19/10/11

film


Saya bukan pengamat film, hanya penonton yang sedang iseng “sok” mempelajari dunia perfilman secara main-main, lebih dalam lingkup humanioranya daripada keterampilan teknisnya. Bagi saya film tidak merupakan hiburan belaka. Film adalah media yang pas untuk menelisik dan menilai apa yang sedang merayap pada alam bawah sadar masyarakat dan rekayasa sosial macam apa yang sedang digulirkan oleh otoritas kekuasaan. Tetapi jujur saya akui, saya menyukai film tidak semata-mata karena pilihan-rasional, teknosfer zaman saya juga turut mengondisikan preferensi saya terhadap film.

Generasi saya bukan generasi yang gemar bertapa 40 hari 40 malam di pantai parang kusumo atau njelajah deso milang kori berbulan-bulan dengan berjalan kaki. Kami hidup dalam dan dengan kecepatan, tepatnya ketergesa-gesaan. Setiap peristiwa, yang pada hakikatnya memang bersifat sementara, semakin terasa sementara saja. Kebahagiaan semakin singkat. Juga kesedihan. Cuaca psikis kami tidak pernah betul-betul konstan dalam periode yang panjang, sebentar-sebentar cerah, sebentar-sebentar mendung. Banyak dari kami sering mengeluh, waktu berjalan begitu cepat, rasanya baru kemarin kita merayakan tahun baru, eh lha kok sekarang sudah tahun baru lagi.

Kami adalah generasi yang terlalu bernafsu menginjak pedal gas sebuah mobil yang sepertinya sengaja tak dipasangi rem. Kecepatan mengajarkan kepada kami untuk lebih menyukai menonton film sambil mengunyah pop corn daripada menghabis-habiskan waktu membaca buku sambil mengerutkan dahi. Menonton film lebih simpel, efisien, ringan, praktis, instan, bisa disambi, dan orgastik, apa lagi bila film tersebut me-recall pengalaman batin yang paling membekas, misalkan cinta pertama atau kematian orang tua.

Begitulah. Tidak sebagaimana bapak-kakek kami yang menemukan aksara dan bahasa sebagai intisari eksistensi mereka, kami kebetulan terdampar dalam jagad audio-visual, semesta virtual yang lebih merayakan kebanalan imaji ketimbang keadiluhungan aforisma. Daripada fakta, kami lebih memilih fiksi sebagai dunia yang cocok dihidupi. Adalah mata, dan bukan tinta, yang memainkan peran utama dalam pembentukan identitas kami.

Barangkali karena determinisme mata itu, dunia sastra dan seni, termasuk film, akhir-akhir ini mencurahkan energi kreatif untuk melakukan eksperimentasi dan eksploitasi visual besar-besaran. Jika boleh beristilah—namun saya jelas tak punya kapasitas untuk membikin-bikin istilah, saya ingin menyebut fenomena ini sebagai mainstreaming visualitas.

Beberapa seniman yang cukup sabar dan tulus meniti proses kreatif mengimbangi mainstreaming visualitas itu dengan penyelaman tema dan penyubliman cerita. Tetapi para sineas yang tunduk kepada aturan main pasar, meritualkan mainstreaming visualitas tanpa mau bergulat dengan riset yang panjang, melelahkan, menguras tandas isi dompet. Hasilnya, film-film yang kini beredar hanya sedap dipandang, kurang nikmat direnungkan dan dihayati, tidak potensial menggoncang dan mereformasi tata nilai salah yang telah dianggap benar selama ini. Rata-rata film produksi domestik malah lebih buruk: sudah tidak sedap dipandang, tidak nikmat pula direnungkan.

Menurut Anda?

Yogyakarta, 19 oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam