30/09/10

Potensi Demokrasi Deliberatif

Demokrasi deliberatif dicetuskan Habermas guna mengatasi keringnya rasionalisme Barat dalam masyarakat kapitalisme-renta. Dalam kapitalisme renta, rasio hanya bermakna dominatif melalui kerja yang berharsrat ekonomik dan naluris.


Sementara itu, wajah rasio yang lain, sebagaimana terlacak dalam tulisan Hegel “The Phenomenology of Mind” tak hanya rasio kerja (sosial) sebagaimana menjadi landasan pemikiran Marx. Wajah lain dari rasio: komunikasi. Rasio kerja berwatak dominatif, sedang rasio komunikasi berwatak komunikasi bebas dominasi menuju konsensus (mundigkeit).

Rasio komunikasi ini tak muncul-muncul dan tak kunjung dieksplorasi oleh rasionalisme Barat atau saintisme dalam lingkung teori-teori sosialnya. Dan sebab itu, masyarakat kapitalisme-renta Barat mengalami krisis yang sekarang berpuncak pada krisis ekonomi.

Habermas menjelaskan, dunia-kehidupan (lebenswelt) dianeksasi oleh sistem. Implikasinya relasi yang tercipta dalam masyarakat kapitalisme-renta Eropa Timur atau Amerika adalah relasi yang tak bebas dari dominasi. Ini yang disebut oleh Horkheimer sebagai rasio instrumental dan Adorno sebagai pemikiran identitas (dialektik der aufklarung) serta disebut oleh Marcuse sebagai rasio teknologis (one-dimensional man), atau dalam diskursus yang lagi ngetrend di kawan-kawan KMPD sebagai eksistensi periferal (sorot mata). Yach, reifikasi-lah dalam bahasa Lukacs.

Berbeda dengan posmodernis yang terperasuk dalam eksistensialisme relatif dengan paralogi atau disensinya, Habermas optimistis masyarakat kapitalisme-renta memiliki jalan ke luar. Habemas, dalam hal ini, menolong sekaligus melanjutkan proyek generasi pertama Mazhab Frankrut yang terbentur lingkar setan aporia.
Menurut mereka, kemungkinan-kemungkinan negasi dari jebak sistem kapitalisme-renta sudah tak ada dan tak bisa lagi. Mereka pesimistis, manusia modern dapat ke luar dari lembah kebangkrutan paradigma filsafat kesadaran.

Tapi Habermas tetap optimistis. Menurutnya, senior-senior Mazhab Frankfurt-nya itu tersesat dalam kekeliruan epistemologis. Lalu ia menjelaskan dalam salah satu esainya—Sorry, saya lupa judulnya—ihwal konsep rasio terpendam dalam Phenomenology of Mind-nya Hegel di atas.
Generasi pertama Mazhab Frankfurt, melalui Marx, memahami rasionalisasi hanya sebagai praksis kerja. padahal, Hegel sendiri membagi praksis jadi dua bagian: kerja dan komunikasi.
Nah, menurut Habermas, jalan ke luar dari, meminjam Lyotard kondisi postmodern, adalah komunikasi yang mengemansipasikan manusia (kemanusiaan universal). Komunikasi yang bukan tuan-budak, tapi setara-sejajar; bebas dari dominasi.

Habermas mengkrongkitkan komunikasi kemanusiaan itu dalam yang ia sebut sebagai ruang publik. Demokrasi deliberatif adalah derivasi konsep ruang publik dalam teori politiknya.
Sederhananya, dalam demokrasi deliberatif seluruh komponen masyarakat, tanpa pandang bulu, diberi ruang buat curhat, usul, atau kritik agar sisi kemanusiaan secara ekonomi-politik-sosial-kulturalnya dapat diserap sistem politik-ekonomi atau ekonomi-politik. Dunia-kehidupan coba dimasukkan ke dalam sistem.

Solusi Habermas ini, tentu hanya cukup-diri bagi masyarakat kapitalisme-renta Eropa Timur atau Amerika. Bagaimana kemungkinan diterapkannya di Indonesia?

Jika kawan-kawan membaca Tempo edisi minggu ke tiga bulan Agustus, terlihat bagaimana demokrasi deliberatif a la Indonesia sedikit demi sedikit teraktualisasikan.

Di Kebumen ada TV Ratih yang menyelenggarakan acara “Selamat Pagi Bupati”. Telanjang mata, kita dapat melihat bagaimana komunikasi bebas dominasi terealisasikan. Tapi, tak tahulah di belakang. Bisa jadi itu cuma citraan media.
Namun kabarnya, warga Kebumen banyak yang puas dengan acara itu. Banyak perubahan sejak acara itu tayang perdana pada 2001.

Di Lebak, sebuah kabupaten yang baru setahun dimekarkan, RAPBD-nya ditempel di warung kopi-warung kopi: biar bisa dikritik warga dan dapat masukan dari warga. keinginan ekonomi-politik warga biar terserap. Walaupun, kesangsian akan distorsi proseduralisme* menggelayuti kemurnian praktik demokrasi itu.

Dua contoh di atas, di Indonesia, pasti hanya kasuistik. Lebih banyak yang ngelantur, ketimbang yang ngetop.

Melihat kedua contoh tersebut, maka seberapa besar kemungkinan-kemungkinan demokrasi deliberatif diterapkan di Indonesia. Satu lagi, kemungkinannya diterapkan di UIN?

__________________________________
* Prosudarelisme di sini bukan yang dimaksud Habermas. Habermas mengaitkan proseduralisme dalam etika diskursus guna menghindari keteledoran utopianisme paradigma filsafat kesadaran sejak Platon hingga Marx dan pengikut-pengikutnya. Prosuduralisme di sini memiliki makna seperti apa yang kita pahami sehari-hari: formalisme birokratik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam