18/05/11

Pengakuan Pelajar Biasa

Kali ini saya beri bocoran. Kali ini saja.

Dalam hal intelektual, saya dibesarkan, alhamdulillah, oleh komunitas yang membahas isu-isu demokrasi dan berusaha mengamalkan demokrasi. Karena didikan komunitas tersebut, saya kagum dengan semboyan liberte, egalite, fraternite yang pernah menggema dalam Revolusi Perancis. Saya terkesima dengan Abraham Lincoln yang meletakkan azaz demokrasi, “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, dalam konstitusi Amerika. Saya juga mesti berkecap-kecap menonton betapa hebat perjuangan demokrasi para founding father Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya.

Dan saya lebih terpesona lagi dengan gerakan demokratisasi yang dipimpin oleh Muhammad. Gerakan itu, menurut saya, menglimaks pada: pertama, percobaan pembentukan negara urban-rural di Yatsrib; Negara ini kemudian diberinama al-madinah al-munawaroh (enlightened state); kedua, pada masa-masa awal setelah fathul makkah, sebelum muhammad menghembuskan nafas penghabisan; berbeda dengan revolusi yang pernah kita kenal dalam sejarah dunia, fathul makkah adalah revolusi tanpa kekerasan, revolusi yang bukan saja revolusi damai, tetapi juga revolusi yang memimpikan perdamaian abadi; kita ingat, akar kata “islam” adalah “S-L-M”, artinya damai yang tak termakan waktu-ruang, karena “islam” berbentuk mashdar, bukan fi’il. Gambaran-tak-utuh dari prosesi fathul makkah dapat kita saksikan pada revolusi tibet yang sudah dan sedang terjadi saat ini. 

Memang gampang bicara demokrasi, namun mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari alamak sulitnya. Banyak di antara kita hanya bisa nyerocos soal demokrasi dan mengritik bahwa si anu belum demokratis, tanpa menyadari tindak-tanduk keseharian diri-sendiri yang kurang demokratis, tak terkecuali komunitas yang membesarkan saya tersebut.

Menyaksikan fenomena itu, sebagai pemuda yang sedang dalam masa perkembangan jiwa, saya mengalami guncangan eksistensial berupa kekecewaan, frustasi, dan putus asa. Harapan besar yang sudah saya letakkan kepada komunitas itu, kontan patah seketika. Saya pun terpuruk dalam pesimisme yang agak panjang. Setelah memertimbangkan ini-itu, akhirnya saya memutuskan untuk resign dari komunitas tersebut, tanpa memutus silaturahim dengannya, lalu bergiat dalam komunitas mahasiswa jambi-jogja. Sejak itu, saya mulai menaruh harapan baru kepada mahasiswa jambi di jogja.

Namun pada komunitas mahasiswa jambi, saya menemukan alangkah banyak keganjilan, terutama berkenaan dengan pemaknaan dan pengamalan demokrasi. Maka berulangkali harapan saya patah, dan berulang kali pula, dengan susahpayah, saya sambung kembali harapan itu. Meski Keluarga Pelajar Jambi Yogyakarta (KPJY), organisasi induk mahasiswa jambi di jogja, telah berdiri sejak 1950-an, tradisi demokrasi tak kunjung terbentuk di dalamnya. Idealnya, semakin tua umur organisasi, ia akan semakin banyak belajar dan semakin demokratis.

Akan tetapi, harus saya akui, KPJY tidak ideal, demikian pula organisasi mahasiswa jambi lainnya, termasuk organisasi di mana saya bergumul kini, Swarnabhumi. Terus terang, ini menyebabkan kepercayaan saya kepada organisasi luntur, sehingga saya lebih suka bermain sebagai single-player daripada bergabung dalam himpunan (saya insyaf, ini merupakan sikap yang keliru).

Saya kadang bertanya-tanya, saya percaya dengan kecerdasan mahasiswa jambi, tapi kenapa kami susah betul memahami demokrasi secara praktis. Dari bangku kuliah, kami telah mengenal konstitusi, warga, pancasila, pluralisme, negara, hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan seterusnya, tapi anehnya, mengapa kami masih belum bisa sepenuh hati bersikap apresiatif dan toleran kepada the other, serta memosisikan rasionalitas di atas kepentingan pribadi dan kekerasan fisik, psikis, maupun bahasa?

Seorang kawan saya, juga mahasiswa jambi, dirundung pertanyaan serupa. Karena sampai sekarang ia kepayahan menjawab pertanyaan itu, ia pun, dengan nada pesimistis, menyimpulkan: mahasiswa jambi selalu berada dalam abad pertengahan yang suram, konsisten hidup dalam dark age, dan tidak mau menyonsong aufklaerung. Mendengar celetukannya, saya tertawa pahit dalam hati.

Tanpa tradisi demokrasi yang matang, kami, mahasiswa jambi, akan sukar bergerak, apalagi bergerak maju.


Tanpa tradisi demokrasi yang matang, kami, mahasiswa jambi, akan sukar bergerak, apalagi bergerak maju. Sejarah eropa mengajarkan: kemajuan dan demokrasi sudah semenjak kelahirannya selalu berjalan seiring. Demokrasi membuahkan kemajuan, dan kemajuan akan membuahkan kehidupan yang kian demokratis, demikian seterusnya.

Jadi, jika ditanya bagaimana supaya mahasiswa jambi pada khusunya, dan provinsi jambi pada umumnya, segera bergerak maju? Maka untuk menjawabnya, mau tidak mau kita “terpaksa” terlebih dahulu memahami demokrasi, tidak cukup secara teoritis, namun juga secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Inilah alasan, mengapa saya, dalam tiap tatap muka kelewat cerewet berkotek soal demokrasi dan memberi dorongan untuk tidak bosan memelajarinya. Ini bukan berarti saya lebih pandai dan lebih demokratis daripada mahasiswa jambi lainnya, sebab saya sendiri juga sedang belajar demokrasi, sedang belajar islam. Apa yang saya lakukan adalah untuk melunasi kewajiban dan mengamalkan sedikit sekali ilmu yang kebetulan dititipkan kepada saya. Itu saja.






SHALLI WASALLIM

By: CNKK

shalli wasallim da-iman alahmada 2X
(shalawat dan salam semoga selamanya terlimpah pada ahmad)
wal aali wal ashabi man qod wahhada 2X
(juga pada keluarga serta sahabatnya yang teguh bertauhid)

Sayang, sayang, sayang kita nggak tahu ke mana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri

sayang, sayang, sayang orang pinter tak mau ngaji
kepala tengadah merasa benar sendiri
semua dituding-tuding dan dicaci-maki
yang lainnya salah, hanya ia yang suci

sayang,sayang, sayang, orang hebat tinggi hati
omong demokrasi pidato berapi-api
ternyata karena menginginkan kursi
sementara rakyat kerepotan cari nasi

loyang disangka emas, emasnya dibuang-buang
kita makin buta, mana utara mana selatan
yang kecil dibesarkan, yang besar diremehkan
yang penting disepelekan, yang sepele diutamakan

allah, allah, allah betapa busuk hidup kami
dan masih terus akan lebih membusuk lagi
betapa gelapnya hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam