30/09/10

Lenin, Padamu Cinta dan Benciku

KEMANUSIAAN, kemanusiaan, dan kemanusiaan adalah pengandaian paling dasar dalam pemikiran Marxisme yang pada awal abad ke-20 berkembang menjadi gerakan komunisme internasional melalui tangan Lenin dan Tortsky. Kebahagiaan bagi seluruh umat manusia, kerajaan kebebasan Engelsian, penghapusan penghisapan manusia atas manusia lainnya, dan egaliterianisme merupakan tujuan puncak kontemplasi dan abstraksi Karl Marx.

Tetapi barangkali Marx sendiri tak pernah menyangka kalau buah pikirnya justru menciptakan sistem politik yang paling otoriter sepanjang sejarah umat manusia: Uni Soviet. Bukan emansipasi proletariat, bukan pembebasan manusia, yang terjadi malah pembelengguan kebebasan bertindak, berpendapat, dan berpikir. Sejak Revolusi Oktober (1917) hingga jatuhnya Khmer Merah (!979) lebih dari seratus juta nyawa manusia dikorbankan atas nama komunisme atau sosialisme. Di masa kepemimpinan Lenin saja sekitar 20 juta nyawa manusia melayang sia-sia.

Setahun paska Revolusi Oktober, 1918, Lenin membubarkan Konstituante hasil pemilihan umum Rusia sebelumnya. Selanjutnya ia juga melarang eksisnya partai komunis lain di Rusia seperti Mansheviki dan Partai Sosial Revolusioner, menyangkal kebebasan pers, melarang pembentukan fraksi di internal partai komunis Bolshevian, melarang diskusi bebas di dalam partai, membubarkan dewan-dewan buruh independen, penindasan terhadap agama-agama, pengawasan masyarakat oleh polisi rahasia, serta mendirikan berbagai kemp konsentrasi a la Gulag.

Pertanyaan besarnya, sebagaimana menjadi tesis sentral dalam buku ini yang sekaligus dijadikan tajuk bab penutupnya yakni “Mengapa hal itu bisa terjadi?” Apakah semata-mata hanya karena faktor psikologi pribadi pemimpinnya—misalnya demoralitas Stalin—atau sejak awal telah bersemayam biji-biji otoriterianisme di dalam sistem politik Uni Soviet yang dikembangkan Lenin? Siapa yang salah atau siapa yang paling bersalah: Lenin atau Stalin? Tak ada jawaban pasti. Di tubuh kelompok Marxis pun berlangsung berdebatan tentang hal ini.

Satu kelompok menyimpulkan yang bersalah adalah Stalin, Lenin tidak. Karena “perilaku menyeleweng” Stalin, Komunisme berubah menjadi sistem politik otoriter. Oleh kelompok ini Stalin dianggap sebagai seorang diktator perumus ideologi Marxisme-Leninisme yang “sakit jiwa”, “gila kekuasaan”, dan “akan memanfaatkan segala kesempatan untuk menjadikan diri seorang Tsar Merah, yang mirip dengan Ivan the Terrible”. “Leninisme adalah baik” dan “Stalinisme bukan merupakan perkembangan sah dan “logis” dari Marxisme”. Stalinisme menyalahi pokok-pokok pemikiran Lenin. Mereka yang tergabung dalam kelompok pembela Lenin ini antara lain Leon Tortsky, Roy Medvedev, dan pemikir grup Praxis Yugoslavia seperti G. Petrovic, M. Markovic, S. Srojanovic, serta Pedrag Vranicki.

Jika Lenin tak memberi andil dalam otoriterianisme Uni Soviet, kenapa kebijakan-kebijakan Lenin sesudah Revolusi Oktober cenderung merampas hak politik bahkan hak hidup rakyat? Mereka menjawab: kebijakan tersebut hanya ekses komunisme perang belaka. Sebab, kemenangan gerakan komunisme pada Revolusi Oktober masih terancam oleh gempuran kapitalisme dari dalam dan luar negeri.

Kelompok kedua yang diwakili Karl Korsch berpendirian lain. Tak hanya Stalin, Lenin juga tidak luput dari kesalahan. Sitem politik Uni Soviet yang dirumuskembangkan Lenin merupakan akar sejarah otoriterianisme komunisme abad ke-20. Stalin pada dasarnya memang otoriter dan rakus kekuasaan. Namun tanpa infrastruktur politik Uni Soviet yang sebelumnya telah dirancang Lenin, Stalin tetap tak akan mampu berbuat seotoriter itu.

Diktator proletariat, partai revolusioner, sentralisme demokratik, dan politbiro komite sentral partai yang diformulasi Lenin menyediakan peluang bagi Stalin bertindak otoriter. Ini juga menjelaskan mengapa di era kepemimpinan Lenin situasi politik Rusia sangat tidak demokratis.

Frans Magnis Suseno, dalam buku ini menginferensikan: sistem politik Uni Soviet mengarahkan pemimpinnya agar mengutamakan pragmatisme kekuasaan dalam gerakan politik proletariat. Pragmatisme kekuasaan lahir dari pandangan Lenin tentang ketidakniscayaan sosialisme dan penentangannya terhadap determinisme ekonomi.

Karena sosialisme tak akan datang tanpa ada gerakan aktif dari proletariat, maka sudah seharusnya kaum proletariat “merebut kekuasaan” dari tangan borjuasi dengan jalan revolusi. Untuk mempertahankan dan menuntaskan revolusi sosialis, prolatar tidak bisa tidak mesti mempertahankan kekusaannya dengan mendirikan diktator proletariat.

Dalam proses merebut dan mempertahankan kekuasaan ini, pragmatisme kekusaan berkelindan. Orang semisal Stalin tentu tidak membuang celah ini. Ia memanfaatkan kerenggangan demokrasi tersebut demi memuaskan ambisi politik pribadinya.

Pragmatisme kekuasaan itu kian diperkental dengan karakter saintifik, ilmiah, dan objektif Marxisme. Marx sendiri menegaskan: materialisme historis tak ternodai oleh subjektivitas dan moralitas. Setia terhadap Marx, Lenin menolak sosialisme etis. Jadi apapun yang dilakukan oleh Lenin dan Stalin sebagai pemimpin gerakan komunisme, apapun titah partai komunis, apapun keputusan politbiro komite sentral partai, sepenuhnya semata objektivitas sejarah. Tak ada ambisi politik dan pretensi pribadi-golongan dalam kebijakan-kebijakan tersebut.

Bahwa Lenin membunuh 20 juta manusia dan Stalin mencabut nyawa 15 juta manusia tidak lain kecuali kehendak objektif sejarah. Maka menghapus kebebasan pers, mendirikan kemp konsentrasi a la Gulag, dan melarang Islam dan Buddha adalah rasional belaka—sejalan dengan harapan kemanusiaan. Dan baik Lenin maupun Stalin samasekali tak memiliki kepentingan politik pribadi dengan semua itu.

Di Liga Pemuda Komunis pada 2 Oktober 1920 Lenin pernah berpidato: “Kami tidak percaya akan adanya moralitas abadi, dan kami menelanjangi penipuan yang disebarkan tentang moralitas melalui segala macam dongeng... kami mengatakan bahwa moralitas kami sama sekali diabdikan pada perjuangan kelas proletariat... bermoral itu berarti: segala apa yang mendukung penghancuran masyarakat lama para penghisap dan (memajukan) persatuan kaum buruh”. Dengan demikian, secara tak langsung Lenin mau mencuci tangan atas segala kebijakan Uni Soviet yang menyimpang dari kemanusiaan; berkedok objektivitas sejarah, Lenin menutup mata sekaligus melepas tanggung jawab atas seratus juta nyawa yang dikorbankan demi mewujudkan sosialisme.

Determinisme ekonomi, objektivisme materialisme historis, penolakan terhadap sosialisme etis, perampasan kebebasan berpikir-bertindak, kevandalan diktator proleteriat ialah tema-tema umum yang dikecam oleh Tortsky, Lukacs, Korsch, Gramsci, dan Tan Malaka—lima pemikir Marxis paska Lenin yang dipaparkan dalam buku ini. Kelimanya, meskipun diketahui umum sebagai pembantah-pembatah bahkan musuh-musuh politik Lenin dan partai komunis, namun sebetulnya mereka menyimpan butir-butir kekaguman terhadap pemikiran dan gerakan politik Lenin. Dan inilah benang merah yang menyatukan mereka: belum kuasa melepaskan diri dari “bayang-bayang Lenin” secara filosofis.

Tortsky misalnya. Kendati ia terang-terangan keluar dari Internasionale III dan mendirikan Internasionale IV, mengkritik kediktatoran proletariat, dan mencanangkan apa yang disebutnya sebagai revolusi permanen, tetapi Tortsky sungguh belum mampu keluar dari mainstream Leninian. Gagasan revolusi permanennya menunjukkan kesepakatannya dengan teori imperialisme Lenin.

Lebih-lebih Tan Malaka. Pejuang pergerakan nasional berdarah Minangkabau ini, setelah konfrontasinya dengan Lenin soal Pan-Islamisme dan setelah kegagalan pemberontakan PKI 1926 memang lantas keluar dari keanggotaan PKI. Ia pun mendirikan dua partai baru—PARI dan MURBA—yang hampir seluruh sendi-sendinya bertolak belakang dengan andaian-andaian revolusioner Lenin. Tapi Madilog—novum organum Tan Malaka—berisi elaborasi epistemologi Leninian yang dikondisikan dengan objektivitas mode produksi Indonesia. Di dalamnya Tan Malaka menyanjung pointer-pointer materialisme dialektik. Teori imperialisme Lenin dijadikannya sandaran bagi analisis kolonialisasi Indonesia oleh negara-negara utara.

Bagi yang keranjingan dengan semua hal tentang Marxisme, buku ini tentu tak mampu memuaskan dahaga intelektual mereka. Banyak pemikir-pemikir Marxian lainnya yang mengagumi Lenin namun juga menolak praktek-prakter kediktotarannya tidak dibahas dalam buku ini. Dan kekurangan ini diakui oleh Frans Magnis Suseno.

Tetapi, setidak-tidaknya buku ini dapat memupuskan ketaklidbutaan mereka terhadap Marxisme, Marxisme-Leninisme, Komunisme, dan Sosialisme dan segala sesuatu berbau kiri. Sebagai idealisme huministik, Marxisme memang mampu memberi pengharapan surga dunia bagi kelompok subordinat. Namun sebagai praktek politik, Marxisme dan terutama Marxisme-Leninisme Internasionale III meupakan biang keladi bagi permunculan neraka dunia yang merenggut ratusan juta nyawa manusia tak berdosa.

Demikianlah, buku ini menyisakan uneg-uneg bagi kita: tepatkah keputusan etis kita menganut Marxisme tanpa pertimbangan rasionalitas kemanusiaan sebelumnya? Dan mungkinkah Marxisme berwajah manusiawi terwujud? Untuk tidak mengulangi kesalah demokratik fatal Marxisme-Leninisme, maka Anda bebas menjawab pertanyaannya ini sebebas-bebasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam