30/09/10

Hikayat Haji Komunis

Judul : H.M. Misbach: Kisah Haji Merah
Penulis : Nor Hiqmah
Penerbit: Komunitas Bambu
Cet. : I, September 2008
Hlm. : xxxviii + 122 hlm

Orde Baru, dengan jurus rekayasa sejarahnya, mem-perang-kan Islam dan Komunisme. Akibatnya, komunis dicitrakan kafir dan wajib digenosida. Akibat lainnya: banyak tokoh pergerakan komunis Indonesia yang namanya tak masuk sejarah resmi, salah satunya Haji Misbach.

Berkebalikan dengan strategi politik Orde Baru yang mengkonfrontir Islam dan Komunisme, Haji Misbach menyerukan bahwa Islam dan komunisme merupakan sejoli yang memiliki kesaman prinsipil: melawan setan kapitalisme. Seruan itu, dengan bentuk linguis berbeda-beda, juga dintrodusir oleh Tjokroaminoto, Soekarno, Tan Malaka, dan Hatta.

Haji Misbach awalnya penganut Muhammadiyah Surakarta yang berpendidikan pesantren. Memasuki usia matangnya, ia merasakan adanya diskriminasi sosial-ekonomi di Hindia-Belanda.

Politik stratifikasi sosial pemerintahan kolonial menurunkan derajat bumiputera hingga kasta paling rendah: budak. Rajanya ialah Belanda Totok. Suasana egaliterianisme sungguh tak terasa saat itu.

Kesenjangan ekonomi amat lebar. Kekayaan terkonsentrasi pada orang-orang Eropa. Bumiputera sendiri menempati urutan buncit secara ekonomi. Di lain sisi, masuknya modal asing ke Hindia-Belanda dalam skala besar sejak 1870-an semakin mamaksimalkan penghisapan ekonomistik bumiputera.

Sistem pengkastaan pun hadir di dunia pendidikan. Pendidikan formal, yang dikhutbahkan pemerintah kolonial sebagai balas budi terhadap bumiputera, malah melanggengkan diskriminasi sosial-ekonomi.

Di tengah situasi itu Haji Misbach memutuskan masuk Sarekat Islam (SI) dan Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Di kedua organisasi tersebut, ia bertukar pikiran dengan Semaoen dan Marco Kartodikromo yang terkenal tulen paham komunisnya. Haji Misbach kemudian melanjutkan perjuangannya memakai baju SI.

Pada 1917 meledak revolusi Rusia. Revolusi tersebut merayu Haji Misbach untuk lebih setia pada garis perjuangan komunisme. Namun, kesetiaan itu tidak segera mengubur keimanan islaminya. Sebaliknya, ia memandang bahwa kesetiaan pada komunisme adalah pengamalan ajaran Islam yang sejati.

Menurutnya, tiap bumiputera yang mengaku muslim harus menganut komunisme. Muslim yang menolak komunisme berarti ia munafik, berati ia kapitalis. Dalam pemahaman Haji Misbach, kapitalisme adalah fitnah zaman modal; adalah setan yang harus segara dilumat. “...orang jang mengakoe dirinja Islam tetapi tida setoedjoe adanja kommoenisme, saja berani mengatakan bahoewa ia boekan Islam jang sedjati atau beloem mengerti betoel tentang doedoeknja agama Islam,” tulis Haji Misbach dalam sebuah artikel di surat kabar Medan Moeslimin berjudul “Islam dan Kommonenisme”.

Kontra Tjokro

Setelah masuk dan tersebarnya gagasan komunisme di SI Semarang sejak 1916, terjadilah penajaman faksionalisasi di tubuh SI. SI mulai terbelah secara ideologis menjadi dua blok, blok Tjokroaminoto yang secara ideologis Islam dan blok Semaoen yang secara ideologis komunis. Faksionalisasi ideologis tersebut memuncak pada kongres SI tahun 1919. Di dalamnya Tjokroaminoto dan Semaoen berdebat sengit.

Musuh kaum pergerakan, tandas Tjokroaminoto dalam kongres tersebut, adalah “kapitalisme yang berdosa” atau “kapitalisme yang jahat”. Tjokroaminoto membagi kapitalisme jadi dua: “kapitalisme yang jahat” dan “kapitalisme yang baik”. Yang pertama adalah sarekat pengusaha Eropa dan pengusaha non-Islam, sedang yang kedua ialah sarekat pengusaha bumiputera. Kaum pergerakan, dalam pandangan Tjokroaminoto, dilarang memerangi pengusaha bumiputera.

Semaoen menolak posisi teoritis-ideologis Tjokroaminoto itu. Semaoen menegaskan, kaum pergerakan harus memerangi kapitalisme, entah yang baik apalagi yang jahat. Soalnya, menghasilkan laba semaksimal mungkin adalah prinsip kapitalisme yang paling telanjang. Prinsip tersebut berujung pada penindasan dan penghisapan umat manusia. Atas alasan ini, Haji Misbach membela pemikiran Semaoen.

Nor Hiqmah dalam buku ini mengamati bahwa pembagian tipe kapitalisme oleh Tjokroaminoto bermuatan ideologis. Tjokroaminoto sebenarnya ingin melindungi elit pedagang muslim bumiputera yang tergabung dalam SI. Haji Misbach menembak sisi ideologis Tjokroaminoto tersebut.

Dalam kacamata Haji Misbach, muslim yang melindungi kapitalisme karena ketakutan dan demi memperkaya diri adalah seorang munafik; Islamnya bukan Islam sejati, tapi sebatas Islam Lamisan. Maka jelas, Haji Misbach menggolongkan Tjokroaminoto sebagai munafik.
Meninggalkan Muhammadiyah
Haji Misbach memang berasal dari keluarga Muhammadiyah. Ia dididik dan dibesarkan secara Muhammadiyah. Tapi, hal itu tidak serta merta membuatnya bersikap fanatik dan dogmatik terhadap Muhammadiyah.

Haji Misbach justru akhirnya memutuskan keluar dari Muhammadiyah dan menjadi anggota PKI. Karena, di PKI-lah ia mendapat semangat Islam; semangat untuk bergerak dan tidak diam atau a-politis saat rakyat sedang terjajah oleh kolonialisme Hindia-Belanda.

Semangat ini tidak ia dapatkan di Muhammadiyah. Muhammadiyah, yang ketika itu digawangi Agus Salim dan Fachrodin, kukuh untuk tidak mencebur ke politik praktis memperjuangkan penuntasan penjajahan.

Sikap a-politis Muhammadiyah, menurut Haji Misbach, bukanlah ekpresi Islam Sejati. Islam Sejati tak boleh melupakan dimensi politik; sebaliknya, ia harus berkubang dalam medan politik. Singkatnya, Islam mesti berpolitik!

Islam = Komunisme

Haji Misbach melihat Islam dan Komunis bukanlah dua kubu yang seharusnya diperlawankan. Keduanya memiliki banyak persamaan dan sedikit perbedaan: sementara Komunis lebih berorientasi “surga dunia” yang material, Islam mengajarkan umatnya untuk tak sekadar mengejar “surga dunia” namun juga “surga akhirat” yang kekal dan transenden.

Menurut Haji Misbach, maksud Islam adalah maksud komunis; begitu pula sebaliknya. Keduanya saling melengkapi dan mengarahkan. Pemahaman Islam Sejati akan membawa seorang muslim pada pergerakan komunisme. Pengertian komunisme yang jernih bakal membawa seorang komunis pada ketinggian Islam.

Kapitalisme, Islam dan Komunisme

Persamaan mutlak dan utama antara komunis dan Islam adalah permusuhan keduanya terhadap kapitalisme. Kapitalisme berpijak pada riba dan maksimalisasi keuntungan pribadi.

Dalam rangka efisiensi dan peningkatan keuntungan, kapitalis menggunakan teknologi. Teknologi, naasnya menyingkirkan peran buruh. Maka, banyaklah buruh yang dipecat yang berdampak pada surplus pengangguran. Surplus pengangguran memudahkan kapitalis mengontrol, mengendalikan, dan menyeleksi calon baruh.

Nilai jual buruh pun semakin murah. Biaya hidup kian tak terjangkau, sampai-sampai makan sehari-hari saja sukar. Konsekuensinya: pencurian, penjarahan, dan tindak kriminal lainnya merebak.

Menambah jam kerja buruh adalah cara lain kapitalis memaksimalkan keuntungan. Bertambahnya jam kerja bakal melipatgandakan keletihan, mengurangi waktu senggama dengan keluarga, dan tragisnya memangkas waktu seorang buruh muslim beribadah. Karena tuntutan pekerajaan, ia bahkan lalai menunaikan ibadah wajibnya dan lupa mengamalkan ajaran Islam.

Jadi, akar dekadensi relijiusitas ialah kapitalisme. Maka dari itu, Islam wajib menghapus sistem kapitalisme. Ini sejalan dengan arah gerak komunisme. Kapitalisme merupakan musuh bersama Islam dan komunisme.

Pada perjalanannya, maksimalisasi keuntungan pribadi akan menimbulkan situasi chaos dan anarkis dalam diri kapitalisme itu sendiri. Seorang kapitalis baku hantam-saling tikam dengan kapitalis lainnya untuk meraih keuntungan. Keadaan tersebut akan menyebabkan “crisis”. Haji Misbach kemudian menyebut crisis tersebut dengan “da’i”.

“Crisis” kapitalisme berakibat pada pemecatan buruh, pengangguran massal, dan kemiskinan absolut. Seluruhnya bermuara pada demoralisasi. Artinya, kapitalismelah yang menyebabkan kefakiran, kekafiran, dan kemunafikan. Oleh sebab itu, sekali lagi, tugas Islam sebagaimana juga merupakan tugas komunisme, adalah meruntuhkan sistem kapitalisme.

Di titik inilah Haji Misbach dengan lugas dan gemilang berhasil mempertemukan Islam dan Komunisme. Tepatnya bukan mempertemukan, tapi mengingatkan kembali kaum pergerakan bahwa Islam dan Komunisme pada dasarnya tidak kontradiktif. Islam dan Komunisme merupakan spirit penggerak membebaskan rakyat dari penjajahan.

Namun, pikiran brilian Haji Misbach ini tergusur oleh arus historiografi mainstream bentukan Orde Baru. Bahkan, peran penting Haji Misbach dalam pergerakan nasional disingkirkan dari wacana dominan. Syukurlah ada orang-orang seperti Nor Hiqmah, penulis cum aktivis yang mau mengangkat dan meninggikan dia yang terhapus dari penulisan sejarah resmi: Haji Misbach, si haji komunis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam