04/10/11

pengelana


Lazimnya, sebelum melakukan perjalanan panjangnya yang biasanya baru akan selesai ketika mati memanggil, seorang pengelana menyiapkan bekal ini-itu terlebih dahulu. Dia akan mengumpulkan bekal jasmani berupa pangan, sandang, dan lain sebagainya.

Akan juga dia mematangkan rohaninya sebagai bekal lahir. Di jalan, jalan yang bercecabang tak tentu arah-tuju, berlika-liku tak habis-habis, bahkan serupa benar dengan labirin, kakinya mungkin akan tersandung batang yang melintang di tengah jalan, terantuk batu yang cadas, atau tanpa suatu sebab apa pun tiba-tiba saja dia terjungkal, luka-luka, dan patah semangat untuk kembali melanjutkan perjalanan. Bisa jadi dia diserempet sepeda motor, ditabrak taksi, atau terlindas truk kontainer. Masa depan itu seperti kekasihmu yang pandai menghadiahi seribu kejutan dan cerdik menyimpan seribu satu rahasia. Segala mungkin. Dan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga dan sering kali menjebak, pengelana tadi butuh bekal rohani yang kaya.

Meskipun telah menyiapkan bekal jasmani dan bekal rohani yang mumpuni, tidak ada jaminan dia akan selamat dalam perjalanan, berhasil dalam pengelanaan, menemukan apa yang selama ini dicarinya, mengerti apa yang selama ini dia cari, dan mengetahui siapa yang sejauh ini mendorongnya untuk terus mencari dengan rasa haus yang luar biasa, haus yang seakan tak mau padam. Pengelana, sematang apa pun dia, selengkap apa pun bekalnya, tetap saja dihinggapi ketakutan dan kesedihan.

Ada yang kemudian kalah dengan ketakutan dan kesedihannya, dan menghentikan perjalanannya di status aman dan mapan tertentu. Menurutnya, hidupnya telah sempurna dan cukup, padahal, jujur saja, hausnya belum sirna. Tak seperti persangkaannya, dia rupanya tidak memperoleh keberanian dan kebahagiaan di status aman itu, justru dia merasa ketakutannya semakin membengkak dan kesedihannya terus beranak-pinak. Demi mengamankan diri dari ketakutan dan kesedihan, dia mengembangkan mekanisme defensif dan mekanisme ofensif, dengan mempercanggih keahlian sandiwara, metafora, dusta. Dia belajar ilmu tipu-tipu, ilmu akting, ilmu penyamaran. Akhirnya, dari perjalannya yang menjenuhkan, meletihkan, dan sebetulnya menyiksa itu, dia tidak memperoleh apa-apa, kecuali sedikit kenikmatan orgastik yang fana ketika berhasil menjerat mangsanya menombak musuhnya. Upacara ini dia lakoni berulang-ulang, seperti sembahyang, kadang malah seperti tidur,  sarapan, berak.

Hanya sedikit, sedikit sekali dari sekian banyak pengelana, yang tidak tergoda menghentikan perjalanan, dan menemukan apa yang dicarinya, mungkin setahun sebelum ajal, mungkin tepat beberapa kerjapan mata sebelum ajal, mungkin setelah ruhnya lepas dari tubuhnya. Dia memperoleh kedamaian yang tak terbahasakan dan tak ter-uangkan. Rasa damai yang lebih puisi ketimbang senja oranye yang menerpa sepanjang pantai. Rasa damai yang menaklukkan segala takut dan menghapus segala sedih. Dia telah bersemayam dalam rumah asalinya. Tidak semua pengelana diberi karunia ini. Tidak semua, karena alam harus seimbang dan bumi mesti terus berputar. Tanpa kontradiksi, tanpa oposisi, sebuah sistem politik akan tidak sanggup mengemban mandat konstitusi untuk memanifestasikan keadilan dan kesejahteraan.

Bekal jasmani dan rohani yang komplet tidak menjadi jaminan bagi pengelana apakah dia akan selamat dan sampai tujuan atau tidak. Dalam beberapa kasus, kekompletan bekal bisa pula menjadikan pengelana jumawa, adigang-adigung-adiguna, membutakan matanya, membuatnya salah jalan, tersesat.

Bagaimana nasib pengelana yang sebelum mengadakan perjalanan sama sekali tidak diberi kesempatan menyiapkan bekal seperak pun? Dia tiba-tiba mendapati dirinya berdiri telanjang bulat di tengah perempatan jalan. Tidak ada pelang penunjuk jalan. Tidak ada peta kota. Tidak ada polisi lalu lintas. Tidak ada penduduk lewat. Tidak ada tempat bertanya selain sepi yang dingin dan bisu yang membatu. Dia tidak tahu sedang berada di mana, dari mana asalnya, akan ke mana tujuannya. Persis Adam yang diturunkan dari surga, namun tanpa didampingi Hawa, tapi memanggul sekarung dosa dan menggendong sekeranjang akal yang melahirkan takut dan sedih. Bisa Anda meramalkan bagaimana  nasibnya selanjutnya?

Jambi, 4 oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam