17/05/11

Narayana

Adalah Arswendo yang pertama kali mengenalkan saya dengannya. Ia tidak hitam, tidak pula biru, apalagi putih. Ia bujangan berambut panjang. Orang sekampung takut dengannya. Tapi keluarganya tidak. Malah keponakannya yang baru TK sangat suka berdekat-dekat dengannya, merasa kesepian bila sang paman satu hari saja tidak berada di sampingnya. Waktu itu, namanya begitu ganjil di telinga awam saya: Narayana.

Saya tidak mengerti mengapa Narayana, si semau gue yang gemar timpak-timpuk orang itu, memanjangkan rambutnya. Akan tetapi saya tahu betul: setelah merasa terbebas dari beban psikologis yang pekat, ia memelontos rambutnya. "Plong sekali," katanya, "lapang sekali," sambungnya.

Lama saya bertanya-tanya siapa sebenarnya Narayana. Belakangan, Romo Mangun, memberikan jawaban. Narayana tidak lain tidak bukan adalah Krisna, tuhan yang menitis pada ksatria berkulit hitam-legam, sais kereta Arjuna dalam mahaperang di padang Kurusetra.

Orang Jawa, sebagaimana tertampil pada wayang purwa, menggambarkan Krisna dengan kulitnya yang hitam. Dalam kamus mistik Jawa, demikian Romo Mangun, bukan putih, tetapi justru warna hitam yang merupakan lambang pencapaian makrifat. Oleh karena itu, jika kita mengamati-amati batik Jawa, akan terlihat bahwa hitam adalah warna dominan.

Sementara itu, oleh orang India, dari mana kisah Mahabarata berasal, Krisna digambarkan sebagai dewa berkulit biru. Bagi saya biru adalah tanda haru dan baru. Saya sendiri tidak tahu bagaimana persepsi orang India terhadap biru.

Krisna adalah dewa kontroversial. Ia disanjung sebagai guru pandawa dan pelestari damai. Di lain sisi, ia dicela sebagai penghasut dan provokator. Krisna adalah pelatuk pecahnya perang Mahabarata yang berujung kesia-siaan dan dukaderita. Krisna selalu mengangin-angini Pandawa agar membalasdendam pada dan melumat habis Kurawa, padahal, kita tahu, Krisna mengajarkan ilmu langit pada Arjuna. Sebagai guru dan ilmuan, Krisna tidak konsisten memertanggungjawabkan ilmunya.

Maka, sempurna sudah kemunafikan Krisna. Ia tidak putih saja, ataupun hitam saja. Ia hitam-putih, kadangkala hitam, kadangkala putih, putihnya untuk menutupi kehitamannya, kehitamannya menggerakkan putihnya.

Namun, oleh karena tidak bisa dikutubkan pada hitam saja atau putih saja, jiwa Krisna mengalami perkembangan. Ia tokoh yang hidup. Sebagai tokoh, Krisna jujur dengan kekurangan dan kelebihannya. Sebagai wayang, ia berdarah dan berdaging.

Dengan demikian, tidak aneh bila kemudian Narayana yang berambut gondrong itu memelontos kepalanya. Wataknya berubah drastis. Sebelumnya ia kurang mengenal kasih, sayang, cinta. Setelah botak, ia mengenal kemungkinan-kemungkinan positif dalam kehidupan sehari-hari. Ia pun kembali percaya pada tuhan, mulai memercayai keluarga dan sahabat-sahabatnya dengan tulus, dan lebih percaya diri. Kini ia lebih yakin dan beriman.

Terima kasih kepada Arswendo yang telah mengenalkan saya kepada Narayana, juga kepada Romo Mangun yang sudah membabarkan jatidiri Narayana yang sebenarnya. Ternyata, Narayana juga manusia...


Pengakuan Orang Hutan

Jogja, 13 Mei 2011

kalian lihat, kami besar di rimba belukar. tetapi lihat, kami bukan rengas panas atau srigala lapar. kami cendrawasih berbulu belas kasih. kami anggrek macan yang menguncup karena ungunya malam, yang mekar karena kuningnya bulan. kami juga berhak hidup, berhak hijau, berhak biru, berhak baru.

kami lihat, kalian tumbuh di taman bunga tempat rama bertapa. tetapi lihat, kalian rengas yang merampas sinta dari rama. kalian srigala yang mengoyak tubuh sinta di tepi kali, yang mengunyah hati cinta di puncak candi. kalian juga berhak hidup, berhak hijau, berhak biru, berhak baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam