16/12/11

pendidikan 9


Pendidikan Hanya Menghasilkan Air Mata

Oleh: Sindhunata

Seorang bapak tua, duda, anaknya tiga, dan pensiunan tukang kebun, datang ke kantor Basis. Ia menyodorkan selembar foto copy perincian biaya pendidikan anaknya di sebuah sekolah tinggi. Ia bilang, ia sudah minta keringanan dan memang diberi.  Toh total biaya yang harus dibayarnya masih Rp. 695.000,00. “Dari mana saya bisa memperoleh uang sebesar ini?” katanya. Ia bilang, uang pensiunnya sebagai tukang kebun per bulan tidak sampai Rp.150.000,00. Bapak tua itu lemas. Tak tahu, apa yang harus diperbuatnya, kecuali mengharapkan kebaikan dan pertolongan sesamanya.

Seorang bapak lain juga bercerita. Ia seorang kasir. Gajinya hanya pas untuk hidup sehari-hari keluarganya, plus menabung sedikit-sedikit. Pada tahun ajaran baru ini, kedua anaknya sama-sama harus melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Yang satu ke universitas, lainnya masuk SMU. Untuk ke universitas, anaknya terkena biaya masuk Rp. 7.000.000,00, sedang untuk SMU Rp. 3.000.000,00. Jadi bapak itu harus membayar 10 juta rupiah. Bagi bapak itu, biaya tersebut kelewat mahal. Terpaksa semua tabungannya dikeruk, perhiasan istrinya dijual.

Seeprti ulah penduduk Gunung Kidul di musim kering, demikianlah ulah banyak orang tua di musim tahun ajaran baru. Di musim kering di Gunung Kidul, orang beramai-ramai menggadaikan miliknya untuk membeli air. Di musim tahun ajaran baru, orang berbondong-bondong ke kantor pegadaian untuk menutupi biaya pendidikan anak-anaknya.

Kompas, 13 Juli 2000 melaporkan, orang-orang datang ke beberapa kantor pegadaian di Jakarta, seperti di Jalan Muardi IV Grogol, Jalan KS Tubun Tanah Abang, Jalan Raya Ragunan Pasarminggu, dan Jalan Senen Raya Jakarta Pusat. Umumnya pengunjung adalah kaum ibu rumah tangga. Mereka menggadaikan apa saja, perhiasan gelang, cincin dan kalung, bahkan karpet dan alat rumah tangganya. Semuanya ini ditempuh, agar anak-anak mereka dapat meneruskan pendidikannya. Seorang ibu warga Petamburan mengaku, karpetnya dihargai Rp. 60.000,00. Sedikit memang, tapi daripada tidak ada?

Pendidikan memang memakan biaya. Tapi haruskah biaya itu dibebankan pada warga negara yang jelas-jelas tidak mampu menanggungnya? Pendidikan adalah harta mulia yang terpendam dalam masyarakat. Tujuan akhir pendidikan adalah pembebasan dan emansipasi masyarakat dari kebodohan, kemiskinan dan penderitaan mereka.

Semua warga negara berhak atas pembebasan dan emansipasi itu. Karena itu diandaikan, tersediaan dan terjamin kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Itulah sebabnya misalnya di Perancis, konsep citoyens tak bisa dilepaskan dari kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Maksudnya, kesempatan untuk memperoleh pendidikan harus diberikan pada setiap orang. Dan karena pendidikan, setiap orang dapat menjadi citoyens. Maka pendidikan harus mampu mengangkat anak kelas pekerja setara dengan anak kelas menengah, anak mereka yang menganggur setara dengan anak mereka yang aktif bekerja. Pendidikan harus mampu mengangkat setiap warga menjadi warga negara yang mempunyai hak dan kesempatan yang sama.

Pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari konsep citoyens itu. Pendidikan kita belum mampu membebaskan dan mengangkat anak-anak didik untuk kelak benar-benar menjadi warga negara. Karena tak tersedia kesempatan yang sama, banyak anak putus sekolah. Akibatnya, banyak anak buruh yang tetap menjadi buruh, dan anak penganggur menjadi penganggur, kendati mereka sempat menikmati pendidikan.

Tujuan akhir pendidikan adalah pembebasan masyarakat secara paripurna. Kita hampir tak berani berharap, bahwa kita bisa mencapai ideal luhur ini. Dalam tahun-tahun mendatang, kita tampaknya akan tetap dibelit oleh persoalan yang selama ini sudah melilit kita habis. Orang tua berani mengeluarkan biaya berapa pun, asal anaknya dapat bersekolah dan terdidik. Tapi biaya pendidikan itu melampaui kemampuan mereka. Berutanglah mereka, atau pergilah mereka ke pegadaian, atau jika tak punya apa-apa, mereka menyerah tak berdaya, dan menerima nasib anaknya bakal sejelek mereka.

Dilihat secara menyeluruh, pendidikan kita ternyata tak berhasil mengemansipasikan masyarakat. Pendidikan yang seharusnya membebaskan, malah menindas sebagaian warga yang tak mampu. Pendidikan yang seharusnya membahagiakan, malah menderitakan dan makin memojokkan orang tua miskin ke dalam kemiskinan dan penderitaan yang lebih dalam. Bagi kebanyakan warga, tahun ajaran baru adalah tahun di mana mereka bingung, meratap, menjerit dan menangis, menggadaikan dan menjual apa saja demi pendidikan. Pendidikan memang harta dan nilai yang mulia. Tapi di Indonesia harta itu ternyata memeras, dan nilai itu ternyata menderitakan. Itulah tragika pendidikan kita.

Kendati tragis, tak pernah orang tua menyerah untuk tidak mendidik anak-anaknya. Tekad ini tampak dalam tragedi tenggelamnya Kapal Motor Cahaya Bahari, 29 Juni 2000 yang berpenumpang 492 orang. Tercatat 60 persen dari keseluruhan penumpang adalah pelajar SD, SLTP, SLTA dan mahasiswa. Mereka berasal dari kawasan bergolak Maluku Utara. Mereka ke Manado untuk pindah sekolah. Sebagian diantar orang tua mereka, yang akhirnya ikut mati tenggelam bersama mereka di perairan Pulau Siau Tagulandang, Sangihe Talaud, Sulawesi Utara.

Tenggelamnya Kapal Motor Cahaya Bahari adalah simbolik peristiwa, betapa tragis dan penuh tangis dunia pendidikan di Indonesia ini. Toh para politikus kita cuek saja. Mereka terus membadut dengan obrolannya yang kosong belaka. Sialan!

NB: Tulisan ini dimuat dalam Basis, no. 07-08, tahun ke-49, Juli-Agustus 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam