30/09/10

Pekik Negeri Megalitik


“Mereka sempat tertinggal,
tetapi punya cita-cita untuk berkembang maju”

Agustus 2007, 13 jurnalis dan seorang fotografer terbang ke Papua. Seperti gawaian jurnalis lazimnya, misi mereka tak lain daripada memburu berita. Tak seperti gawaian jurnalis lazimnya, tugas mereka kali ini lumayan berat.

Mereka harus menyingkap realitas pulau tertimur Indonesia itu cuma dalam tempo tiga pekan. Waktu yang sibuk, sesak, dan terbatas untuk mengosek-osek Pulau Cendrawasih.

Hutan sabana yang meranggas di sana sini, jalan pegunungan mendaki-menurun terjal yang berliuk-berkelok, sarana transportasi yang payah dan mahal menjadikan tugas itu bertambah berat saja. Untunglah, dengan segala kekurangannya perburan berita yang dilabeli “Ekspedisi Tanah Papua” itu kelar juga.

Ekspedisi tersebut kemudian ditulis sebagai laporan jurnalistik SKH Kompas. Laporan itu terbit dari 18 agustus 2007 sampai 24 september 2007 di Harian itu.

Sebelumnya, SKH Kompas telah melakukan dua kali ekspedisi serupa. Ekspedisi Bengawan Solo pada juni 2007 selama dua pekan adalah yang pertama. Sedang yang kedua: ekspedisi 200 tahun Anjer-Panaroekan. Ekspedisi tanah Papua sendiri terhitung yang ketiga. Belakangan, giliran Kali Ciliwung yang diekspedisi.

Dari berbagai ekspedisi jurnalistik tersebut, “sejumlah temuan persoalan tersingkap,” tulis Bambang Sukartino, Pemimpin Redaksi SKH Kompas. Karena itu, hasilnya “teramat sayang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan”. Dengan alasan ini SKH Kompas-pun menerbitkan tetralogi ekspedisi itu dalam bentuk buku.

Memang ekspedisi-ekspedisi itu teramat sayang untuk tidak dibukukan, mengingat temuan-temuan baru yang ada. Tapi, temuan itu tak kan bisa jadi opini public bila tetralogi itu dibandrol dengan nominal yang ampun deh.

Ketika opini publik tak terbentuk secara legitimate, demokrasi hanya sebatas wayang bagi kelompok politik-ekonomi dominan tertentu. Padahal, sekian di antara temuan yang tersaji dalam tetralogi ekspedisi itu menyuarakan kebutuhan akan demokrasi; kebutuhan tersampaikannya aspirasi pinggiran masyarakat warga yang bermukim di daerah-daerah ekspedisi tersebut. Jadi, perubahan yang diidam, belaka teraktualisasikan sejauh ia dilamunkan.

Otonomi Khusus Cidera

“Jika kita melihat orang Papua memang mengenaskan kecuali para elite yang menikmati permainan antara “M” (merdeka) dan “O” (otonomi), atau elite dan pejabat lokal yang pro dan kontra pemekaran. Di situ bercampur baur antara pertarungan etnis, kekuasaan jabatan, dan uang; bukan bagaimana memperbaiki layanan umum,” tulis Ikrar Nusa Bakti mengomentari real politic Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Maksud Otsus, seperti pengembangan ekonomi rakyat, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastrukturr tak pernah tertunaikan. Bahkan, maksud terselubungnya guna mengerem separatisme, hingga kini pun tak sampai-sampai. Otsus di lapangan justru jadi komoditas politik kleptokrat lokal dan nasional.

Petinggi lokal, seperti kelakuan kebanyakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, mengiklankan separatisme, kemiskinan, kehancuran lingkungan, kelaparan, kebodohan, dan kesakitan penduduk asli Papua sebagai sumber pemasukan pribadi. Pasalnya, anggaran Otsus dari pusat— yang tak mungkin dibilang sedikit—membikin liur tertetes.

Borok lapangan Otsus ini diperbusuk dengan simtom pemekaran wilayah. Imbasnya, anggaran Otsus bukan untuk menyejahterakan penduduk asli Papua. Anggaran itu dialokasikan untuk membangun pusat kota dan pemerintahan baru, menggaji pegawai-pegawai tinggi baru.

Sementara, sumber daya manusia yang bakal menjalankan roda pemerintahan belum siap. Pembangunan, pemekaran wilayah tak efektif dan terlalu boros, demikian kritik banyak kalangan. Menurut mereka, lebih baik tak ada pemekaran wilayah.

Anggaran Otsus, usul mereka, secara total harus diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan dasar semacam kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Standar kebutuhan dasar tersebut hingga kini belum dinikmati penduduk asli Papua.

Kesehatan Sakit

Mengintip sektor kesehatan di Papua: rupanya tenaga kesehatan di sana sukar ditemui. Sarana-prasarananya a la kadarnya, bahkan terbilang kurang. Di salah satu puskesmas distrik, alat pengukur tekanan darah tak ada. Kerap kali rumah sakit atau puskesmas kehabisan stok obat ringan dan vaksin.

Puskesmas dan rumah sakit yang sarwa minus itu pun jauh sangat dari tempat tinggal warga. Untuk ke puskesmas distrik saja mereka harus menempuh perjalanan hingga lima sampai delapan jam.

Tak heran jika seorang Mama—sebutan ibu-ibu Papua penjual hasil bumi—yang tengah hamil tua memutuskan bersalin di tengah hutan pada dukun beranak. Dan tak heran bila penyakit endemik langka Dunia Ketiga semisal frambusia, busung lapar, kaki gajah, dan malaria masih mewabah di tanah emas dan koteka itu.

Maka, lumrah kalau Papua jadi daerah rangking kedua di Indonesia yang penduduknya positif terinfeksi HIV/AIDS. Ranking pertama ditempati Jakarta.


Pendidikan Bangkrut

Tingkat pendidikan di Papua tak kalah bangkrut timbang kesehatannya. Seorang guru perempuan di Papua yang telah mendidik sejak zaman Belanda berkomentar tukas: baginya lebih maju pendidikan di zaman Belanda daripada sekarang.

Di zaman Belanda dulu, kisahnya, guru profesional benar dan punya jiwa pengabdian tinggi. Mereka selalu diawasi pemerintah. Guru yang tak becus mengajar atau berleha-leha saat mengajar, seketika dipecat pemerintah Hindia Belanda.

Selain itu, dulu kesejahteraan guru terjamin. Gaji dan tunjangan hidup berlibeih-lebih. Karenanya mereka betah dan menikmati profesi mendidik.

Kini di Papua, dengan gaji ngepres banyak guru tak kerasan mengajar. Guru desa lari ke kota, menjauhi profesi yang mereka anggap kutukan: guru. “Guru terbang”, itulah gelar yang mereka peroleh dari penduduk asli Papua.

Di kota mereka cari proyek yang lebih basah. Sementara guru-guru tersebut sibuk dengan proyeknya sendiri, selama berbulan-bulan sekolah kosong guru; para siswa pun kembali merengkuhi pendidikan rimba.

Jelas saja guru-guru itu berlari ke kota. Gaji mereka kecil dan tunjangan tak cukup buat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kadang beras saja tak terbeli bila mengandalkan gaji dan tunjangan sebagai guru. Belum lagi murid rimba mereka sukar diatur.

Agar proses belajar mengajar di semester awal bisa dimulai, para guru di Papua mesti menjemput puluhan murid-muridnya ke pedalaman rimba. Rimba di sana terkenal buas. Banyak Buaya dan ular besar berbisa yang selalu mengintai.

Setelah sampai di tempat tinggal para murid, sering di antara murid itu enggan diajak kembali bersekolah. Tiap semester dan tiap tahun ajaran baru, para guru terpaksa melakoni ritual itu.

Di Papua, sebagian guru juga dihantui maut. Pernah ada guru yang diancam dipanah oleh seorang wali murid.

Soalnya, menurut si wali murid: guru itu payah. Anaknya tak diluluskan di Ujian Nasional (UN). Hampir panah itu menusuk tubuh sang guru. Untunglah si wali murid bisa diajak berdamai.

Dengan segala resiko dan konsekuensi profesi guru di papua, tak salah bila mayoritas dari mereka terbang ke kota. Karena tingkah para guru terbang itu, di banyak sekolah, paling mujur tinggal seorang dua guru yang masih setia “meng-abdi”.

Guru yang setia, karenanya mau tidak mau mengajar enam kelas sekaligus di Sekolah Dasar (SD) atau tiga kelas sekaligus di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bahkan, sebagian guru harus mengajar sekaligus jadi kepala sekolah. Mati sudah: profesi yang berpeluh setelaga.

Praktik pendidikan demikian tentu berefek pada rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Di Papua, problem ini jadi titik api pemicu stagnasi pembangunan dan penyejahteraan penduduk asli.

 Etika Megalitik Terpinggir

Setumpuk problem Papua, dari pendidikan hingga kesehatan, tambah disesaki oleh polah dan pongah P.T. Freeport Indonesia (PTFI). Masuknya PTFI dengan restu dari Soeharto pada 1960-an tak semata merusak ekosistem dan adat di sana.

Lebih dari itu, mode produksi sampai mode komunikasi berubah drastis. Budaya penduduk asli Papua tak urung terseret arus perubahan.

Sebelum PTFI mengeksplorasi mineral Papua pertama kali, corak kehidupan masyarakat di sana tak ubahnya bak di zaman megalitikum. Perilaku tersebut konon bersumber pada peradaban Dongsong di Filipina.

Kala itu mereka menggantungkan hidup pada alam secara subsisten. Bila lapar, mereka berburu, meramu, atau menangkap ikan.

Mereka hidup nomaden mengandalkan sistem bercocok tanam yang sangat sederhana. Boro-boro perdagangan, sistem ekonomi uang, bahkan cara bercocok tanam yang agak modern sedikit saja mereka tak mengerti.

Masuknya PTFI menggusur semua tatanan itu. Hutan dibabat. Tanah dijarah.
Padahal hutan itu merupakan tempat mereka bermukim dan mencari makan. Di hutan itu juga roh leluhur mereka beresemayam. Hutan yang ugahari nan teratur dan tenang adalah rujukan nilai penduduk asli Papua secara simbolik.

Dampak negatif ulah PTFI pun, bak bola salju terus menggelinding kencang. Sungai-sungai sumber air bersih tercemari tailing. Tailing adalah limbah kimia penambangan emas yang dialirkan dari pabrik.

Dan Binatang-binatang buruan di hutan kehilangan habitatnya. Ikan-ikan mati keracunan. Sedangkan tanah sudah tak lagi bisa ditanami sagu lantaran terembesi tailing.

Lalu, ke mana lagi mereka menghilangkan rasa lapar? Kondisi tersebut membuat mereka resisten pada PTFI. Karena tekanan warga akar rumput dari bawah dan tekanan masyarakat global dari atas, PTFI pun sedia menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan berbagai variannya.

Penghibahan dana merupakan salah satu di antara mekanisme penyaluran CSR. Orang asli papua, Orang Komin, menyebut dana CSR itu dengan “Dana Satu Persen”. Sebab, besarnya dana hibah itu sepersennya keuntungan PTFI tiap tahunnya.

Sayang, mekanisme dan tata kelola dana tersebut buruk. Dana langsung dibagi pada penduduk. PTFI memberi ikan, tidak memberi kail dan tidak pula mengajari penduduk bagaimana menggunakan pancing.

Inilah awal malapetaka itu. Masyarakat asli Papua yang hidup subsisten tak pernah berlimpah uang, tak pernah diberi jutaan rupiah per kepala. Kepanikan psikologis pun niscaya. Mereka kaget: uang sebanyak itu bakal buat apa?

Di lain sisi, masyarakat asli Papua memiliki tradisi seks bebas. Justru di waktu, tempat, dan kelompok umur tertentu tradisi itu diposisikan sebagai kewajiban. Artinya, bagi mereka seks bebas bukan barang antik yang ditabukan. Sebaliknya, ia telah sedemikian mengakar dalam rutin harian mereka.

Nah, pada dekade 1990-an gelombang imigran dari Thailand berduyun-duyun mendatangi Papua. Kebanyakan dari mereka adalah wanita penjaja seks komersial. Berbaur dengan tradisi seks bebas Orang Komin, sejak itu seks bebas di Papua kian cepat berkembang.

Pada tradisi seks bebas tersebut, uang hibah dana satu persen tercurahkan, dan kadang tanpa sisa. Selain itu, hibah tersebut mereka belanjakan untuk membeli napza atau miras.

Bukan buat usaha produktif dan padat karya, sebab rendahnya kualitas system pendidikan, uang hibah tersebut disalurkan secara murni pada usaha konsumtif atau dalam istilah yang popular belakangan ini untuk “meningkatkan permintaan”.

Lama-kelamaan tradisi itu atau tepatnya ritual kekagetan itu menjadi habituasi yang mencandu. Orang Komin sukar sekali lepas dari: atau seks bebas, atyau miras-napza.

Seperti implikasi wajarnya, melalui seks bebas HIV-AIDS dan penyakit kelamin lainnya menular tanpa kontrol; mewabah dengan cepat. Orang Komin sendiri, naasnya, masih enggan berobat ke dokter, puskesmas, atau rumah sekit.

Kepercayaan adat yang kukuh, rendahnya mutu out-put sistem pendidikan, termasuk institusi pendidikan yang hanya mereproduksi inferioritas sosio-kultural adalah sedikit dari penyebab keengganan tersebut. Belum lagi sangat terbatasnya jumlah tenaga medis dan jauhnya jarak puskesmas atau rumah sakit dari pemukiman mereka, tambah mempertebal keengganan itu.

Wabah HIV-AIDS di papua tak sesimpel yang dibayangkan. Pada akhir Juli 2007. sekitar 3.377 penduduk Papua mengidap HIV-AIDS. Jumlah ini versi pemerintah. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Papua mencatat 24.300 jiwa penduduk papua terinfeksi HIV-AIDS.

Anak muda, menurut mereka, yang paling rentan menderita penyakit itu. Pendapat mereka beralasan. Sebab di papua banyak bocah berumur sepuluhan tahun mengaku telah mencicipi seks bebas (wah, saya saja yang sudah bongkok seperti ini belum pernah. Bagaimana dengan anda? Mau?).

Buncah Separatisme

Bertujuan meredam separatisme dan membangun ekonomi, pelaksanaan Otsus di Papua justru mengomplekskan problem laten yang tak pernah tuntas. Kini, potensi separatisme Papua, menurut sebagian analis, kian besar.

Ketakpuasan dan barangkali kemarahan terhadap Jakarta, pengasingan orang asli Papua secara ekonomi-politik di tanahnya sendiri, anggaran Otsus yang nyangkut di tangah kleptokrat lokal, termasuk penyulut amplifikasi separatisme.

Belakangan bendera Bintang Kejora berkibar dan teriak kemerdakaan terdengar: “Merdeka atau sudahi derita kami!”

***
Demikianlah, lembar demi lembar, melalui buku ini pembacanya diajak mendengar pekik Papua, negeri megalitik yang lagi sakit kronis, sebuah pulau negara elit G-20. Pembaca dibawa melintasi tema demi tema yang pahit, getir, njengkelin, dan meninggikan darah.

Dengan corak tuturan sastrawi, tiap laporan jurnalistik yang terhidang terasa begitu ringan tanpa mengurangi detail dan keketatan perspektif.

Namun, subjektivitas Kompas tetap ada. Di beberapa laporan, tendensi Katholik-nya sungguh eksplisit. Bukan tak berimbang, tapi mbok ya agama lain diberi ruang dalam penulisan berita.

Atau sekalian saja membidik realitas dari sudut pandang kemanusiaan universal. Toh, kita tak mau melihat Papua yang sakit itu tambah parah sakitnya gara-gara hal yang njelehi tenan: sentimen agama.

Terlepas dari tendensinya, buku ini patut dilahap dan dicerna oleh mereka yang mengaku berkesadaran sosial. Kita orang Indonesia, dan Papua masih menaruh hati pada kata sakral “Indonesia”. Tapi benarkah? Ndak tahulah, saya juga belum pernah ke sana. Tabea!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam