08/10/11

mengarang


HIDUP di zaman sibernetik yang mengandalkan kecepatan dan keinstanan konon merugikan, terlebih bagi mereka yang ingin belajar menulis cerita. Media belajar yang tersisa hanya buku catatan harian yang sepi, e-mail yang tak wangi, es-em-es yang penuh kata dan kalimat yang disingkat-singkat seenaknya.

Dulu, di masa kakek dan bapak kita masih remaja, selain buku diari, surat, lebih khusus lagi surat cinta, adalah media belajar mengarang indah paling asik, jitu, melenakan. Menulis surat cinta kepada calon kekasih atau kepada kekasih tidak mengenal kata bosan dan capek. Malah, kita akan tergoda untuk menulis dan menulis lagi. Setiap minggu, setiap hari, kita harus mengirim surat kepada kekasih: menanyakan kabar, menyatakan rindu, menyampaikan berita baik,  mengumbar rayuan gombal, menjual janji-janji manis. Dengan menulis surat, kita terbiasa mengungkapkan isi pikiran dan isi hati dengan gaya tulis yang memikat, dibikin semanis dan serapi mungkin, seperti puisi.

Dialog surat

Menulis surat tidak sama dengan menulis diari. Surat melatih kita untuk berdialog, membuka mulut, mata, telinga, pikiran, dan jiwa. Dalam surat kita merasakan realitas konflik antarmanusia. Surat mengajari kita rendah hati dan demokratis.

Pertengkaran antara kita dan sang kekasih bisa diselesaikan melalui surat. Surat juga bisa menyelasaikan hubungan cinta yang telah lama kita rawat sungguh-sungguh. Terdengar tidak jantan memang, mengucap kata putus dengan surat. Tapi begitulah kenyataannya. Surat menelanjangi kepengecutan dan ketakutan kita. Surat, dengan demikian, menunjukkan siapa diri kita sebenarnya, siapa kekasih kita sebenarnya, dan memberi nasihat bagaimana cara merumuskan tata hubungan kasih yang kukuh dan sehat; hubungan yang bukan tanpa pertengkaran, namun hubungan yang cakap mengelola konflik.

Surat ternyata sangat bermakna. Tidak sedikit orang menjadi bahagia karena surat. Tidak sedikit pula orang tenggelam dalam sedih karena surat. Banyak pengarang belajar menulis dengan bersurat-suratan dengan kekasihnya. Dan mereka berhasil.

Monolog diari

Bila surat adalah dialog, diari merupakan monolog rahasia yang panjang. Lokasi diari murni dalam ruang privat. Diari memang, di satu sisi, menunjang kelancaran kita menatah puisi. Namun di sisi lain, diari memupuk sikap otoriter, egoistis, dan introvert. Diari lebih berkaitan dengan dunia intrapersonal daripada dunia interpersonal, lebih berhubungan dengan psikologi daripada sosiologi.

Dalam diari ada juga percakapan, sebatas percakapan bisu dengan  diri sendiri. Ini adalah proses kritik diri ketika kita mengadakan perjalanan menyelami palung jiwa kita yang paling dalam, merambah rimba batin kita yang menyembunyikan misteri paling teka-teki.

Diari telah membimbing banyak penulis. Beberapa novelis legendaris menggunakan struktur tulis diari dalam bercerita. Mungkin karena struktur tulis diari memberi ruang eksplorasi kejiwaan yang luas, nyaris tanpa pagar pembatas.

Ruang baru

Zaman diari belum berlalu. Kita masih bisa, tanpa harus malu kepada siapa pun, belajar mengarang dengan rajin menulis diari, hari per hari. Namun zaman surat sudah lewat. Kikuk dan aneh rasanya berkomunikasi dengan kekasih memakai surat. Surat tidak praktis, lambat, ribet, dan agak mahal. Sedangkan smartphone, Facebook, Yahoo, atau Camfrog, yang super cepat dan super mudah, membuat kita dapat secara langsung mendengar suara dan menatap wajah kekasih. Buat apa repot-repot menulis surat, membolak-balik isi otak mencari diksi paling cantik, jika sekali klik saja  sudah bisa berkomunikasi berjam-jam bersama kekasih dengan biaya murah.

Kenyataan tersebut tidak serta-merta mengindikasikan bahwa arsitektur jagad sibernetik tidak memberi ruang bagi mereka yang ingin belajar mengarang. Masih ada ruang, sangat luas, lebih lapang timbang ruang yang disediakan oleh surat dan diari.

Kawan saya, dalam note Facebook-nya, tampaknya hampir tiap hari menulis surat cinta tersirat kepada perempuan yang disukainya. Karena cintanya belum berbalas, sampai sekarang dia masih konsisten menulis surat cinta cyber itu. Dia punya mimpi ingin jadi pengarang, novelis. Dia memanfaatkan note Facebook untuk belajar menulis indah, sekaligus untuk menyatakan rasa cinta. Ditinjau dari berbagai aspek, mutu tulisannya berkembang dari hari ke hari. Berkat Facebook, dia mendapat kesempatan memperluas jejaring pertemanan, terutama dengan para penulis lokal maupun nasional. Proses kreatifnya semakin cepat dan kepenak.

Kerugian hidup di zaman sibernetik memang banyak, tapi keuntungannya lebih banyak. Semua tergantung kepada sikap kita masing-masing: Menolak sibernetika, ikut arus, atau memanfaatkannya. Marcuse, budayawan muram dari Frankfurt itu, harus merevisi teorinya. Sebab, masih ada celah lebar, banyak pelita harapan yang belum padam, meski sudah redup.

Jambi, 5 oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam