30/09/10

Depolitisasi Mahasiswa: Wajah Otoriter Kampus

Oleh: MW

Nugroho Notosusasnto, setelah dilantik sebagai Rektor Universitas Indonesia (UI) pada 1982, tanpa panjang pikir, memanggil para aktivis mahasiswa UI dan sejumlah pengurus dewan eksekutif mahasiswa di tiap fakultas. Dalam pertemuan ‘darurat’ tersebut, Nugroho “memberi petuah”: mahasiswa mesti memikirkan niat awal ia kuliah.

Mahasiswa masuk UI buat belajar, bukan buat bermain-main di “arena” politik. Meniru gaya Soekarno kala “memberi petuah” pada tentara, mahasiswa tidak boleh ikut-ikut politik. Otak mahasiswa harus steril dari virus dan kuman politik.

Nugroho berargumen ihwal petuahnya itu: Dalam masyarakat perlu ada pemisahan tugas antara masyarakat ilmiah dan masyarakat politik. Sebab, masing-masing tipe masyarakat itu memiliki fungsi sendiri-sendiri. Bila keduanya saling sokong, saling intervensi, dan bercampur, bakal berekses tak karuan.

Nugroho ‘memberi petuah’ seperti itu, mungkin lantaran sudah mendem dengan polah mahasiswa UI sejak zaman Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI). Telah masyhur, pada era ’60-an grup itu didirikan dan dipionoiri oleh Soe Hok Gie. Dan lawan intelektual sekaligus politik grup diskusi itu adalah kelompoknya Nugorho-Harsya.

Grup diskusi yang berawal dari diskusi ‘pojok kampus’ ini menggoyang lalu menjungkir demokrasi terpimpin Soekarno. Tak berhenti di situ, GDUI memproduksi generasi-generasi ‘mahasiswa-politisi’ baru melalui tangan seorang Sjahrir yang ekonom itu paska wafatnya Gie. menurut beberapa referensi, di antara ‘mahasiswa-politisi’ produksi GDUI adalah Hariman Siregar.

Hariman Siregar salah seorang mahasiswa UI yang tak setuju dengan proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Keluhnya itu cuma memboroskan dan menguras ekspenditur negara. Sedang, mengutip sajak Rendra, ketika itu “Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang/tanpa pilihan/tanpa pepohonan/tanpa danau persinggahan/tanpa ada bayangan ujungnya”. Karenanya menjadi jelas: program ekonomi pertumbuhan-pembangunan yang digulirkan Soeharto tak menyentuh realitas kerakyatan.

Soeharto hanya membangun dan membangun. Akan tetapi, pemerataan kesejahteraan dalam pemenuhan kebutuhan dasar terlupakan, terkelambui gedung-gedung pencakar langit dan sehimpun mega proyek. Salah satu mega proyek itu adalah TMII.

Hariman, pada 1974, lantas mengorganisir mahasiswa turun jalan. Dalam kondisi terdesak demikian, mahasiswa dituntut berpolitik aktif-praktis.

Di saat itulah, ketika mahasiswa turun jalan mengutuk mega proyek TMII, tulisan rekan Muhammadun AS bertajuk “Cendikiawan dan Pribumisasi Ilmu Pengetahuan” dalam SLiLit edisi 16 Agustus 2009, menunjukkan wajah kongkritnya. Artinya, pribumisasi ilmu pengetahuan sungguh-sungguh termanifes dalam diri seorang mahasiswa yang aktif berpolitik mulai dari area ‘politik’-nya sendiri: kampus.

Jarak menganga antara keabstrakan pengetahuan langit mahasiswa dengan realitas distorsi hak ekonomi-politik rakyat terleburkan. Dalam hal ini, makna ideologis mahasiswa yang pemuda sebagai pemutar turbin sejarah terealisasikan.

Mahasiswa demikian, tak berasa puas menekuni endapan teori, tapi ia mampu melakukan fungsi praksis komunikatif-emansipatorisnya; tak berasa puas mendengar ceramah retoris pendidik, tapi ia mau melebur bersama derap derita anak jalanan atau pedagang kecil di sekitar kampusnya misalnya; tak berasa puas terpekur di ruang kelas, tapi ia mau mendidik iklim sosial-politik yang tak demokratis.

Rendra, dalam “Sajak Sebatang Lisongnya” merangkum makna ideologis mahasiswa ini dengan demikian atos-nya. "Kita", tutur Rendra "mesti ke luar ke jalan raya/ke luar ke desa-desa/menghayati sendiri semua gejala/dan menghayati persoalan yang nyata". Sebab, tutup Rendra di ujung sajak yang ia deklamasikan di ITB Agustus 39 tahun lalu itu: "Apalah artinya berpikir/bila terpisah dari masalah kehidupan/kepadamu aku bertanya".

Dengan turun jalan, Hariman hendak jadi mahasiswa begituan. Karena mencoba menggoyang politik Soeharto, kisah Hariman tak berakhir bahagia. Ia dikambinghitamkan, diadili, lalu dibui. Segala usaha politis mahasiswa ini kandas dan TMII tetap dibangun dengan mengorek anggaran negara triliyunan rupiah.

Namun, mahasiswa-politisi bak Hariman tak bisa disapu bersih. Mati satu tumbuh seribu.

Setelah hariman dibui, teriakan politik-ekonomi mahasiswa bereskalasi. Hampir seluruh kampus di Jawa terserang demam politik mahasiswa. Sampai-sampai pada 1978, mereka memaksa Soeharto turun tahta. Usaha politik mahasiswa lagi-lagi kandas.

Bukan soeharto tamat. Sebaliknya, gerakan politik mahasiswa coba dikhatamkan dengan mengalirnya regulasi kemahasiswaan. Isinya, singkat saja, mengerem, mengurung, atau meminjam Pram, merumahkacakan gerakan politik mahasiswa. Ungkap seorang kawan saya, mahasiswa saat itu didepolitisasi.

Libido politik mahasiswa dikanalkan dalam bentuk kegiatan minat dan bakat mahasiswa. Dalam poltik depolitisasi mahasiswa itu, sumbu-sumbu pemisahan antara intelektual dengan politik mulai dinyalakan. Pribumisasi ilmu pengetahuan mulai dihapus, bahkan dianggap abnormal.

Sebab sejarah politik mahasiswa itu, tak nggumun jika Nugroho setelah terpilih sebagai Rector UI "memberi petuah" agar mahasiswa belajar dengan manut saja; agar mahasiswa kembali ke kampus. Belum lagi kalau kita menghitung sentimen kelompok Nugroho terhadap GDUI.

***

Entah lantaran angin apa, saat saya membaca berita saudara Widodo “Rektorat Intervensi OPAk 2009” juga di SLiLit edisi yang sama, saya jadi berpikir: kok "seperti" ada kesamaan antara yang terjadi di UI pada 1982 itu dengan yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga saat ini.

Dalam berita itu disebutkan, sewaktu UIN masih IAIN, para petingginya resah terhadap aktivitas politik mahasiswa IAIN yang "terlalu". Mahasiswa IAIN cenderung politis timbang akademis; masyarakat kampus IAIN lebih sejalan dengan konsep civitas politica timbang civitas academica.

Barangkali, kala itu mahasiswa IAIN serusuh dan sememusingkan Sjahrir atau Hariman. Mengutip bahasa staf Building Management UIN, mahasiswa cuma bisa jadi trouble maker, tapi tak pernah bisa jadi problem solver--sampai-sampai kampus pun tak friendly jadinya.

Bukannya amat aneh, mahasiswa berperangai seperti Hariman atau Sjahrir disetereotip troble maker. Padahal, mahasiswa seperti itu justru jadi problem solver buat pelik kompleks problem ekonomi-politik negaranya.

Aksi politik mahasiswa IAIN yang "terlalu" itu, saat ini, ketika IAIN telah berubah jadi UIN, juga didepolitisasi dengan cara yang lain. Jika dulu depolitisasi terhadap mahasiswa ’80-an dengan mengkanalkan libido politik mereka, di UIN depolitisasi itu dieksekusi dengan cara yang sedikit lunak melalui event-event seperti OPAk, SOSPEM, dan seterusnya, dan seterurnya.

Di dalam event-event ideologis tersebut, libido politik mahasiswa baru coba diantisipasi dengan menceramahkan mitos assertivitas. Mitos assertivitas ini diadopsi dari teori psikologi positif.

Dalam aplikasinya, psikologi positif jelas mematikan naluri politis. Sebab, analisa politik jarang, bahkan tak pernah menggunakan psikologi positif.

Analisa politik demokratik manjur dan akan lebih manjur jika berdasar perspektif psikologi sosial protes. Maka, dengan mitos assertivitas tersebut mampus sudah libido politik mahasiswa UIN. Dan depolitisasi mahasiswa pun sukses.

***

Perkaranya bukan kesuksesan atau kegagalan depolitisasi mahasiswa UIN. Tetapi perkaranya, benarkah depolitisasi mahasiswa tersebut telah menyelesaikan masalah? Hemat saya, di tengah sakitnya kondisi sosial-politik dan ekonomi-politik Indonesia sekarang ini, depolitisasi itu tak tepat sasaran.

Pemisahan ruang politis dan ruang akademis justru menumpuk-numpuk persoalan, demikian Gramsci dalam Prison Notebooks juga Habermas dalam The Scientization of Politic and Public Opinion. Menurut Habermas, terpisahnya dua ruang itu meng-involusikan kekuasaan sampai pada taraf irrasionalnya. Agar rasionalisasi kekuasaan terbentuk, dituntut pengilmiahan politik.

Pengilmiahan politik dimaksud Habermas bukan dominasi akademisi (expert) atas politisi dalam mengambil kebijakan publik (public policy); bukan pula pen-teorian politik atau politik yang sok ilmiah—yang disimbolkan dengan slogan-slogan saintifik. Yang pertama malah akan memperkuat kontrol rasio atas alam. Dan yang kedua selain mempertebal selubung ideologis, juga mengabsurdkan perilaku sosial-politik, baik masyarakat politik maupun masyarkat sipil.

Pengilmiahan politik adalah institusionalisasi suara politik model pragmatis. Prinsip politik model pragmatis adalah komunikasi intersubjektif yang argumentatif antara akademisi dan politisi dalam merumuskan kebijakan publik.

Rasionalisasi kekuasaan dengan model politik pragmatis ini sendiri tak memuaskan Habermas. Komunikasi intersubjektif yang berlangsung di dalamnya bersifat elitis.

Rakyat tak bisa berbicara langsung dalam model politik itu. Ia diwakili oleh para akademisi dan politisi. Sederhanya, aspirasi rakyat tersekat kaidah demokrasi representatif.

Uraian njlimet Habermas itu menegaskan ruang akademik dan ruang politik mesti dikomunikasikan dan tak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, depolitisasi mahasiswa, sekali lagi bukan solusi.

Bila mahasiswa sebagai intelektual (expert) dipisahkan dari "arena" politis, tak akan pernah terjadi rasionalisasi kekuasaan. Yang terbentuk justru model politik desisionis yang begitu irrasional.

Demokrasi merupakan musuh model politik desisionis. Model politik desisionis teraktualisikan dalam otoritarianisme-otoritarianisme tradisional.

Lalu, bila kekuasaan Indonesia akan datang menjadi irrasional karena pemisahan antara intelektual dan politisi, bagaimana nasib berjuta kanak-kanak Indonesia yang disajakkan Rendra di atas? Yang kedua, di mana sesungguhnya fungsi universitas yang, di Indonesia, seharusnya menjadi mata air rasionalisasi kekuasaan? Kepadamu aku bertanya.

***

Keputusan mendepolitasi mahasiswa, dengan argumen apa pun, tak dapat diterima nalar dan "aneh". Eksklusi kultur politik mahasiswa, malah kontradiktif dengan demokratisasi yang coba dirintis di Indonesia.

Demokratisasi, dalam makna pembukaan ruang-ruang aspirasi dan penyerapan aspirasi itu, akan tergusur bila mahasiswa didepolitisir; di suruh meneng dan ayem dalam ruang kelas. Bukan depolitisasi mahasiswa yang tepat, melainkan meruangkan politik mahasiswa dalam format yang berbeda. Gagasan Habermas tentang ruang publik dan opini publik bisa dijadikan sebagai landasan idiil-teoritik dalam peruangan ini.

Sampai sekarang setelah 5 tahun konversi UIN, ruang publik semacam itu belum pernah terinstitusionalisasikan. Bahkan, barangkali belum atau emoh atau jangan sampai dipikirkan. Padahal semua juga tahu, paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan UIN beralas, di antaranya teori kritis Habermas.

Tapi, mengapa gagasan ruang publik dan atau demokrasi deliberatif sebagai kulminasi pemkiran Habermas justru tak pernah terinstitusionalisasikan di UIN? Saya tak menuduh terjadi inkonsistensi gagasan atau pembusukan paradigma. Namun, realitaslah yang menuduh.

Tak usah ruang publik, salah satu syarat yang sangat menentukan dalam demokrasi kampus: transparansi tata kelola operasional UIN masih sangat tabu dan tak bisa disentuh.

Di Lebak, sebuah kabupaten yang baru dimekarkan jadi kabupaten setahun lalu, Rencana Anggaran Pengeluaran Anggaran Daerah (RAPBD) ditempel di warung kopi-warung kopi. Tujuannya, biar ada kritik dan masukan dari masyarakat warga. Lha, di UIN berapa jumlah hutang UIN saja, siapa mahasiswa yang tahu?

Tentang ruang publik yang tak berwujud di UIN itu, sederhana saja faktanya. Kita tak pernah menyaksikan, dengan inisiatif otonomnya Rektor UIN dan segenap jajarannya lesehan bareng mahasiswa berdialog intersubjektif—tanpa distorsi representasi DEMA/SEMA—merumuskan bagaimana UIN seharusnya dijalankan.

Jika depolitsasi mahasiswa dan tiadanya ruang publik dihubungkan ke paham demokrasi, sah bagi kita mengutuk otoritarianisme “pihak sebelah atas sana”. Sebab, hak politik mahasiswa UIN ditebas. Demikian pula, sah bagi kita menyatakan tata kelola UIN telah sangat irrasional, entah karena apa.

Mungkin karena tekanan ideologis, tekanan ekonomik, atau mungkin karena keegoisan politis. Tapi, kemungkinan-kemungkinan itu sepatutnya tak memisahkan ruang politis dan ruang akademis mahasiswa, tak mendepolitisir mahasiswa, tak menjinakkan mahasiswa.

Dan sebagai mahasiswa, kita tak bisa pasif dan naif berdo’a: “semoga ada perubahan!”. Tak bisa pula diam menunggu kepastian sejarah seperti Marxian Ortodoks

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam