30/09/10

Kala Engineer Berteologi


:: Kelana Teologi Asghar Ali Engineer

Industrialisasi mengakibatkan perubahan peradaban maha dahsyat baik di Timur lebih-lebih di Barat. India, yang saat itu lagi merajut kesejahteraan juga terlanda perubahan-perubahan akibat industrialisasi. Maka riuhlah di India ide-ide pencerahan khas industrialisme: liberalisme, sosialisme, feminisme, dan sebagainya sebagai jalan keluar dari penindasan struktur masyarakat kapitalisme yang bercumbu dengan feodalisme.

Infrastruktur ekonomi kapitalisme yang merupakan saudara kandung industrialisasi juga tak luput meriuhkan sosialitas India, dari teknologi serta rasionalitas sasarannya, media dan kepiawaiannya mengarahkan arus massanya, hingga kesadaran uang sebagai orientasi hidup yang begitu mencolok.

Sementara, agama dan politik justru melegitimasi keadaan kapitalistik itu. Situasi kian tak karuan, ketika feodalisme juga turut melegitimasikan dan memperparah bangunan masyarakat kapitalistik.

Seharusnya, menurut Asghar Ali Engineer, agama Islam mampu menggemakan kekuatan spiritualistiknya untuk mengemansipasikan masyarakat miskin dan subordinat India ketika itu. Karana itulah fitrah agama: sebagai praksis liberatif.

Namun agama Islam saat itu bukan membebaskan. Agama Islam malah menghanyutkan dan melanggengkan situasi ketertindasan, kemiskinan, ketakadilan distributif, dan kesenjangan gender. Menyitir ungkapan Marxian, agama Islam menurutnya menjadi candu; opium sebagai pelipur lara kaum miskin dan tertindas, serta pelayan aliansi elite kapitalis-feodalis.

Agama Islam telah ingkar dari misi sucinya sendiri sebagai ideologi pembebasan. Dalam rangka mengembalikan kesadaran agama Islam akan misi sucinya tersebut, Asghar Ali Engineer menyusun paradigma teologi pembebasan (Islam). Paradigma ini hampir persis seperti teologi pembebasannya Gustavo Guiterres dan Juan-Luis Segundo di Amerika Latin.


Di Salumba, Rajasthan, dekat Uidapur pada 10 maret 1939, Asghar Ali Enginer lahir sebagai anak seorang muslim taat penganut sekte Syiah Ismailiyah Daudi Bohras yang berpusat di Bombay, India. Oleh orang tuanya, Engineer diberi pendidikan agama ketat. Tapi ia juga diberi pendidikan barat.

Setelah mencapai taraf kematangannya, ia diangkat sebagai da’i Daudi Bohras. Status da’i pada sekte ini memiliki tingkat prestisius yang tak tanggung-tanggung. 94 prasyarat harus terpenuhi agar seorang menjadi da’i.

Tetapi bukan dalam hal ini kehebatan Engineer. Ia hebat karena mampu mentransedensikan dirinya melampaui dan melawan konservatisme teologi Islam konvensional. Untuk itu, Engineer menggunakan Marxisme yang dipadukan dengan paham Mu’tazilah, Syi’ah Ismailiyah Qoromithoh, dan Khawarij sebagai sepaket epistemologi Islam liberatif.

Engineer juga penulis produktif. Puluhan buku ia karang. Profesinya sebagai wartawan merangsang dia menulis hampir di seluruh media cetak India. Di antara karangan babonnya: Islam and It Relevance in Our Age (1984), Religion and Liberation (1989), Liberation Theology in Islam (1990), Right of Women in Islam (1992), Rethinking Issues in Islam (1998), dan Rational Approach to Islam (2000).

Pada masa tuanya, Engineer terus melanjutkan aktivitas pergerakannya sambil mengajar di seluruh universitas India secara bergantian. Ia kerap diundang sebagai dosen tamu di berbagai universitas negara-negara islam.

Teologi Pembebasan

Renungan praksiologis teologi pembebasan Engineer beranjak dari ketakkaruan kondisi masyarakat kapitalisme feodal India. Mengikuti doktrin Marxian, agama Islam menurutnya telah menjadi candu yang menyokong status quo; telah menjadi teologi konvensional yang begitu konservatif dan menyimpang dari misi sucinya sebagai pembebas dengan spirit revolusionernya. Karena itu, ia kembali merekonstruksi, merevitalisasi, dan mengkontekstualisasi paradigma liberatif yang terkandung dalam Islam. Sayangnya, situasi kemapanan mengubur paradigma liberatif Islam tersebut.

Menurutnya, Islam sebagai teologi pembebasan itu: a) mesti dimulai dengan melihat [relasi] kehidupan manusia di dunia dan akhirat; b) anti status quo yang lebih melindungi golongan kaya (the have) ketimbang golongan miskin (the have not) dan anti kemapanan agama dan politik; c) membela golongan tertindas dan tercerabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan mereka dan membekali mereka dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan para penindas; d) mengakui relasi saling melengkapi antara konsep metafisika takdir (teosentrisme) dan konsep kebebasan manusia (antroposentrisme).

Dengan teologi pembebasannya, Engineer mengkritik teologi konvensional. Teologi konvensional, demikian Engineer, terlampau berpihak pada status quo dan sarat dengan kekaburan metafisik. Justru dengan kekaburan metafisik tersebut teologi konvensional memosisikan dirinya sebagai pelayan status quo. Jika secara metafisik terang, tak ada peluang memosisikan teologi sebagai pelayan status quo.

Salah satu kekaburan metafisik dalam teologi konvensional adal konsep jabr (paham fatalis/pre-deterministic) yang dianut oleh mayoritas aliran kalam dalam Islam. Dengan paham jabr tersebut, otoritas politis memanfaatkan agama Islam sebagai alat meneror, membatasi, dan menindas rakyatnya sendiri. Agar status quo tak terancam, bertopengkan normativitas al-Qur’an, otoritas politik mengharamkan paham teologi kebebasan (Qodr/ free will) yang dibawa oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan sekte-sekte lainnya.

Dan menurut Engineer, kontroversi paham fatalis dan kebebasan ini malah digunakan otoritas politik sebagai pengekal kekuasannya. Akhirnya, teologi konvensional lupa dengan tugas suci liberatifnya. Teologi konvensional hanya sibuk dengan perdebatan skripturalis antar blok jabr dan qodr yang tak habis-habisnya.

Engineer kemudian merekonsilisasi perdebatan tersebut dengan argumentasi apik. Blok Jabr ada benarnya, demikian pula blok qodr tak seutuhnya kafir. Blok jabr benar ketika mengatakan tuhan Mahakuasa. Namun kemahakuasaan tuhan tidak lantas menilap kebebasan manusia. Tuhan maha kuasa untuk memberi kebebasan kepada manusia memanfaatkan alam sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Tiada yang kontroversial antara kehendak tuhan dan kehendak manusia. Keduanya saling melengkapi.

Tidak seperti para teolog konvensional yang mengandaikan al-Qur’an cuma berdimensi normatif. Engineer menyatakan al-Qur’an berdimensi ganda: normatif sekaligus pragmatis.

Teks al-Qur’an tergelatak dalam ruang-waktu historis dan tak bisa keluar dari kehistorisan tersebut dengan berputar-putar pada obrolan sintaksis, morfologis, dan leksikal. Teks al-Qur’an harus diberi makna baru, ditafsir ulang berdasarkan kondisi masyarakat kapitalisme feodal india. Normativitas al-Qur’an harus bersentuhan dan berdialog dengan pragmatisme ide-ide pencerahan, seperti liberalisme, sosialisme, egaliterianisme, feminisme, dan seterusnya.

Epistemologi liberatif ini membuat syari’ah dipahami tak lagi sebagai benda statik. Namun syariah adalah peristiwa tersendiri yang berevolusi menempuh horizon sejarah, baik spasio maupun temporal. Syariah adalah peristiwa yang dinamis.

Prinsip yurisprudensi ijtihad, dalam hal ini, berguna sebagai katalisator dinamika syari’ah. Artinya, kebebasan –karenanya ijtihad menjadi mungkin—justru mendinamiskan syariah; menghidupkan obor hidup syari’ah setelah teologi konvensional memadamkannya.

Kehendak bebas manusia, berkebalikan dengan justifikasi para teolog konvensional, tidak bertentangan dengan kehendak tuhan atau agama. Kehendak bebas manusia membuat agama Islam menjadi agama Islam sebagaimana diwahyukan.

Sebagai studi kasus penenerapan prinsip dinamis yurisprudensi ijtihad, Engineer mengintrodusir: normatif Islam dalam perkara posisi ontologis wanita perlu ditafsir ulang berdasar kondisi kapitalisme feodal India. Masyarakat India berbada dengan masyarakat Arab zaman nabi. Lingkung historis wanitanya juga tak sama.

Sementara itu, industrialisasi dan perkembangan teknologi serta transportasi mengimpor paham feminisme liberal ke India. Industrialisasi, demi kepentingan kapital menuntut wanita lebih bebas dari keadaan pra-industrialisasi. Wanita, tak lagi berkutat pada ruang domestik rumah tangga. Pabrik pun membutuhkan wanita. Wanita dinilai lebih menguntungkan ketimbang laki-laki. Maka, Wanita dituntut pula bekerja pada sektor publik, sama seperti laki-laki. Oleh karena itu, hak wanita juga harus disetarakan dengan hak laki-laki agar kemanusiaan tetap terjaga. Pacu kesadaran feministik ini beriring bersama penaikan kualitas pendidikan para wanita India.

Ketika penghargaan masyarakat terhadap wanita meningkat, lebih-lebih ketika kaum wanitanya telah bercita-cita emansipatif, pandangan teologi konvensional yang menomorduakan wanita, tak lagi bisa diimplementasikan. Teologi mesti menyokong ide emansipasi wanita dari cekalan struktur patriarki masyarakat. Ia menjadi elemen ideologis dalam rangka egalitarianisasi gender.

Berpatok perspektif ini, teologi hendaknya menutup pintu bagi aplikasi hukum rajam bagi pezina wanita. Sebab, persekutuan antara feodalisme dengan kapitalisme memojokkan posisi wanita sebagai objek seksual subordinat.

Feodalisme melegitimasikan hirarikisitas gender: pria lebih tinggi ketimbang wanita; secara pekerjaan, fisik, dan cara berpikir, pria lebih unggul daripada wanita. Feodalisme juga membenarkan ide poligami. Para feodalis menganggap wanita tak lebih dari sekadar pelayan pria. Pria tuannya, sedang wanita budaknya.

Kapitalisme, di lain pihak, dengan tipikal budaya industrialnya, dengan infrastruktur media dan iklannya, menjadikan tubuh wanita sebagai objek tontonan penglaris barang dagangan, bahkan mengkomodifikasikan tubuh wanita. Kesan objektifikasi wanita lahir.

Perseketuan bias gender antara feodalisme dan kapitalisme menjalangkan pandangan pria terhadap wanita, dan mengarahkan pria agar mengeksploitasi tubuh wanita. Sering wanita, entah telah menikah atau belum, berzina karena paksaan keadaan, atau karena birahi pria yang kelewat setelah terangsang pencitraan tubuh wanita di media.

Belum lagi kemiskinan juga mendorong para wanita menjual dirinya, melacurkan dirinya di tepi-tepi jalan. Para wanita itu melacur sebab terdesak kebutuhan makan, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Artinya, kejahatan perzinaan wanita bisa saja disebabkan oleh kebutuhan mendesak.

Inilah salah satu model kejahatan yang disebutkan Engineer. Tipe kejahatan lainnya yakni kejahatan yang disebabkan kepongahan. Biasanya subjek kejahatan ini adalah mereka yang berada di puncak piramida hirarkisitas struktur feodal dan mereka yang minoritas dalam struktur kapitalisme (the have).

Mencermati kondisi tersebut, amat tak adil menerapkan hukum rajam bagi wanita pezina. Pula, jika praktek rajam diterapkan, dunia internasional yang menyunggi benar-benar hak azazi manusia pun akan bereaksi, resisten, dan mengecam Islam sebagai agama anti-kemanusiaan. Padahal Islam sendiri merupakan agama kemanusiaan, agama revolsuioner yang membebaskan manusia dari kondisi infrahuman-nya.

Lantaran keadaan masyarakat kapitalisme feodal India ini jugalah, Engineer meneriakkan bahwa hudud teologi konvensional tak relevan untuk diaplikasikan. Feodalisme menyingkirkan egaliterianisme dan kebabasan manusia. Kapitalisme menciptakan pemisah begitu menganga antara the have dan the have not dengan proporsi yang njomplang: the have sebagai minoritas sedang the have not sebagai mayoritas.

Di tengah tiadanya keadilan itu, penerapan hudud teologi konvensional malah akan melahirkan ketidakadilan-ketidakadilan baru dan manusia kian terdehumanisasi. Contohnya, kasus rajam dan gender di atas.

Namun, hudud tak selamanya kena larangan penerapan. Suatu nanti, ketika keadilan distributif telah terealisir dan kesetaraan antarjenis kelamin telah tampak, hudud bisa diterapkan; pada saat itu hudud menjadi institusi kelegalan yang adil. Keadilan distributif engineer tak semata berkutat pada area sosial-budaya, tetapi juga menjajagi area politik dan ekonomi, misalnya manajerial zakat yang berprinsip keadilan distributif.

Lewat pemikirannya, Engineer mengajak kita melakukan eksplorasi lebih dalam terhadap relasi antara Islam dan kapitalisme. Kapitalisme merupakan pusat ketakadilan distributif. Maka, Islam harus turut serta dalam gerakan besar menghapus kapitalisme hingga akar-akarnya. Dari sini, tercapailah kesalingpahaman dan persaman persepsi serta orientasi antara Islam dan Marxisme: pensistesisan yang banyak kalangan menganggapnya mustahil.

Lagi-lagi kita melihat kehebatan dan kejeniusan Asghar Ali Engineer, muslim pemikir besar India yang telah menggoncang sendi-sendi Islam, feodalisme, dan kapitalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam