30/09/10

Khasiat Jamu Cap Hebermas

Judul : Demokrasi Deliberatif;
“Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ’Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Juergen Habermas”
Pengarang : F. Budi Hardiman
Penerbit : Kanisius
Cetakan ke : I, 2009
Tebal : 216 Halaman

Kecewa berharap pada Juergen Habermas. Berbeda dengan Laclau dan Mouffe, ia sama sekali tak mencetuskan teori pergerakan revolusioner. Habermas, sebaliknya, malah seolah menyetujui kapitalisme: ideologi yang oleh seniornya di Mazhab Frankrut dikecam dan dikritik mati-matian.

Dalam Faktizitaet und Geltung, sebuah karya yang amat mendongkolkan kalangan kiri, Habermas mengafirmasi negara hukum (rechsstaat) kapitalisme Eropa. Ia berargumentasi: lewat negara hukum kedewasaan-kebebasan yang otonom (muendigkeit) dari tiap warga dapat terbangun. Sebab, prosedur komunikasi politik demokratis zonder dominasi sesungguhnya telah ada dalam konsepsi negara hukum itu.

Salah Paham Saintifik

Posisi Habermas berseberangan dengan generasi pertama Mazhab Frankfurt: Adorno, Horkheimer, dan Marcuse. Mereka bertiga pesimistis terhadap dampak destruktif modernitas. Manusia modern tak bisa keluar dari jejaring setan alienasi akut dan dehumanisasi kronis yang tanpa sadar mereka alami.

Dialiktik der Aufklarung-nya Adorno dan Horkheimer pun hanya menyuarakan kegelapan, kebuntuan, dan aporia. Manusia modern tak mungkin lepas dari ikatan siklus mitologisasi-demitologisasi-mitologisasi yang senantiasa memodifikasi dirinya sendiri.

Proyek demitologisasi para pemikir Aufklarung justru menjelma sebagai mitos baru. Dan manusia terjebak dalam takdir mitos itu tanpa celah menghirup udara humanistik.

Marcuse tak kalah pesimisnya dari kedua pemikir itu. Rasionalitas sasaran atau nalar positivistik yang telah merasuk pada kesadaran manusia modern menyebabkan mengecilnya bahkan raibnya potensi negativitas. Manusia jadi cuma satu dimensi. Homologi total.

Tapi di tengah kemandegan itu Marcuse menemukan titik cerah, meski samar. Ia menaruh asa melalui apa yang disebutnya sebagai Great Refusal.

Kendati demikian, Marcuse mulanya meragukan potensi Great Refusal. Namun akhirnya, gerakan mahasiswa Perancis 1968 mampu mempertebal asa Marcuse.

Tapi toh kita mencatat, gerakan itu ditebas De Gaulle. Dan kesamaran titik cerah pun menggelap. Jalan keluar lamat-lamat buntu kembali.

Pesimisme Mazhab Frankfurt generasi pertama terjadi, menurut Habermas, sebab kesalahpahaman saintifik. Mereka mengikuti metodologi Marx dalam analisnya, yang ternyata tak lebih baik timbang metodologi positivistik.

Keduanya bertendensi positivistik kuat: rasionalitas sasaran pada positivitik dan teori kerja pada Marxisme. Mazhab Frankfurt generasi pertama, sebagaimana Marx, memaknai praksis humanisasi sebagai kerja belaka.

Padahal Hegel—guru sekaligus rival intelektual-politik Marx dan guru Mazhab Frankfurt—memaknai praksis dalam dua dimensi: kerja dan komunikasi. Dalam terma praksis sendiri telah tersirat status ontologi komunikasi. Dialektika teori dan praktik menghendaki komunikasi yang dinamis antarkedunya.

Kebuntuan Mazhab Frankfrut genarasi pertama dikarenakan pemutlakan praksis yang berdimensi kerja dalam telaahnya. Sementara, dimensi komunikasinya dilewatkan atau barangkali terlewatkan.

Dari kritik terhadap seniornya tersebut, Habermas menemukan pintu keluar dari kebuntuan implikasi negatif modernitas. Pintu itu adalah komunikasi; rasionalitas komunikatif.

Fragmentasi dan diferensiasi yang dihadapai masyarakat post-industrial Eropa atau dalam terminologi Habermas masyarakat kapitalisme renta (spaatkapitalismus), hanya dapat diatasi lewat komunikasi. Komunikasi ini dikondisikan oleh prosedur yang mengorientasikan proses komunikasi otonom tanpa dominasi guna merumuskan konsensus yang legitimate.

Dalam komunikasi macam itu diharapkan terjadi saling-artikulasi kepentingan, saling penyuaraan subjektivitas. Inilah komunikasi intersubjektif yang didiskusikan panjang lebar dalam Theory des Kommunikativen Handelns, magnum opus-nya Habermas.

Dengan pandangan komunikatifnya, Habermas menolak disensi dan anarkisme akibat fragmentasi masyarakat. Justru anarkisme tersebut bisa diantisipasi dengan komunikasi intersubjektif.

Apolegetik Kapitalisme

Prosedur Komunikasi intersubjektif itu, rupanya telah ada dalam negara hukum Eropa yang merupakan anak kandung Kapitalisme. Kebetulan inilah salah satu penyebab Habermas membela Kapitalisme.

Pembelaan Habermas yang tanpa diduga-duga terhadap Kapitalisme ini dikutuk golongan Neo Marxis dan Sosialis. Mereka kecewa lantaran penantian teori revolusioner dari Habermas yang termasuk dalam Mazhab Frankfrut berujung kesiaan. Ia tak menawarkan teori revolusioner apa pun.

Sebagai ganti teori revolusioner, Hebermas menghimbau agar suatu negara hukum hendaknya menjamin terjadinya formasi opini publik dan aspirasi politis seluruh kelompok kepentingan; diskursus demokratis harus terjamin.

Ruang publik berfungsi sebagai pembentuk diskursus demokratis itu. Ia mencontohkan, di antara bentuk riil dari ruang publik dalam negara hukum adalah parlemen dan media.

Di dalam ruang publik semua kepentingan dan ideologi dibebaskan bertarung mengadu rasionalisasi masing-masing, tanpa praktik dominasi dan manipulasi. Agar praktik dominasi dan manipulasi dalam praktik komunikasi tak terjadi, diperlukan etika diskursif.

Etika ini baru muncul bila prosedur komunikasi yang muendig dijalankan. Nah, dalam demokrasi deliberatif negara hukum etika diskursif tersebut tersaji.

Mengapa harus demokrasi deliberatif yang berlandas pada etika diskursif? Jawabnya legitimasi. Tanpa demokrasi deliberatif, di mana seluruh kelompok kepentingan berdialog secara intersubjektif, legitimasi konsensus atau policy tak tercipta. Akibatnya adalah ketakpatuhan warga (civil disobedience) dan yang terekstrem adalah anarkisme golongan; situasi chaos disintegratif.

Indonesianisasi

Tema demokrasi deliberatif, negara hukum, teori diskursus, dan etika diskursif itulah yang dipaparkan Fransisco Budi Hardiman dalam buku ini. Seperti biasanya, pemaparannya disertai banyak catatan dan kritik terhadap pandangan-pandangan Habermas.

Selain itu, Budi Hardiman menganjurkan pula penerapan wawasan Habermasian pada sistem hukum dan politik di Indonesia. Jika tak demikian, sukar membayangkan rasionalisasi masyarakat Indonesia.

Kondisi pluralisme Indonesia rentan terhadap anarkisme golongan dan konflik. Guna menghindari konflik karena produk hukum nir-legitemasi, bahkan anti-legitimasi, upaya internalisasi hingga kulturalisasi demokrasi deliberatif di Indonesia merupakan kebutuhan mendesak.


Habermasian Tulen

Buku ini sungguh sistematik, padat, dan subtil. Mungkin lantaran memang Budi Hardiman menguasai benar wawasan Habermasian. Lihat saja track record intelektualnya.

Tesis Budi Hardiman untuk meraih gelar Magister Atrium di Hochschule fur Philosophie Munchen memberi masukan pada teori diskursus Habermas. Dan di STF Drijarkara, ia pernah mengampu mata kuliah Filsafat Modern. Sementara itu, pada seluk-beluk filsafat modern inilah Habermas memulai refleksi kritisnya.

Kompetensi Budi Hardiman terhadap wawasan Habermasian kian dipertajam dengan penelitian-penelitian beruntunnya. Kritik Ideologi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Melampaui Positivisme dan Modernitas, adalah beberapa penelitian Habermasian-nya yang telah diterbitkan.

Karena itu, banyak cendikiawan menganggapnya sebagai komentator sekaligus Habermasian tulen. Jika Frans Magnis menstereotip Habermas sebagai seorang Kantian hingga ke tulang sumsumnya, dengan diterbitkannya buku Budi Hardiman yang satu ini, tak keliru jika kemudian muncul stereotip: Budi Hardiman adalah seorang Habermasian hingga ke tulang sumsumnya.


Deliberasi G-20?

Pada pertemuan terakhir G-20 di Pittsburgh September lalu, negara-negara pesertanya sepakat menjadikan G-20 sebagai pengganti G-8. G-8 dirasai tak mampu lagi menanggung kompleks inflasionik ekonomi dunia, terlebih ketika resesi global menghantam.

Peran negara-negara berkembang diperlukan, terutama tujuh negara emerging economy: Brasil, Rusia, India, Cina (BRIC), Indonesia, Meksiko, dan Turki. Suara negara berkembang harus diikutkan dalam konferensi ekonomi dunia. Sebab, dikehendaki atau tidak, jantung ekonomi negara-negara maju justru sumber daya alam, produksi barang mentah dan properti, dan konsumsi negara-negara berkembang.

Dengan peningkatan status G-20, telah selesaikah diskrepansi ekonomi-politik tata dunia global seperti dipusingkan Andre Gunder Frank, Paul Baran, Immanuel Wallerstain dan kawan-kawannya? Adakah di dalam G-20 nilai suara yang sama-setara, zonder dominasi?

Sederhana. Jika di dalam G-20 diterapkan demokrasi deliberatif dan tiap negara memiliki utopianisme komunikatif, maka terdapat harapan penuntasan diskrepansi ekonomi-politik global. Namun, bila negara berkembang, termasuk Indonesia tak kunjung menanggalkan jiwa membeonya dan negara maju melakukan pseudo manipulasi terus-menerus, harapan tadi pun tenggelam.

Artinya, kesejahteraan global bakal dan hanya bakal lahir melalui pengondisian etika diskursif dalam G-20. Tanpa itu, G-20 menjadi titisan G-8 saja. Dan Indonesia akan begini-begini thok!


Student Disobedience

Konsepsi ketakpatuhan warga (civil disobedience) Habermas dapat pula kita turunkan di ranah kampus UIN. Bukannya sering terdengar adagium kampus sebagai microstate, miniatur sebuah negara? Kampus adalah negara hukum demokratis (rechsstaat demokratie) dalam bentuk yang diperkecil. Civil-nya kampus ya ... student.

Habermas me-monggo-kan bahkan menganjurkan civil disobedience dalam sebuah negara hukum, tentu dengan beberapa prasyarat. Soalnya, ketiadaan civil disobedience tidak saja menyebabkan kerugian politik kelompok tertentu. Namun, lebih jauh lagi legitemasi suatu public policy tak kuat; krisis.

Apalagi bila dalam proses perumusan public policy dan undang-undang tak semua kelompok kepentingan diikutsertakan; tak semua golongan kebagian suara dalam pembentukan formasi opini publik dan aspirasi politis.

Dalam keadaan krisis legitimasi demikian, civil disobedience dibutuhkan. Oleh karena itu, “protes ini [civil disobedience] adalah sebuah tindakan publik yang lazimnya dimaklumkan,” tulis Habermas dalam Die neue Unuebersichtlichkeit.

Disobediensi itu dapat berupa aktivitas simbolik warga yang sengaja melanggar norma-norma hukum. Aktivitas simbolik warga tersebut dimengerti sebagai praksis interpretasi norma-norma hukum nir-legitemasi.

Pertanyaannya kemudian, jika konsepsi disobediensi ini ditarik ke ranah kampus UIN, apakah norma-norma hukum berbentuk regulasi dan kebijakan yang diproduksi rektorat memiliki dasar legitimasi kuat? Absolutely not. Sebab, tak semua kelompok kepentingan diikutsertakan dalam perumusan kebijakan tersebut. Bahkan ironinya, mahasiswa sebagai objek kebijakan tersebut [seakan] tak diberi peluang bersuara.

Kebijakan kode etik mahasiswa, ketentuan limitasi presensi, kerjasama UIN dengan ITB, kenaikan biaya praktikum dan semester pendek, seluruhnya melupakan suara mahasiswa dalam proses perumusannya. Kata kawan saya, tak ada ko-eksistensi intersubjektif antara formasi opini publik masyarakat kampus dengan institusi pemroduksi kebijakan.

Kondisi demikian mamaklumkan tindakan disobediensi, student disobedience. Pelanggaran norma-norma hukum nir-legitimasi adalah halal, kalau bukan wajib demi prinsip demokrasi dan humanistik.

Pelanggaran kode etik, limitasi kurikulum, boikut tak membayar biaya praktikum dan semester pendek, serta protes simbolik mahasiswa lainnya merupakan pengungkapan dari intepretasi terhadap kebijakan nir-legitimasi institusi kampus. Student disobedience adalah demokratisasi sebuah microstate, kampus.

Demonstrasi mahasiswa, aksi mimbar bebas dan theatrical karenanya bukan sebentuk troble. Sebaliknya, ia adalah solving merajut utopianisme demokrasi sekaligus pendidikan demokrasi politik tak langsung bagi masyarakat kampus.

Lha, kalau situasinya kayak di UIN, demonstrasi mahasiswa disingkirkan lantas demokrasi mau diletakkan di mana? Apa di bawah ketiak institusi pendidikan otoriter? Entahlah choy.

Yang jelas, buku Demokrasi Deliberatif-nya Budi Hardiman ini penting dibaca oleh mereka yang menginginkan demokrasi. Sudah dulu choy; sudah capek nulis nih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam