04/10/11

setia


Umurnya 60 lebih. Dia masih awas, tangkas, lincah, cukup enerjetik, apa lagi sekadar untuk memangkas rambut para pelanggannya. Profesi sebagai tukang cukur keliling, dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, telah dijalaninya semenjak sekitar 40 tahun lalu. Dia bercita-cita ingin mati ketika sedang mencukur rambut.

Wanita itu sudah sepuh. Rambutnya sudah putih. Sementara, jari-jarinya gesit menganyam daun pandan kering untuk dibuat tikar. Sedari lulus SMP, ketika itu dia berumur 15, wanita itu sudah mulai membuat tikar pandan, menyokong ekonomi orang tua. Jadi, sudah selama tidak kurang dari 50 tahun dia menggeluti profesi sebagai pengrajin tikar. Dia sudah menganggap daun pandan sebagai ayah, ibu, sekaligus suami. Daun pandan lebih setia menemaninya hidup daripada suaminya yang sepuluh tahun lalu meninggal. Tikar-tikar yang dia anyam sudah seperti anaknya sendiri.

Seperti biasa, setiap hari, dari jam 7 pagi sampai jam 8 malam, dia duduk di lapaknya, dekat perempatan paling ramai di kota kami. Di sana lelaki itu sejak jaman Soekarno telah bekerja sebagai tukang sol sepatu dan sandal. Dia tak pernah ganti, apa lagi gonta-ganti, profesi. Kira-kira setengah abad lamanya dia bergaul dengan jarum, benang, sandal, sepatu, dan sedikit uang, dan dompet yang selalu tipis. Dia pernah mengeluh memang, berkali-kali, dan protes kepada tuhan, berkali-kali. Tuhan sepertinya menjawab, dengan jawaban yang getir: lelaki itu dikutuk untuk tidak bisa bekerja kecuali sebagai tukang sol. Belakangan, lelaki itu menerima kutuk tuhan itu sebagai karunia, rahmat yang indah dan putih, seperti  salju yang turun perlahan-lahan di bulan desember.

Tiga orang tersebut hanya contoh. Di sekitar kita, orang seperti mereka tak terhitung jumlahnya. Setia sekali mereka menggeluti profesi yang suram, kusut, tak menjanjikan, dan tak mengundang banyak uang. Dan mereka tentu mafhum dengan kondisi ekonomi mereka yang sulit itu. Tapi janggalnya, kenapa mereka kerasan dengan profesinya yang menurut sementara orang tak berarti dan tak bermakna itu? Energi apa yang menyebabkan mereka mampu bertahan hingga selama itu?

Dari profesinya yang murahan, mereka tak mendapat keuntungan apa pun, kecuali beberapa lembar rupiah untuk membeli nasi, lauk pauk, dan untuk mencukupi kebutuhan primer lainnya. Itu jika nasib lagi mujur. Jika sedang sial, mereka akan puasa atau menghutang kepada tetangga, pemilik warung, rentenir. Profesi tak membuat hidup mereka menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Profesi juga tak memberi mereka popularitas dan sanjungan khalayak. Sebaliknya, karena profesi mereka, masyarakat justru mencibir, melecehkan, dan meminggirkan mereka. Lantaran profesi, mereka terlihat tak berharga dan tak pantas dihargai, kita pun jadi tak merasa wajib menghargai menghormati mereka.

Apa yang membuat mereka bertahan? Siapa yang menjadikan mereka bertahan, setia bersahabat bersama kemelaratan? Mengapa mereka bisa sedemikian setia, tegar, sabar? Apa sih rahasianya?

Jambi, senin, 3 oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam