16/10/11

ironi


Entah mengapa, manusia sepertinya memiliki sebuah karakter khas: mencari yang jauh, mengacuhkan yang dekat; cenderung membaca yang fiksi, berpaling dari yang fakta; takjub menyimak mukjizat, tak lagi heran dengan kebiasaan sehari-hari yang padat dengan kontradiksi dan keretakan. Ini menguntungkan, tetapi merugikan, bagi manusia.

Rugi karena dengan karakter khasnya itu, manusia justru mengekang imajinasinya dan membatasi perkembangan potensi alaminya. Manusia takut terhadap fakta bahwa bukan saja lingkungannya, tetapi bahkan juga dirinya sendiri, ternyata tidak lain hanyalah serangkai abnormalitas atau disorderness yang tak jelas sangkanparannya. Kontradiksi, ironi, tragedi, komedi, kegilaan dan sebagainya dengan sewenang-wenang secara liar meneror manusia di mana saja saban detik.

Ladang di mana ironi tumbuh dengan subur di antaranya adalah bahasa, termasuk praktek berbahasa dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, praktek berbahasa Arab dan berbahasa Inggris masyarakat Indonesia pada umumnya.

Mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Sumber doktrin Islam berasal dari al-Qur’an dan al-Hadits. Dua-duanya berbahasa Arab. Artinya, bahasa Arab adalah bahasa agama Islam. Umat Islam wajib menjalankan rukun Islam yang diritualkan dalam bahasa Arab formal. Tidak sah salat tanpa menggunakan bahasa Arab.

Tetapi ironinya, hanya sedikit sekali dari para muslim itu yang mampu berbahasa Arab dengan fasih baik secara lisan maupun tulisan. Tanpa punya cukup kompetensi berbahasa Arab, bagaimana para muslim lain, yang jumlahnya begitu besar itu, dapat menghayati agama Islam dalam kehidupan sehari-hari?

Maka wajar apabila di Indonesia agama Islam seringkali dijadikan sebagai apologi, legitimasi, dan kedok bagi kekerasan, korupsi, dan teror. Lebih getir lagi, untaian ayat-ayat al-Qur’an lebih kerap diposisikan sebagai rajah atawa mantra daripada sumber ilmu dan objek studi.

Praktek berbahasa Inggris masyarakat Indonesia juga memendam ironi. Fakta abad ini, bahasa Inggris menempati posisi yang sangat strategis. Ia adalah bahasa pengetahuan, informasi, teknologi, dan pergaulan global. Siapa tak cakap berbahasa Inggris akan tertinggal atau ditinggalkan. Dia hanya akan menjadi manusia kelas bawah yang hidup terpinggir dalam tekanan inferioritas dan penjajahan kultural. Dia selamanya akan mengabdi sebagai tukang, kuli, budak bagi mereka yang mendapat keberuntungan kebetulan lahir sebagai native speaker bahasa Inggris. Dia selalu berdiri sebagai objek, bukan subjek yang secara merdeka menentukan, dan bertindak mencapai, identitas idealnya sendiri.

Indonesia, sebagai sebuah negara yang “berusaha” rasional, memberi fasilitas pendidikan kepada seluruh warganegaranya. Tiap sekolah, dari jenjang paling bawah hingga paling tinggi, mengajarkan bahasa Inggris. Ironinya, tampaknya hal ini diselenggarakan tanpa keseriusan konseptual dan implementasi. Dampaknya, banyak sekali di antara masyarakat Indonesia, bahkan yang telah merampungkan studi strata I sekalipun, belum mampu berbahasa Inggris, baik pasif, lebih-lebih aktif. 

Jadi, bila modus pengajaran bahasa Inggris kita tak segera dirombak, jangan salahkan siapa-siapa kalau kelak, lima atau sepuluh tahun akan datang, nasib Indonesia masih begini-begini saja: tidak menjadi faktor dalam sejarah dunia dan terus diping-pong oleh, dan menjadi bulan-bulanan dari, negara-negara maju.

Jogja, minggu, 16 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam