30/09/10

Manifesto Ekonomi "Indonesia Merdeka"

:: review buku "Manifesto Ekonomi Kerakyatan" karangan Revrisond Baswir

Di Belanda, suatu hari pada Juli 1922, M. Hatta dan Tan Malaka berdebat sengit tentang partai revolusioner dan diktator proletariat Lenin. Keduanya memiliki pandangan demokratis yang sama: tak sepakat dengan praktik otoriterianisme Lenin. Namun tentang hal ini, Hatta lebih radikal. Menurutnya, sosialisme yang sejatinya demokratis, tak boleh dicapai melalui jalan otoriter seperti yang dipraktikkan Lenin.

Sejak berdebat dengan Tan Malaka itulah, Hatta lebur dalam kontemplasi-kontemplasi sosialisme yang lebih mendasar. Nanti, kontemplasi tersebut akan membuahkan bangun pemikiran otentiknya yang bertujuan mengoreksi sistem kehidupan kolonial di Hindia-Belanda. Segala sektor kehidupan kolonialistik mesti dihapus. Politik kolonial harus diganti dengan politik kontra-kolonial. Demikian pula hukum, pendidikan, budaya, sosialitas, dan terutama ekonomi.

Sistem ekonomi kolonial yang berorientasi ekspor dan tidak berpihak pada bumiputera harus diganti dengan sistem ekonomi sosialisme yang bercorak keindonesiaan. Hatta menyebutnya sebagai sistem ekonomi terpimpin. Mubyarto mengistilahkannya sistem ekonomi Pancasila. Sedang Revrisond Baswir, penulis buku ini, menamainya sistem ekonomi kerakyatan.

Tujuan jangka pendek sistem ekonomi kerakyatan adalah demokrasi ekonomi, sedang tujuan jangka panjangnya demokrasi sosial-politik. Maksudnya, ekonomi kerakyatan mau menyetarakan kedudukan seluruh rakyat Indonesia secara ekonomi, sosial, dan politik.

Kesenjangan ekonomi antara the have dan the have not hapus. Kesenjangan sosial, entah karena latar belakang status, ras, agama, atau ideologi pupus. Ketaksetaraan akses dan partisipasi politik rakyat hangus. Sebab, penyebab kesenjangan dan ketaksetaraan sosial-politik rakyat adalah perbedaan akses ekonomi. Siapa kaya, ia yang punya status, dan akhirnya ia yang punya kuasa politik.

Melihat jejak sejarah ekonomi kerakyatan, nyatalah bahwa ia bukan barang baru sebagaimana keliru pandang sementara orang terhadapnya. Bahkan, dalam Pancasila, dan tentu juga UUD 1945, terkandung muatan ekonomi kerakyatan. Atau justru, ekonomi kerakyatan dan Pancasila tak terpisahkan dan identik. Karena itu, ekonomi kerakyatan tak sebatas jargon politik yang artifisial, temporal, dan tendensius.

Ekonomi kerakyatan telah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh Hatta. Dan pasal 33 UUD 1945, yang dirumuskan Hatta, yang terancam dihapus saat amandemen MPR paska reformasi, adalah referensi subtil dan padat terkait sendi-sendi ekonomi kerakyatan.

Upaya penghapusan pasal 33 UUD 1945 yang digagalkan oleh Mubyarto merupakan bentuk subversi agen neo-liberal—musuh utama ekonomi kerakyatan—agar rezim pasar bebas dapat sepenuh-penuhnya memonopoli aktivitas ekonomi di teritorial nasional RI. Sebenarnya masih banyak upaya-upaya subversif neoliberal-neokolonial lainnya di Indonesia.

Agresi militer I dan II yang menyeret RI ke Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 adalah subeversi neokolonial pertama kali terhadap RI. Hasil keputusan perundingan tersebut sangat merugikan pihak RI. Neokolonial merepresi RI agar bersedia mempertahankan eksitensi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, mematuhi ketentuan-ketentuan IMF, dan melunasi hutang warisan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Revrisond Baswir dalam buku tipis ini juga menyebutkan bahwa pemberontakan PRRI/Permesta, sandiwara politik-militer menggulingkan Soekarno, dan penandatanganan MoU RI-IMF pada krisis 1997-1998 oleh soeharto termasuk bentuk subversi neokolonial yang paling vulgar.

Demikianlah, dengan sederet aktivitas subversif itu, neokolonial ingin mengintegrasikan ekonomi indoensia dalam jejaring tata ekonomi global. Neokolonial bermaksud mengambalikan kondisi keterjajahan Indonesia pra-proklamasi; atau jika bisa lebih parah ketimbang itu. Dan kini, paska-reformasi, tampak jelas bahwa sistem ekonomi-sosial-politik Indonesia mirip dengan kondisi pra-proklamasi.

Corak ekonomi nasional saat ini berorientasi ekspor bahan mentah, impor bahan jadi dari negeri-negeri industri maju, dan fungsi Indonesia tak lain sebagai tempat sirkulasi kapital asing. Kasta sosial begitu terasa. Rakyat Indonesia masih jadi budak di negerinya sendiri karena akses ekonominya selalu terhadang oleh blokade casino capitalism (grup neoliberal) dan croni capitalism.

Penggusuran lahan rakyat bertabir sertifikasi tanah, biodisel-global warming, atau pembangunan jalur transportasi berlangsung di mana-mana. Daya jual buruh kian murah lantaran deregulasi massif yang dipersembahkan untuk perusahaan dan investor asing.

Demikian pula, demokrasi politik bagi rakyat Indonesia masih jauh panggang dari api. General election, yang didewakan oleh World Bank, IMF, dan Amerika justru memiskinkan dan mensemukan akses, hak, dan partisipasi politik rakyat. Partai politik dan anggota DPR bukan representasi rakyat. Tapi melalui mekanisme rekruitmen politik yang dimanipulir agar seolah-olah bernada suara rakyat, partai politik dan anggota DPR hanya berfungsi sebagai boneka kelompok-kelompok kepentingan. Kesimpulan dari semua kondisi nasional tersebut adalah Indonesia hingga detik ini masih terjajah, terkolonialisasi, dan belum merdeka.

Tepat pada kondisi seperti itulah, sistem ekonomi kerakyatan menjadi sangat urgen, relevan, dan wajib implementasi. Tapi,masih adakah harapan bagi ekonomi kerakyatan ketika neokolonilisme-neoliberali
sme begitu kokoh bercokol di Indonesia? Masih, jawab Revrisond Baswir. Mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni Amerika, polarisasi kekuatan geopolitik-geoekonomi global, krisisnya kapitalisme sebab kredit macet perumahan 2007-2008, dan menajamnya gap sosial-ekonomi rakyat Indonesia, adalah beberapa faktor potensial yang mendorong pemangku kebijakan agar mau menerapkan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.

Karena urgensi dan relevansi sistem ekonomi kerakyatan tersebut, maka buku “Manifesto Ekonomi Kerakyatan” ini pun bernilai amat penting. Apalagi bagi intelegensia, aktivis LSM, dan aktivis mahasiswa yang menerima mandat sejarah membumihanguskan mode kehidupan kolonialistik di Indonesia. Membaca seksama buku ini, pasti Anda akan berkesimpulan: iya, ya. Indonesia belum merdeka!

Selamat membaca dan bergerak merealisasikan isinya demi “Indonesia Merdeka”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam