19/05/11

(Meraba-raba) Eskapisme Sastra Cyber



Luka dan bisa kubawa berlari /Berlari//Hingga hilang pedih dan peri//Dan aku akan lebih tidak peduli
(Chairil Anwar, dalam “Semangat” atau “Aku”, Maret 1943)


Tak tertahankan lagi/remang miang sengketa di sini//Dalam lari/Dihempaskannya pintu keras tak berhingga
(lagi-lagi Chairil Anwar, dalam “Pelarian”, Februari 1943)


I

Pernah saya jumpai sebuah buku, judulnya: Eskapisme Sastra Jawa. Saya kurang ingat siapa pengarang dan penerbitnya, apalagi tahun dan tempat terbitnya. Saya mencoba mereka-reka bahwa buku itu bercerita tentang sastra Jawa yang merupakan bentuk pelarian dari kenyataan sosial yang begitu menyekik dan pahit. Lalu kata-kata pun menjelma sebagai bulan yang dirindukan si punguk. Saking rindunya pada bulan, si punguk sampai-sampai lupa makan, dan lupa pula kalau ia lagi dimakan waktu dan ruang.

Namun baru saja sebuah pertanyaan datang pada saya: tetapi sastra, tidak hanya dalam Bahasa Jawa, selalu merupakan tempat pelarian diri dari kenyataan, bukan? Betul juga.

Sastra bisa jadi jalan eskapik. Buktinya, banyak sastrawan yang lahir dari kalangan kelas menengah ke bawah, kondisi mana membuat mereka begitu susah cari makan dan susah cari kerja, begitu menderita, lalu begitu pandai bermimpi, lalu begitu suka berimajinasi, lalu begitu piawai menuangkan harapannya pada helai-helai kertas. Saat menulis, ia tengah membawa dirinya keluar dari dimensi ruang dan waktu, dan memasuki dimensi bahasa. Dalam dimensi bahasa, ia mendapatkan kebahagiaan yang selama ini diidam-idamkannya.

Sastra bisa juga jadi jalan keselamatan yang semu dan sesaat. Setelah orang letih menghadapi kenyataan sehari-hari yang masih tak henti-henti menghimpit, sastra, seperti seorang pendeta, menawarkan surga, atau cara mencapai surga. Bila kita perhatikan, kitab suci agama-agama dan petuah orang suci yang dibukukan, selalu memiliki kadar sastra relatif tinggi.

Baik sastra sebagai jalan eskapik maupun sastra sebagai jalan keselamatan yang semu dan sesaat, barangkali adalah tanda ketakutan kita dalam menghadapi kenyataan yang buas dan lapar. Sangat romantik. Sastra, jika demikian, kadangkala menyerupai agama. Agama, kata Feurbach dan Marx, adalah candu. Agama, kata Freud, adalah gejala gila.

Sastra, seperti agama, adalah candu yang membius dan mematikan. Sering terjadi orang menulis puisi atau merangkai narasi seperti sedang mengalami ekstase atau trance. Tidak dipedulikannya lagi keadaan sekitar. Andrea Hirata bahkan mengakui bahwa ia menulis Laskar Pelangi dalam keadaan trance. Banyak penyair mistik yang asyik menggunakan kata-kata seperti “mabuk”, “tuak”, “sake”, “anggur”. Kata-kata itu jelas merujuk pada pengalaman spiritual ekstasis. Para penyair itu, dengan memasuki dunia sastra, memperoleh kenikmatan yang memuaskan.

Sastra, sekali lagi seperti agama, adalah gejala gila. Lu Xun, sastrawan Cina modern, pernah mengarang Catatan Harian Orang Gila. Dun Quixote, mungkin tokoh novel abad renaissance paling berpengaruh, adalah potret orang gila. Majnun digilakan oleh Syaikh Nidzami. Pada kemunculan pertamanya dalam dunia sastra, Chairil Anwar dicibir sebagai orang gila. Dalam Gadis Pantai, novel besutan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang angkat topi pada Lu Xun, terdapat seorang tokoh figuran: pengangguran pendendang syair; masyarakat kampung mengejeknya sebagai gila.

Meski demikian, kita boleh memerdebatkan fungsi sosial sastra ini. Kepada saya, Anda bisa memaparkan fungsi sosial sastra dari segi-segi positifnya, dan dengan begitu, menolak “sastra sebagai candu”, “sastra sebagai jalan eskapik”, “sastra sebagai gejala gila”, “sastra sebagai jalan keselamatan yang semu dan sesaat”. Tetapi apa Anda mampu menolak kenyataan, dan menghindar serta lari darinya? Karena saya manusia, saya tidak mampu. Anda manusia?


II

Kehadiran Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lainnya, saya kira, adalah angin sejuk bagi banyak orang di Indonesia. Akses jejaring sosial yang cukup murah, memberi kita ruang curhat bagi permasalahan hidup sehari-hari, ruang artikulasi opini pribadi, bahkan ruang resistensi politik bagi kelompok sosial yang tergusur dan terusir. Jejaring sosial, wabilkhusus Facebook, telah jadi ruang publik dalam arti sebenar-benarnya.

Hari ini saya dengar berita: Indonesia memperoleh ranking nomor dua pemakai Facebook terbesar di dunia. Wow! Jadi, bisa dibayangkan bagaimana peran Facebook dalam kehidupan sehari-hari kita. Tua-muda, laki-wanita, pekerja-pebisnis, pelajar-penganggur, semua berduyun-duyun ngeklik Facebook, entah sekadar mengisi status yang merayau, chatting dengan orang tak dikenal,  gonta-ganti avatar, belajar hacking, mengisi waktu kosong, memudahkan bisnis, mengoleksi relasi, dan ....

Mereka berfacebookria karena beragam alasan: jaga gengsi, nunut trend, mengatrol rating sosial-budaya, belajar, menumpahkan rasa dan pikir, mencari ruang kebebasan dan pembebasan, dan seterusnya. Banyak facebooker yang serius dan mendayagunakan Facebook seoptimal mungkin. Banyak pula facebooker yang iseng dan main-main dengan Facebook seoptimal mungkin. Penyair, atau siapa saja yang kepingin jadi penyair, tentu termasuk dari “banyak orang” itu.

Untuk apa mereka nongkrong di beranda Facebook? Saya punya akun Facebook. Beberapa sastrawan adalah teman Facebook saya. Saya perhatikan tingkah polah mereka di jejaring sosial tersebut.

Ada yang disiplin mengupdate status saban hari, bahkan saban setengah hari. Ada yang malas mengupdate status. Ada yang statusnya berupa kritik budaya, kritik sosial, kritik politik. Ada berupa puisi, fiksimini, pantun, pepatah, kata mutiara. Ada berupa pujian terhadap pemerintah, ada berupa makian, pisuhan, celaan, ludahan, bahkan keluhan. Ada yang menulis status dengan gaya realis, ada pula dengan gaya metaforis bertabur andai, bila, jika, kalau.

Di halaman “catatan”, ada yang menulis ulasan sastra, puisi, pantun, cerpen, penggalan novel, resensi buku, ulasan teater, ulasan seni musik, ulasan seni rupa, dan seterusnya. Sebagian ada juga yang tak kapok-kapok menulis undangan acara sastra ini dan itu. Ada yang pantang menyerah memromosikan antologi puisi atau antologi cerpennya. Ada yang menulis ada-ada saja, misalnya curhat makan apa hari ini, atau habis melancong ke mana kemarin, atau besok mau mengenakan baju apa warna apa.

Dalam ruang publik maya itu, tampaknya para sastrawan kita mendapat dunia baru. Di sana mereka memperoleh ruang untuk, meminjam Taufik Ismail, mengutuksumpahi jaman. Dengan menulis sastra di ruang maya, mereka mendapat kebahagian, kenikmatan, dan kepuasan yang kemungkinan besar tidak didapatkan dalam kenyataan hidup sesungguhnya. Fenomena aktivitas sastra di ruang maya, mudahnya kita sebut saja fenomena sastra cyber, “jangan-jangan” adalah gejala eskapisme. Facebook dan sejenisnya menjadi tempat melarikan diri di mana di dalamnya para sastrawan merayakan kebebasan dan pembebasan. Hiruk-pikuk sastra di ruang maya, sebab itu, boleh jadi merupakan semacam orgasme massal bagi para sastrawan.

Dalam kenyataan hidup sesungguhnya, masyarakat, lantaran terbelit jerat ekonomi, sering kurang mengapresiasi karya sastrawan. Eksistensi sastrawan limbung, apalagi amat jarang penerbit dan forum yang mau benar-benar memberi kemudahan publisitas dan belajar bagi penyair, lebih-lebih penyair lokal. Perlu diulangi sekali lagi, terhimpit dan tertekan dalam, serta muak dengan, kenyataan hidup sesungguhnya, banyak penyair mencari, menjelajah, dan menghuni dunia baru: cyber.


III

Tentang eskapisme sastra cyber, saya sebetulnya sedang meraba-raba saja, sedang meggores sketsa kasar, dan tidak bermaksud untuk berteori, atau memvalidasi hipotesa apapun. Namun saya pikir, bukan tidak ada teori mutakhir yang bisa membantu kita menjelaskan gejala eskapisme sastra cyber ini.

Baudrillard, teoritikus hyperreality itu, mungkin telah hampir, atau malah benar-benar telah, membicarakan tema ini. Saya tulis “mungkin” karena saya tidak tahu secara mendalam seluk-beluk pemikiran Baudrillard. Yasraf Amir Piliang, budayawan ITB itu, saya yakin, juga sudah lama tersengat oleh, dan mungkin sekali sedang meriset, fenomena sastra cyber. Pandangan mereka bisa dikutil sebagai “kata pengantar” supaya kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa dalam sastra cyber memang muncul gejala eskapisme.

Karena berwatak eskapik, maka sastra cyber, seperti sastra dan agama, adalah jalan keselamatan semu dan sesaat yang mengakibatkan para pemakainya kecanduan dan lupa daratan, mirip orang gila. Jujur, kita kerap melihat orang yang kecanduan Facebook. Satu hari saja tidak membuka akun Facebooknya, ia akan resah, gelisah, dan salah tingkah, selanjutnya ia akan gila sendiri. Tidak mustahil bila beberapa, atau bahkan banyak, penyair terserang penyakit gila Facebook ini.

Jadi, dalam sastra cyber terjadi tidak hanya eskapisme, tetapi eskapisme ganda. Sastra, sebagaimana telah dicoba dijelaskan di bagian awal, kadangkala adalah gejala eskapisme, kendati ada yang tidak setuju terhadap pendapat ini. Dan pada gilirannya, apalagi di Indonesia, eskapisme sastra konvensional atau sastra cetak rupanya belum sungguh-sungguh memberi pembebasan dan kebebasan bagi sastrawan, belum lagi dapat menjamin dirasakannya kenikmatan yang memuaskan. Maka para sastrawan pun berlari mencari dunia baru yang dapat menampung bakat kreatif mereka, yakni dunia cyber. Tersisa pertanyaan: sastra cyber akan mampu memenuhi hasrat literer mereka?


IV

Eskapisme sastra cyber sebenarnya sangat-sangat menarik untuk dikaji. Sadar akan hal itu, awalnya saya berniat mengarang buku tentang tema ini. Saya khayalkan buku itu akan berjudul: Eskapisme Sastra Cyber: dengan Irrasionalitas, Mengejar Irrasionalitas di Tengah Irrasionalitas.

Akan tetapi, kemudian saya membatalkan “niat buruk” tersebut. Menulis buku begituan sudah bisa diramalkan akan membuang-buang waktu dan bikin capek saja. Lebih baik saya mengisi waktu dengan tidur-tiduran sambil mendengar lagu Melayu atau Campursari. Lebih baik saya menghabiskan jam dengan walking-walking ke mana saya suka, mejeng di tepi jalan protokol sambil plirak-plirik cewek Indonesia yang semakin semok, seksi, dan telanjang, atau ngota di warung kopi sampai pagi sambil klepas-klepus menyedot rokok ketengan, atau utak-atik Facebok hingga teler bin mendem, atau corat-coret kaligrafi Arab di pintu kamar kos, atau, atau, atau-tau-tau ....

Jogja, 4-5 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam