21/12/11

pendidikan 13 / jambi 2


Keterbukaan Budaya

Oleh: Mochtar Lubis

Dalam nomor ini kami muat sebuah esei berjudul Glasnost Intelektual di Indonesia oleh Prof. Dr. P. Sidharta, yang amat terkenal di Jakarta dan di dunia perguruan tinggi di negeri kita dengan berbagai buku ilmu kedokteran yang ditulisnya.

Apa yang digambarkannya berupa gejala ketertutupan ilmiah di dunia perguruan tinggi kita, dengan memberikan contoh-contoh di bidang kedokteran, patut mengejutkan kita semua. Jika penyakit yang sama juga berjangkit di kalangan disiplin ilmu-ilmu yang lain, bagaimana bangsa Indonesia akan mampu mengembangkan ilmu seluas-luasnya di negeri kita ini? Seandainya setiap ilmuwan merasa harus menyimpan tiga jurus untuk dirinya sendiri, dan mengajarkan hanya tujuh jurus dari ilmu yang mengandung 10 jurus, maka ilmu bukannya jadi bertambah maju, akan tetapi malahan mundur. Karena mahasiswanya kemudian akan menyimpan pula sedikitnya satu atau dua jurus untuk dirinya sendiri, agar tidak terkalahkan oleh mahasiswanya nanti.

Ketertutupan intelektual seperti ini adalah juga akibat dari ketertutupan budaya. Sudah terlalu lama, sedikitnya dua kali 20 tahun lebih orde lama dan orde baru, manusia Indonesia telah tidak diberi iklim kebebasan untuk bersikap dan menyatakan kritiknya terhadap yang terjadi dalam masyarakatnya, dan manusia yang tidak kritis adalah manusia yang juga tidak mungkin kreatif. Karena itu timbul manusia-manusia Indonesia seperti yang disebut Prof. Sidharta itu. Malahan ada yang menyembunyikan buku-buku ilmiah yang sedang dipelajarinya agar tidak diketahui oleh kolega-koleganya sendiri, agar dirinya sendiri tetap lebih unggul ilmunya dari orang lain. Dia sendiri tidak kreatif, dan juga hanya menimba ilmu dari ilmuwan lain, yang lebih kreatif dari dia.

Alangkah bedanya sikap orang seperti ini, dengan umpamanya pengalaman saya dengan kawan-kawan saya di luar negeri. Tiap kali saya berkunjung ke rumah mereka, atau ke universitas tempat mereka mengajar, mereka selalu bertanya apakah saya telah membaca buku-buku baru yang mereka tahu mengenai bidang-bidang minat saya, seperti lingkungan hidup, bioteknologi, komunikasi dan informasi, falsafah, dan lain-lain.

Teman-teman saya di luar negeri itu gembira untuk membagi informasi dengan saya dan dengan teman-teman mereka yang lain. Telah menjadi keharusan dan kebiasaan pada mereka untuk menulis tentang penemuan-penemuan mereka, agar dapat diketahui orang banyak dan teman-teman sejawat mereka.

Kebudayaan kita yang tertutuplah, yang membuat orang merahasiakan apa yang diketahuinya, yang membuat orang merahasiakan apa yang diketahuinya yang berarti penting bagi perkembangan dan kemajuan bangsanya sendiri, agar dia tetap unggul sendiri.

Di kebudayaan yang terbuka ilmu dapat ditimba dari buku-buku yang dapat dibeli oleh setiap orang. Seseorang hanya dapat menduduki tempat yang unggul, jika dia dapat berpikir dan bekerja lebih kreatif, lebih keras dan lebih rajin, dan penuh integritas dari orang lain.

Malahan saya pernah menghadiri sebuah diskusi antara seorang ilmuwan lain, mengenai sebuah teori yang sedang dikembangkannya, dan mereka bertukar-pikiran dengan asyik sekali.

Mungkin masalah ini juga patut didiskusikan nanti dalam satu kongres kebudayaan nasional, jika tidak dilakukan oleh Menteri P & K Fuad Hassan, semoga oleh menteri P & K lain yang satu waktu akan menggantikannya nanti.

***

Diperlukan: Glasnost Intelektual di Indonesia

Oleh: P. Sidharta

Pendahuluan

Karena tirai besi komunis, manusia di Uni Soviet merasakan kesumpekan, kegerahan, dan kegelapan. Untuk mengadakan perbaikan agar ruang napas menjadi lebih lega, kesejukan dapat menyegarkan badan dan cahaya dapat mengusir keremang-remangan, Gorbachev telah menciptakan glasnost, yakni kondisi keterbukaan.

Demi keamanan, setiap negara, baik yang komunis, fasis maupun demokratik, memiliki satu sektor tanpa keterbukaan, yaitu sektor dinas rahasia atau dinas intelijen. Para ilmuwan yang bekerja di sektor yang dikategorikan dalam sejenis dinas rahasia, seperti ilmuwan yang bekerja di institut teknologi tinggi yang membuat alat-alat canggih untuk peperangan dan ekspansi di luar angkasa, mereka harus merahasiakan tugas dan hasil pekerjaannya. Menurut Shakarov sebenarnya mereka bukan ilmuwan. Mengapa?

Pokok keterbukaan intelektual

Shakarov, seorang ilmuwan teknologi tinggi di departemen pertahanan negara di Uni Soviet minta diberhentikan dari jabatannya, oleh karena ia kehilangan kebebasan intelektualnya. Menurut Shakarov, seorang ilmuwan tidak tahan menyimpan penemuannya dalam diri sendiri, melainkan senantiasa berhasrat untuk mengkomunikasikannya di dunia ilmiah. Maka pada hakikatnya ciri utama dari ilmuwan adalah hasratnya untuk berkomunikasi dan itulah dasar keterbukaan intelektual.

Krisis keterbukaan intelektual sepanjang masa

Dalam sejarah terdapat banyak contoh tentang usaha-usaha yang hendak meniadakan keterbukaan intelektual. Pada tahun 213 sebelum masehi, kaisar Cina Shih Huang-ti membakar buku-buku Konfusius dan karya tulis cendekiawan dengan maksud menghilangkan pengaruh pihak lawan kelas yang berkuasa. Emperium Romawi tidak dapat menandingi emperium Byzantium dalam banyak hal kecuali dalam peperangan. Karena iri hati itu maka kebudayaan Byzantium (= Helenisme) tidak dapat dikembangkan secara terbuka di Roma dan Eropa. Gereja Katolik pun anti kebudayaan helenistik yang memuja kepada dewa-dewa sehingga melarang kaum terpelajar Eropa yang beragama Katolik untuk mempelajari ilmu kedokteran helenistik.

Berbeda dengan sikap Gereja Katolik dan emperium Roma adalah sikap dunia Islam. Di ketiga kalifahnya, Bagdad, al-Iskandaria dan Kordoba, ilmu kedokteran helenistik dipelajari dengan bebas sehingga pada waktu Karel Agung membutuhkan seorang dokter untuk mengajar ilmu kedokteran di Perancis, ia mengajukan permohonan kepada Kalif Harun al-Rasyid.

Berkat keterbukaan dunia sekemakmuran Islam ilmu kedokteran helenistik (Yunani) dapat diawetkan dalam bahasa Arab. Dan karya tulis dalam bahasa Arab itulah merupakan sumber pengetahuan bagi Eropa yang menterjemahkannya dalam bahasa Latin.

Glasnost intelektual sekarang ini di Indonesia

Tuan Pronk beberapa kali datang ke Indonesia untuk melihat keadaan sosioekonomik Indonesia di sana-sini. Pada perlawatan inspeksinya kali ini, Prof. Dr. Mohammad Sadli dapat mengomentari bahwa kehadirannya (Pronk) membawa angin sejuk, karena merupakan contoh keluguan, informalitas, kesungguhan dalam keyakinan dan keterbukaan serta transparansi dalam dialognya dengan berbagai kalangan di Indonesia. Sebagai penutup tulisan Sadli di Tempo 21 April 1990, dapat kita baca: “Bagi masyarakat Indonesia, yang dewasa ini ramai mendiskusikan masalah pemerataan, masalah demokrasi ekonomi, masalah kesenjangan sosial, maka kontribusi Jan Pronk kepada dialog nasional ini harus dihargai. Tapi pemerintah RI menyadari bahwa glasnost (keterbukaan) akan membawa manfaat bagi kita semua”.

Tampaknya keterbukaan sudah masuk bidang sosioekonomik dan politik. Bagaimana dengan keterbukaan intelektual. Kini di kalangan Institut Agama Islam Negerti (IAIN) terdapat kesempatan untuk belajar bersikap terbuka melalui studi di Jurusan Bahasa dan Kebudayaan di Universitas Negeri di Leiden. Soalnya “Selama ini sarjana kita (IAIN) lebih banyak mempelajari taufik dan fikih” demikian penjelasan Bapak Zarkowi Soejoeti, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. Lalu penjelasan berlanjut, “Karena itu ada baiknya bila kepada mereka juga diperkenalkan pemikiran-pemikiran mengenai Islam yang ada di kalangan orientalis Barat.”

Bagaimana di universitas yang wajib merupakan benteng kebebasan berikut keterbukaan intelektual?

Kesan yang diperoleh berdasarkan kenyataan adalah sebagai berikut. Para dosen, dari profesor sampai asisten ahli, yang mengetahui misi tugasnya, yakni memeratakan pemilikan ilmu, semuanya bertindak sesuai dengan jiwa keterbukaan intelektual. Dosen yang tidak memperlihatkan keterbukaan intelektual tergolong pada kelompok yang dicoraki oleh aspirasi menjadi adikuasa intelektual.

Bukan suatu dongeng apalagi kabar burung bahwa di perguruan tinggi pemerintah ada seorang guru besar yang menginstruksikan kepada para asistennya: “Jangan memberikan pelajaran terlalu banyak, karena nantinya kita mendapat terlalu banyak saingan “ (dalam praktek kedokteran sehari-harinya).

Lain profesor yang beraspirasi menjadi adikuasa dalam ilmu kedokteran, tidak senang kalau para asistennya mengetahui buku-buku teks terbaru yang sang profesor sedang baca. Aspirasi untuk tetap menjadi adikuasa dalam bidang kedokteran terbukti juga dalam kebiasaannya untuk “memberikan 5 sampai 7 pukulan saja” kepada anak didiknya, seperti suhu silat zaman dulu, yang mempertahankan 3 pukulan bagi bela diri kalau-kalau muridnya makar terhadapnya.

Belum lama ini ada seorang dosen yang mengeluh tentang pengangkatan guru besar. Senat guru besar dianggapnya tidak bertindak bijaksana, apabila seorang guru besar diangkat dan staf bagian yang bersangkutan melontarkan pertanyaan ke ruang bebas: “Karena apa dia yang diangkat menjadi guru besar?” Jika ada keterbukaan intelektual, tidak mungkin seorang yang dikenal kurang bobot akademiknya secara obyektif diangkat menjadi guru besar.

Tindakan anti keterbukaan intelektual yang juga jelas adalah larangan belajar dari buku teks karangan seorang dosen. Profesor yang melarang itu sendirinya tidak mampu menyusun buku teks, namun ia melarang para mahasiswa mempelajari buku teks yang ada (dalam bahasa Indonesia).

Lebih-lebih di rumah sakit, praktek kedokteran sehari-hari dilakukan tanpa keterbukaan intelektual. Seorang penderita dirawat oleh seorang dokter. Dari hari ke hari keadaan pasien mundur dan keluarga pasien mengusulkan untuk mengkonsulkan pasien kepada dokter lain. Dalam hal itu terjadi banyak hal-hal yang menegangkan, yang semuanya merupakan perwujudan dari sikap yang anti keterbukaan intelektual. Salah satu contoh yang diceritakan oleh suami seorang pasien adalah sebagai berikut. “Saya mempunyai dokter langganan yang sudah seperti kawan akrab sekali. Tetapi waktu istri saya sakit dan dirawat oleh dia, saya mengusulkan untuk konsult dokter lain. Di luar dugaan dan pengertian saya ia marah besar, sampai menuding-nuding kepada saya sambil menyampaikan kemarahannya. Ia menghendaki putus hubungan sama sekali.” Minta untuk diperiksa oleh dokter lain kalau keadaan pasien mundur atau kalau diagnosis atau usul tindakan operasi dari dokter yang sedang merawatnya kurang sreg dengan perasaan atau pendapat keluarga. Minta “second opinion” atau “minta pendapat dari dokter lain” adalah hak azasi setiap pasien. Tetapi banyak dokter merasa dihina atau tidak dipercaya kalau pasiennya menghendaki pendapat dokter yang dimintai konsultasi berimplikasi bahwa ia lebih unggul dalam profesinya, maka setiap permintaan konsultasi dirasakan oleh dokter yang sedang merawat pasien sebagai penghinaan, bahwasannya dokter lain dianggap lebih pintar dari dia. Sebenarnya dokter yang sedang merawat pasien (“attending doctor”) harus memperlihatkan keterbukaannya demi kebaikan pasiennya. Semua konsult yang diusulkan pasien harus disetujui. Dalam suasana keterbukaan “attending doctor” dan dokter konsulen mencari cara penanggulangan yang paling baik bagi pasien.  Dalam segala kemungkinan “attending doctor” senantiasa mendapat keuntungan dari konsultasi. Jika terbukti bahwa diagnosis dan tata pelaksanaan mediknya tepat ia mendapat dukungan kuat dari konsulen. Bilamana diagnosis dan terapinya kurang tepat, ia memperoleh pelajaran dan pengalaman tambah.

Menuju keterbukaan intelektual

Orang-orang yang menghalang pemerataan intelektual, orang-orang pencipta kesenjangan intelektual, dan orang-orang dengan aspirasi monopoli intelektual merupakan kekuatan anti keterbukaan intelektual, yang menghalang kemajuan di segala bidang kehidupan bangsa Indonesia.

Banyak kongres ilmiah telah diselenggarakan di Jakarta, Denpasar, dan seterusnya, tetapi belum pernah diadakan dialog nasional tentang sikap intelektual yang nasional, yang sehat dan tepat.

Nepotisme dalam perguruan tinggi dan eselon tinggi segenap departemen RI sukar tumbuh bahkan tidak dapat berkembang, bila terdapat keterbukaan dalam seluruh aparatur negara.

“Brain drain” akibat dipensiunkannya profesor, yang tidak mau menghibahkan segenap pengetahuan dan pengalaman semasa dinasnya menjadi minimal sekali.

Semua sarjana yang bersikap terbuka menjamin kehidupan intelektual yang kreatif dan produktif.

Masalah kesenjangan sosial, pemerataan kemakmuran, dan masalah demokrasi ekonomi bergandengan erat dengan kesenjangan intelektual, demokrasi intelektual, yang dapat ditanggulangi melalui glasnost intelektual.

NB: dua artikel ini dimuat dalam Majalah Horizon No. 6 Thn. XXIV 1990, hlm. 615-618.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam