08/05/11

soliluqoy rindu

I

ada saatnya ketika seakan-akan aku lepas dari tubuhku dan bahkan mampu, dari suatu atas yang tinggi, melihat tubuhku yang diam atau bergerak, persis seperti dalam mimpi. tapi aku lupa kapan saat itu, sebab sepertinya saat memang tak berlaku pada momen itu.

ada saatnya ketika seolah-olah aku terpelanting ke hari yang lampau atau hari yang akan datang dan merasa aku sedang mengawasi tubuhku sendiri bagai harimau yang mengawasi rusa. tapi aku lupa kapan saat itu, sebab sepertinya saat memang tak berlaku pada momen itu.

ada saatnya ketika aku sungguh-sungguh tersedot habis oleh suasana malam: oleh angin yang mengirim dingin, oleh air yang menawarkan gemericik, oleh daun yang memberi hijau, oleh tanah yang menagih lemah, oleh jengkerik yang menyiar musik. aku tidak lupa kapan saat itu, tapi saat itu aku menginginkan detik yang kekal, sekekal alif-lam-mim atau nun.

aku bertanya-tanya:
apa saat itu adalah puisi?
apa saat itu adalah seni?
apa saat itu adalah agama?

jika benar saat itu adalah agama, mungkin itu sebabnya agama-agama besar selalu menciptakan metode transendensi-imanensinya sendiri. zen menciptakan tai-chi. hindu menciptakan yoga. buddha menciptakan tapa. islam menciptakan salat. tapi Rumi ingin mereguk lebih daripada sekadar spiritualitas salat, dan ia menggubah tarian terkenal itu, whirling dervish. gerak tubuh atawa bahasa tubuh kadangkala membuat kita lepas dari tubuh sendiri, dan terbang ke wilayah entah berentah. kadangkala, tidak mesti selamanya (?) 


II

oleh karena bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis, maka ia diberi air susu dan bukan sekresek apel yang dibeli dari supermarket terdekat. sebelum itu musik adzan dan iqomat bergantian menyelusup masuk ke dua telinganya, lalu ia pun dininabobokkan dalam box bayi. dan lama setelah itu, melalui jalan bahasa ia mulai menghuni rumah percakapan antarmanusia, dan ia semakin diatur-atur bapaknya, dan ia semakin jauh dari belai ibunya. dan bayi yang kini meningkat remaja itu tambah suka menangis, dalam tiap keramaian yang ribut, apalagi dalam tiap kesepian yang suwung.

ini mungkin cerita kuno yang seringkali diulang-ulang. tapi sepertinya masih banyak di antara kita yang menyukai cerita yang sangat biblikal dan eropais ini, padahal bagi kita kontradiksi justru adalah tangga bagi tercapainya uni-kum.

kita tidak harus menempati salah satu di antara dua ruang ini: hitam-putih, langit-bumi, tuan-budak. tetapi dalam perantauan--saya lebih suka memakai "perantauan" daripada "perjalanan", "pengembaraan", "pengelanaan", "petualangan", ataupun "proses menjadi"--yang baru tutup buku (sekaligus, ironisnya, buka buku) setelah sampai ambang 'pati', kita bergerak berpindah-pindah antara hitam-putih lalu membaurkannya dalam warna, antara langit-bumi lalu membaurkannya dalam suasana, antara tuan-budak lalu membaurkannya dalam kreasi.

konsistensi dan komitmen tidak lagi merupakan keteguhan dalam memegangi hanya hitam selama-lamanya atau hanya putih selama-lamanya, hanya langit selama-lamanya atau hanya bumi selama-lamanya, hanya tuan selama-lamanya atau hanya budak selama-lamanya, namun konsistensi dan komitmen ada pada alif: keluwesan yang amat sangat plastis untuk dan supaya tetap tegak dalam proses perantauan itu sendiri, dengan kata lain dalam proses kreatif dan atau proses pembaruan.

pertanyaan sulitnya, dari mana kita mendapatkan energi untuk bergerak berpindah-pindah itu? saya ingin mengutip bagian sebuah sajak sapardi, di dalam diri kita, ada pohon yang bernapas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam