepala desa diberi emas dan perak sebagai sogokan atau kompensasi sehingga mereka tidak protes atau melawan. Dan rakyat desa juga tidak berani melawan karena menghormati atasannya. Jawanisme! Dengan demikian seluruh bangsa dijarah, dan pihak-pihak yang diuntungkan adalah penjajah asing dan kaum elit.”

Tidak saja di masa penjajahan Belanda, di era kependudukan Jepang Jawanisme sangat dapat dipersalahkan sebagai biang-keladi kehancuran dan penindasan. Adalah Jawanisme yang menyebabkan terjadinya pembiaran atas hilang dan matinya para romusha ketika itu.

“Tentara Jepang memberi perintah kepada kepala desa, tapi mereka tidak pernah benar-benar mengambil otoritas. Kemudian para kepala desa itu mengirimkan ratusan orang desa untuk kerja paksa (romusha), baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Banyak yang mati sewaktu kerja paksa ataupun yang tidak pulang lagi ke kampungnya. Tetapi orang masih saja nurut sama kepala desanya, walaupun kepala desa itu menerima sogokan dari tentara Jepang,”

Berkuasanya Orde Baru selama lebih dari 32 tahun juga disebabkan Jawanisme. Awalnya, intelektual, seniman, dan agamawan pada takut menggugat atasannya. Mereka tidak berani mempersoalkan korupsi Soeharto dan keluarganya. Mereka terlalu pengecut untuk mengorganisir pembangkangan politik melawan Soeharto. Hanya PAT dan beberapa gelintir orang saja yang sejak awal tercacaknya Orde Baru konsisten dan kontinyu mengadakan perlawanan politik terhadap Soeharto.

Karena Jawanisme, terjadi kolonialisasi Jawa atas provinsi lainnya, atas Aceh, atas Papua, atas Maluku, atas Ambon, atas Timor-Timur, atas hampir seluruh provinsi di nusantara. Pada lain matra, Jawanisme menyuburkan penghisapan elit politik atas rakyatnya sendiri.

Bahkan setelah Soeharto lengser keprabon, Jawanisme bukan segera lenyap, melainkan semakin parah. Reformasi, dalam pandangan PAT tidak bisa menghapus Jawanisme ini.

Lantaran Jawanisme, budaya korupsi saat ini merambah ke mana-mana. Dalam Jawanisme, golongan masyarakat terbagi dua: a) golongan yang tidak pernah bekerja, tidak pernah berproduksi, dan tidak pernah berkreasi tetapi berharap mendapat uang, kekuasaan, dan prestige sosial. Sudah pasti, uang hanya mereka dapatkan melalui korupsi dan pemanfaatan kedudukan. Golongan ini cenderung opurtunis, menjilat, dan hipokrit; b) golongan yang selalu hanya bekerja dan bekerja, tapi sedikit bahkan tidak mendapat upah sepeser jua dari pekerjaannya. Mereka sangat takut dan tunduk pada atasannya. Tak berani mereka mengungkit-ungkit kesalahan atasannya. Harapan terbesar golongan ini adalah bisa seperti atasannya yang tidak bekerja tapi kaya, terpandang, dan dihormati. Pada golongan atas yang lazim disebut priyayi atau elit ini, korupsi membudaya dan menjadi perilaku keseharian. Dalam Gadis Pantai, PAT dengan panjang lebar membabarkan kebusukan Jawanisme tersebut.

Selain korupsi, Jawanisme juga dituduh PAT sebagai biang-keladi dari budaya konsumtivisme dan deintelektualisme bangsa ini. Jawanisme hanya mendorong orang untuk mengkonsumsi tanpa berproduksi, mendapat uang tanpa bekerja, dan berjaya tanpa berkreasi. Pendidikan formal dan pendidikan di keluarga kita tidak mengajarkan budaya produksi sejak anak kecil. Dan karenanya, kreativitas anak bangsa pun mati. Budaya dokumentasi dan mengarang, yang digolongkan sebagai kerja kreatif mengalami kemerosotan.

Akibatnya jumlah karyatulis sangat sedikit dan Bahasa Indonesia masih juga miskin. Akibat lainnya, budaya membaca tidak pernah sungguh-sungguh membahana di Indonesia. Anak-anak Indonsia lebih suka menonton televisi daripada membaca, daripada menambah pengetahuan. “Mereka tidak lagi punya budaya membaca, mereka lebih senang menonton televisi... Mereka hanya menonton televisi, dan tidak punya keinginan untuk menambah ilmu,” keluh PAT.

Konsumtivisme yang dipicu dan dipacu oleh Jawanisme juga menyurutkan nasionalisme rakyat. Menurut PAT, mayoritas rakyat Indonesia lebih bangga mengkonsumsi segala yang berbau asing. Demikian pula, para intelektual Indonesia lebih suka dan lebih bangga memakai istilah-istilah asing ketimbang bersetia terhadap Bahasa Indonesia. Dengan sinis, PAT menyindir mereka: “Intelektual macam apa itu!”

Tetapi yang terburuk, sudah sejak abad ke-16 Jawanisme mengerdikal mental rakyat Indonesia. Mereka menjadi demikian penakut dan pengecut. Kepribadian, identitas, dan individualitas raib dari diri mereka. Keberanian mereka baru muncul saat tergabung dalam kelompok-kelompoknya. Ini yang menjadi biang-kerok tradisi tawuran, vandalisme, dan barbarisme yang mentradisi di Indonesia. Selain itu, Jawanisme menjadikan bangsa ini bermental inferior, pengemis, pesuruh, tukang, budak, kuli. Maka bisa dimaklumi jika saat ini Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengeskpor tenaga kerja terbesar di dunia.

Kebusukan-kebusukan Jawanisme tersebut menurut PAT menghancur-totalkan kebudayaan kita. Kebudayaan kita menjadi sangat miskin karenanya. Bahkan PAT sampai-sampai bertutur seperti ini’: “...Kebudayaan Indonesia sangatlah miskin. Mana yang disebut budaya Indonesia? Budaya Indonesia yang sebenarnya belum lahir...”

Dalam buku ini PAT melihat bahwa Soekarno memiliki wawasan yang cukup dalam tentang Jawanisme. Oleh karena itu, Seokarno melancarkan proyek kebudayaan nation dan character building yang dipandang amat idealis oleh PAT. Tetapi, kudeta 1965 yang disetir Soeharto mengagalkan proyek kebudayaan tersebut. Dan hasilnya, sampai sekarang Jawanisme bertambah subur, subur, dan subur.

Revolusi Total

Gara-gara suburnya Jawanisme ini, Indonesia kini mengalami kehancuran total, lebih-lebih secara kebudayaan. Untuk mengobati kehancuran tersebut, hanya satu jalannya: revolusi total.

PAT tidak lagi percaya bahwa reformasi atau pemilu mampu mengobati kehancuran total Indonesia. Reformasi cuma me-reform Orde Baru dan membentuk versi baru Orde Baru. “Sekarang sudah rusak sekali, reformasi apapun tidak akan berpengaruh,” tegas PAT.

Proses pemilu juga tidak akan menghasilkan perubahan berarti. Para calon presiden yang mengikuti kontestasi pemilu tidak mempunyai wawasan ke-Indonesiaan. “Apa yang bisa kita harapkan dari mereka? Kayak badut saja”. PAT bahkan tidak mementingkan lagi siapa yang akan berkuasa, siapa yang terpilih sebagai presiden. “...tidak penting siapa yang jadi penguasa, kondisi Indonesia yang sudah sangat memprihatinkan ini tidak akan berubah”.

Lagi-lagi satu-satunya obat hanya revolusi total. Dan PAT membebankan tugas tersebut pada angkatan muda. Sebab, “sejak tahun 1915 sejarah Indonesia dibuat oleh angkatan muda”. Untuk kesekian kali PAT menegaskan: “Saya rasa, Indonesia sudah tidak bisa tertolong lagi, kecuali dengan perubahan yang radikal. Dan ini harus dipimpin oleh angkatan muda. Jangan banyak bicara, harus langsung bertindak! Obatnya hanya revolusi, tidak ada yang lain.”


Namun PAT melihat kekurangan yang diderita angkatan muda Indonesia. Di matanya, mereka belum juga melahirkan para pemimpinnya sendiri. Lain dari itu, PAT merasa angkatan muda tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan revolusi yang sungguh-sungguh; revolusi yang tak sekedar menaik-turunkan penguasa dan mengganti sistem politik dan ekonomi, revolusi yang tak melulu me-reform, tetapi revolusi yang berambisi membumihanguskan Jawanisme dan melahirkan kebudayaan Indonesia yang baru.

Dan begitulah, karena tumpukan masalah yang dihadapi Indonesia tersebut, karena kehancuran total kebudayaan yang tengah dialami Indonesia, karena angkatan mudanya belum secara sungguh-sungguh bangun menggerakan dan memimpin revolusi total, dan karena Indonesia belum mau menghargai pikiran-pikirannya, Pramoddya Ananta Toer, sastrawan agung yang merindukan kejayaan Indonesia, menjadi “terbakar amarah sendirian”, sendirian, sendirian. Tetapi dengan diterbitkannya buku ini, semoga angkatan muda Indonesia dapat menangkap fibrasi kemarahan PAT itu, lalu mematerialkannya dalam gerakan revolusi total yang sungguh-sungguh.


Judul : Saya Terbakar Amarah Sendirian;
Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan
Andre Vltchek & Rossie Indira
Penyusun: Andre Vltchek dan Rossie Indira
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cet. Ke : I, 2006
Hal. : xxix + 131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam