19/05/11

grusa-grusu





SEKIAN lama saya menyadari bahwa menulis, seperti halnya membaca, tidak seenteng bernapas. Namun nahasnya, sekian lama pula saya menampik kesadaran yang bermanfaat itu. Akibatnya gampang ditebak: hampir sebagian besar kerja intelektual saya terasa sia-sia dan lewat-lewat begitu saja, tidak terlalu membekas baik pada perkembangan kepribadian dan cara berpikir saya, lebih-lebih pada perubahan evolutif lingkungan sosial di sekitar saya.

     Selama ini saya membaca dan menulis bagai orang makan pisang goreng di pagi hari setelah letih mendangir rumput di huma. Makan dengan begitu lahap dan cepatnya, tanpa benar-benar menikmati rasa, gurih, dan hangatnya, tanpa mengunyahnya hingga lumat sehalus-halusnya.

Seharusnya saya memakan pisang goreng itu dengan niatan yang masak, kunyahan yang sabar, dan telanan yang tulus. Seharusnya saya membaca dan menulis dengan niat, kesabaran, ketelitian, dan ketulusan yang dalam, serta tentu, dengan sangkan-paran intelektual yang jelas.

Saya kembali merefleksikan hal ini setelah membaca, masih dengan kekemrungsungan dan kegrusa-grusuan yang fatal, beberapa esai Nirwan Ahmad Arsuka, pengasuh halaman Bentara Kompas, yang beberapa hari lalu saya unduh dari situs blog pribadinya. Yang paling memikat saya adalah “Dari 100 Suara Pinggir ‘Kata, Waktu’”, esai yang ditulisnya sebagai kata pengantar panjang untuk “Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohamad 1980-2001”.

Saya belum sekali pun membaca buku Goenawan Mohamad tersebut. Pada rak buku seorang kawan yang kini telah menjadi penyair di Jambi, saya pernah melihat sepintas lalu bagaimana tebal dan seramnya buku berat yang dikarang oleh salah satu pemikir raksasa Indonesia itu. Saat itu, saya belum memiliki perangkat intelektual yang memadai untuk mengakses lika-liku teoritis yang secara sekelumit ataupun secara panjang-lebar diuraijabarkan di sana. Saya, jujur saja, demi melihat buku itu, merasa mender bin keder.

Baru beberapa semester kemudian, dengan keberanian yang dihidup-hidupkan, dan karena mengalami dahaga pengetahuan, saya mulai membaca tulisan-tulisan Goenawan dalam enam jilid Catatan Pinggirnya dan dalam website pribadinya. Saya sedikit demi sedikit memahami biografi intelektualitas Goenawan: dari eksistensialisme Albert Camus menuju apa yang kini sering disebut sebagai posmodernisme atau cultural studies.

Saya salut dengan sikap kecendekiawanannya yang menaruh apresiasi tinggi terhadap kehidupan unik sang liyan, sembari, pada saat yang bersamaan, menolak kekerasan ilmiah yang mereduksi kenyataan dan melupakan eksistensi subaltern. Saya mengamati bagaimana ia bertidaksepaham dengan semboyan sastra-untuk-politik, dan bertidaksepakat dengan pola pembangunan sentralistik Orde Baru yang memajalkan kreativitas masyarakat. Pandangan Goenawan yang meletakkan perbedaan di atas penyeragaman, keraguan di atas kepastian, pinggiran di atas pusat, kebebasan di atas ideologi, dan (mungkin juga) pertanyaan di atas jawaban, mendorongnya menemukan bentuk penulisan prosa baru: Catatan Pinggir. Di dalamnya, anehnya, puisi lebih memainkan peran komunikatif daripada prosa.

Dengan Catatan Pinggirnya, kepada saya Goenawan mengenalkan luasnya perbendaharaan sastra dunia dan tingginya kualitas sastra tradisional kita, apalagi bila kanon sastra tradisi tersebut diberi penafsiran-penafsiran baru. Goenawan, dengan kalam “pada mulanya adalah kata”-nya, mengajari saya untuk mengenal kata-kata lebih intim, bukan saja karena mereka mengandung relasi kuasa yang pekat dan sering mematikan, namun juga karena hanya dengan mereka saya bisa menapaktilasi jatidiri, lalu menganyam jalan ke mana pinisi hidup ini hendak dilayarlabuhkan.

Namun rupanya, dalam hal membaca, termasuk membaca jejak kepenyairan Goenawan, saya masih belum apa-apa ketimbang Nirwan Ahmad Arsuka. Kemampuan saya hanya seujung kuku kelingking Nirwan. Toh, walau demikian, saya tidak begitu minder, karena saya maklum, rentang waktu penjelajahan intelektual Nirwan lebih lama daripada saya yang baru kemarin sore mulai mengelana di dunia pengetahuan. Maka wajar saja jika pembacaan Nirwan atas Goenawan lebih cermat, detail, dalam, dan luas dibanding saya, lebih sabar dalam observasi, dan lebih jelas dalam orientasi dan perspektif.

Setelah membaca esai-esai Nirwan saya kepingin tobat dari cara membaca dan menulis yang kemrungsung dan grusa-grusu. Saya jadi ingat pesan bapak saya: “mbok ojo grusa-grusu koyo ngono”, “jangan terburu-buru begitu”. Hampir tiap hari ia sasarkan kalimat itu ke telinga saya yang budek ini. Saya juga jadi ingat sebuah hadits, atau kata bijak, yang diajarkan ustadz ramlan, guru tafsir hadits saya di asrama dulu. “Al-‘ujalah minasy-syaithon”, “ketergesa-gesaan berasal dari setan,”serunya berulangkali. Sayangnya, hampir tiap ia mengulang kalimat itu, saya selalu sedang dilanda kantuk yang maha, terkadang justru sedang bermain-main di alam mimpi. Untung saja, Nirwan, dengan esai-esainya yang padat dan rancak, kembali mengingatkan saya dengan kata bijak itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam