04/12/11

Belajar


Belajar akan didefenisikan secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tidak salah bila tiap orang menata defenisi belajar masing-masing, asal dia berani mempertanggungjawabkan resiko teknis yang diakibatkan dari defenisinya tersebut.
Ada yang mendefenisikan belajar sebagai rutinitas ke sekolah, masuk ruang kelas, duduk anteng mendengar ceramah guru, mengerjakan tugas, merampungkan pekerjaan rumah, mengikuti ujian, mendapat rapor dan ranking, naik kelas, lulus sekolah. Bahwa dia memahami materi yang diajarkan oleh guru atau tidak, tak jadi soal. Tak dipermasalahkan pula apakah materi itu teraplikasikan dalam kehidupan praktis sehari-hari atau tidak.
Belajar, bagi dia, identik dengan sekolah, kelas, dan guru. Rumah, pasar, masjid, bandara, jalanan, jembatan, terminal, dan seterusnya bukanlah tempat belajar. Apalagi warnet, warung kopi, toilet, lokalisasi, penjara, dan kamp konsentrasi.
Bagi beberapa orang tertentu, defenisi belajar seperti itu sangat problematis. Pengetahuan yang diajarkan di sekolah terbatas. Pengajaran di sekolah juga belum tentu akan menolong murid menghadapi kehidupan yang kompleks dan tak terprediksi. Mereka kemudian mengajukan defenisi belajar yang sifatnya etis.
Belajar adalah merubah diri menjadi lebih baik. Bila sejak masuk sekolah hingga lulus perilaku murid tidak berubah menjadi lebih baik, justru semakin kurang ajar, artinya murid tersebut tidak pernah belajar, walaupun dia selalu meraih ranking pertama. Murid dianggap belajar ketika dia mengalami peningkatan kualitas karakter. Dia jadi lebih disiplin, jinak, dan penurut. Sebelum masuk sekolah dia pendiam, minder, penakut, dan cengeng. Setelah masuk sekolah publik menyanjungnya sebagai pribadi yang berani dan tangguh.
Menurut defenisi ini, ruang belajar tidak bisa dibatasi oleh tembok kelas. Waktu belajar 24 jam, dari masa buaian hingga liang lahat. Belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Intinya, belajar adalah tindakan sadar untuk memperbaiki diri, bukan merusak diri. Belajar merupakan gerakan linear yang progresif dan evolutif. Progresif dan evolutif di sini juga termakan hukum relativitas. Anda bisa mengembangkan uraian ini lebih luas lagi.
Saya kurang puas dengan defenisi belajar yang kedua. Saya ingin mengemukakan defenisi belajar yang lebih bersifat epistemologis. Defenisi belajar yang kedua tidak mampu menjelaskan mengapa orang yang telah belajar sekian lama sehingga dia mendapat gelar guru besar malah secara terang-terangan melakukan korupsi; mengapa seorang kyai yang telah belajar kitab kuning belasan bahkan puluhan tahun masih suka mengafirkan orang lain; mengapa jalan pikiran seorang santo yang sudah mempelajari bibel berulang kali masih sedemikian cetek dan pendek. Tak logis menilai mereka tak belajar. Mereka belajar, tapi mengapa mereka bertindak aniaya?
Karena mendukung defenisi belajar pertama maupun kedua, kita menjadi apatis terhadap guru dan pesimistis terhadap sekolah. Pandangan kita menjadi gelap, seolah-olah masa depan akan sangat suram dan muram. Tipis kemungkinan bagi kita untuk hidup bahagia kelak.
Tak ada gunanya belajar. Tak perlu sekolah. Guru bukan lagi profesi yang agung dan mulia. Buat apa capek-capek belajar bila hanya untuk menjadi perampok berdasi. Lebih baik belajar di rumah secara otodidak atau mengikuti training kerja yang diselenggarakan oleh perusahan-perusahaan gede. Lebih baik jadi buruh sadap karet atau dodos sawit. Upahnya lumayan besar, lebih dari cukup untuk biaya hidup satu keluarga beranak dua. Hidup makmur, nyaman, selamat dunia akhirat.
Sementara ini, belajar, bagi saya, adalah proses membangun, membongkar, dan mengubah prasangka, baik prasangka baik maupun prasangka buruk. Hitler belajar, maka dia sedang membangun prasangka buruk terhadap golongan Yahudi dan membangun prasangka baik terhadap ras arya. Sjahrir belajar, maka dia tengah membongkar prasangka lama bahwa kemerdekaan dan kemajuan hanya milik Belanda, dan membangun prasangka baru bahwa kemerdekaan adalah hak bagi semua manusia apa pun warna kulitnya. Seorang santri belajar demokrasi, maka dia sedang mengubah prasangkanya terhadap Islam: Islam tidak hanya mengurusi perkara pahala dan dosa, tetapi Islam adalah agama yang humanis dan rahmatan lil alamin. Seorang politisi belajar, maka dia sedang membongkar prasangka lama bahwa kejujuran dan keadilan tidak boleh dilupakan, dan membangun prasangka baru bahwa untuk memperoleh jabatan, maka kejujuran, keadilan, dan nilai-nilai baik lainnya harus dikorbankan dan dilalaikan.
Belajar adalah tindakan yang disadari atau tidak disadari untuk menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk. Jadi, masuk akal menyandingkan subjek “belajar” dengan prediket “maling” ataupun “ikhlas”, “membenci” ataupun “mencintai”, “berkhianat” ataupun “setia”. Belajar menjadi istilah yang netral. Manusia baik dan manusia jahat sama-sama pernah dan masih akan belajar. Karena belajar, manusia baik mungkin suatu saat nanti akan menjadi jahat, dan sebaliknya, manusia jahat boleh jadi akan menjadi baik. Defenisi belajar ketiga ini lebih realistis, natural, dan sesuai dengan kodrat manusia.
Kendati menurut para pakar dan kaum bijak bestari negara kita saat ini sedang dikuasai oleh manusia jahat, kita tak harus pesimistis. Sangat mungkin, entah kapan masanya, mereka akan bertobat dan menjadi pemimpin yang patut diteladani. Toh, mereka tidak berhenti belajar. Prasangka mereka akan berubah. Memang sekarang mereka kurang, atau tidak, memperhatikan masyarakat. Tetapi, kita tak tahu apa yang bakal terjadi besok. Mendung mungkin akan tersapu angin. Pagi barangkali akan terbit.
Yogyakarta, 1 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam