08/10/11

versus


KONTRADIKSI antara tradisi dengan modernitas adalah tema yang selalu aktual, universal, tak habis-habis dipermasalahkan, dan selalu menjadi masalah pelik, tak jarang mengobarkan perang, memakan nyawa manusia dalam jumlah yang sulit ditaksir. Dalam tulisan ini, tradisi merujuk pada elemen stagnan yang mati suri, sedangkan modernitas merujuk pada elemen dinamis yang hendak menghadirkan perbaruan dan perubahan. Tradisi tidak diartikan sebagai komunitarianisme. Modernitas tidak dimaknai secara sempit sebagai etika aufklaerung. Di manapun kita dapat menjumpai konflik antara kelompok adat yang kukuh memagang warisan leluhur dengan kelompok cendekiawan yang telah menyerap nilai-nilai modern.

Kita sempat mendengar perselisihan antara kaum abangan dengan kaum santri, Boedi Oetomo dengan Sarekat Islam, dan memuncak pada polemik kebudayaan antara Ki Hadjar Dewantara berhadap-hadapan dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Alisjahbana ingin membumikan ide-ide progresi dan rasional yang dipelajarinya dari barat. Ki Hadjar berpendapat, masyarakat harus hidup dalam dan dengan kearifan tradisi lokalnya. Pramoedya menuduh budaya Jawa telah lumpuh-ompong dan kehilangan subjektivitas, daya negasi, serta kekuatan oposisi dan resistensinya. Masyarakat harus meninggalkan dan menanggalkan budaya Jawa yang sudah padam nyala dan nyalangnya itu, dan memakai piranti filosofi revolusi yang lebih hidup, jujur, maju, tangguh, menantang, dan menentang.

Walaupun benturan antara dua kelompok ini demikian dahsyat, perkumpulan kebatinan, yang mendasarkan diri kepada tradisi asli Jawa, tidak kehilangan energi hidup. Wayang dan keris tidak saja semakin ramai diperbincangkan, tetapi juga telah terdaftar sebagai warisan budaya dunia. Masing-masing golongan menjalankan prinsipnya sendiri-sendiri. Masyarakat hidup dengan keharmonisan dan toleransi yang tinggi. Konflik ideologis memang bisa meletupkan perang bersenjata, namun dapat pula mendewasakan masyarakat.

Di Aceh pernah berlangsung perang antara golongan uleebalang dengan golongan muslim fundamentalis. Yang pertama mewakili konservatifisme adat. Yang kedua mewakili teologi Islam yang sebetulnya berwatak rasional dan ilmiah. Golongan uleebalang, yang memang telah korup dan tidak memperoleh kepercayaan rakyat lagi, gugur dalam perang tanding itu. Golongan Islam menang, mewarnai ragam seni dan politik Aceh.

Minangkabau juga mengalami peristiwa serupa. Pada pertengahan abad XIX, bergolak Perang Padri, sengketa berdarah antara kubu adat yang matriarkat dengan kubu Islam yang patriarkat. Tak jelas siapa pemenang dan siapa pecundang. Perang tersebut tampaknya sedikit demi sedikit berakhir berkat rekonsiliasi ideologis, penyintesisan adat dan agama, dan berkat hadirnya Belanda sebagai musuh bersama. Hingga zaman Buya Hamka gema Perang Padri masih terasa. Roman-roman karangan Hamka dan para sastrawan Minangkabau semasanya masih mengangkat tema traumatik ini, perang antara adat dan agama.  

Seiring perjalanan waktu, perilaku beragama masyarakat menjadi tradisional, nyaris seutuhnya menafikan rasionalitas dan realitas. Dengan kata lain, agama telah menjadi adat yang kaku dan beku. Para intelektual modern yang bersentuhan dengan pikiran-pikiran liberatif (bukan liberal) merombak dan memperbarui teologi Islam yang telah mandek itu. A.A. Navis, sastrawan Minangkabau didikan INS Kayu Tanam, sebuah sekolah alternatif modern, melalui cerpennya, Robohnya Surau Kami, mengolok-olok religiositas cetek yang sehari-hari diamalkan para ulama di daerahnya. Cerpen itu merupakan prolog bagi meledaknya konfrontasi antara sastrawan sebagai pendukung modernitas dengan teolog sebagai pendukung tradisionalitas.

Bali menghadapi problem yang sama. Di pulau Dewata itu, konflik antara tradisi dan modernitas muncul dalam bentuk kesenjangan jarak antara awig-awig (aturan adat) dengan hukum modern. Awig-awig misalnya menyebutkan, pasangan suami-istri berkasta jelata yang melahirkan bayi kembar buncing (kembar laki-laki dan perempuan) dikenai sanksi adat berupa pengucilan. Bayi kembar buncing tadi mesti ditaruh di kuburan sebagai santapan leak. Pasangan suami-istri tersebut dianggap sebagai pembawa sial, demikian pula keluarganya. Mereka harus menyelenggarakan upacara bersih desa. Kelahiran bayi kembar buncing adalah isyarat bahwa sebuah desa akan ditimpa bencana dan malapetaka.

Sementara itu, di lain pihak, hukum menjamin hak hidup setiap orang, siapa pun dia, tak peduli apakah dia dilahirkan normal atau dilahirkan sebagai bayi kembar buncing. Selain kasus bayi kembar buncing, tentu masih banyak pasal awig-awig yang isinya bertolak belakang secara prinsipil dengan  pasal undang-undang hukum modern.

Tidak hanya di Indonesia, konflik antara tradisi dan modernitas terjadi pula di negara-negara lain. Dulu kelompok modern memanangi laga. Sekarang sebaliknya, kelompok modern terpojok dan mati langkah. Kelompok tradisi, yang sudah cukup sadar-diri, berdiri di podium kemenangan. Ada juga upaya-upaya rekonsiliasi dan penyintesisan antara tradisi dengan modernitas, misalnya seperti apa yang telah mulai dirintis oleh Jurgen Habermas, Ali Shariati, Muhammad Iqbal, Abdurrahman Wahid, Jorge L. Borges, dan lain sebagainya.

Mengambil posisi moderat bukan hal gampang. Kita sering terpeleset membela salah satu kubu, entah tradisi entah modernitas, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Mengalami kontradiksi berkepanjangan ini, para aktivis akhirnya letih dan mengambil sikap tegas: kita harus memihak, tak bisa netral. Apa itu artinya kita wajib berjihad, mengokang senapan, melancarkan perang, membunuh sesama, demi mengejawantahkan cita-cita penyatuan masyarakat dan pelenyapan kontradiksi?

Sepertinya kita perlu menerima kenyataan. Kehidupan adalah tumbukan berlapis-lapis kontradiksi. Manusia niscaya pecah dan terbelah. Kontradiksi akan senantiasa ada sebagaimana perang akan senantiasa berkecamuk. Setiap hari ada darah dan daging yang harus dikorbankan. Inilah realitas. Kehidupan berjalan beriring bersama kematian. Dari sini seluruh cerita berawal. Sampai di sini semua cerita berakhir.

Tetapi pilihan sikap ini bukan merupakan legitimasi atas kezaliman dan kelaliman. Keadilan harus tegak. Tak dapat tak.

Jambi, 6 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam