04/12/11

Fakta


Menulis adalah menyeleksi fakta, menggores garis-garis prasangka, membubuhkan argumentasi yang kokoh, dan membentuk sebuah dunia baru. Dunia baru ini bisa merupakan copy, ringkasan, pembengkokan, atau kebalikan dari dunia real. Harus digarisbawahi, dunia baru yang dikreasi penulis dengan dunia real di mana penulis hidup tidak pernah sama dan serupa, selalu berbeda, meskipun penulis tersebut adalah sejarahwan yang berpretensi menceritakan ulang masa lalu menurut kaidah-kaidah ilmiah yang valid dan reliable atau wartawan yang hanya memberitakan apa yang terjadi, bukan apa yang dikhayalkan terjadi.
Kanon sejarah Indonesia, yang kita pelajari semenjak SD hingga SMA, juga merupakan dunia baru tersendiri yang sama sekali terpisah dan berbeda dengan dunia nyata. Walaupun para sejarahwan nasional bermaksud mencatat biografi Indonesia secara jujur dan apa adanya, tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi, narasi yang mereka sodorkan selalu dimuati pandangan politis tertentu bagaimana pun besarnya usaha mereka untuk menetralisir dan mensucikan diri dari lingkungan politik. Mereka, sebagaimana kita, dikondisikan oleh ruang dan waktu, oleh mode dan semangat zaman yang sedang berkembang.
Nasionalisme adalah semangat zaman yang berkembang ketika kanon sejarah Indonesia pertama kali ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Nasionalisme menjadi tolok ukur dalam menyeleksi fakta, peristiwa, dan tokoh mana yang harus diabadikan ke dalam atau disingkirkan dari ingatan kolektif. Nasionalisme menuntun dan menuntut sejarahwan membentuk sebuah dunia baru.
Dalam dunia baru bersentimen nasional ini, Indonesia didefinisikan sedemikian rupa sehingga tampaklah siapa malaikat dan siapa iblis, siapa pahlawan dan siapa penjahat, siapa hitam dan siapa putih. Tokoh yang berperan dalam peristiwa sejarah kurang dilihat sebagai manusia senyatanya, tetapi lebih difantasikan sebagai manusia seharusnya. Inilah tipe manusia satu dimensi yang keberadaannya diangan-angankan sehingga terasa monoton, hambar,  mati, dan membosankan. Mereka yang tergolong malaikat misalnya Soekarno, Hatta, Sjahrir, Soedirman, dan seterusnya. Sedangkan iblisnya, antara lain, para gubernur jenderal belanda yang berkulit putih, serdadu kolonial, tentara jepang, dan semacamnya.
Pemilahan hitam-putih ini hidup dalam ingatan kolektif kita selama puluhan tahun tanpa pernah ada penyeledikan kembali apakah yang hitam benar-benar sepenuhnya hitam dan yang putih sungguh-sungguh seratus persen putih. Saat ini, ketika peristiwa politik sehari-hari memperlihatkan betapa tingginya naluri menjajah anak bangsa, dan ketika globalisasi membuka mata kita bahwa manusia kulit putih, termasuk belanda, adalah manusia yang cukup arif dan humanis, muncul kebutuhan untuk melakukan pembacaan dan penulisan ulang atas sejarah Indonesia. Pemilahan oposisional hitam-putih dirasa tidak faktual dan tidak adil. Padahal fakta merupakan tulang sumsum penulisan sejarah dan keadilan adalah ruh bagi sebuah narasi sejarah.
Tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam peristiwa-peristiwa penting yang mendefenisikan Indonesia mesti pertama-tama dipandang sebagai manusia, manusia saja, bukan manusia jawa, manusia bugis, manusia eropa, manusia cina, manusia arab, manusia jepang, dan lain sebagainya. Memandang sebagai manusia artinya menilai tokoh-tokoh itu sebagai pribadi yang tak genap, gesah, goyah, dan terbelah. Seberapa pun jujur, mereka tetap menyimpan potensi kemunafikan yang tak mungkin dihindari. Seberapa pun tamak dan bengis, mereka juga mengamalkan kebaikan-kebaikan kecil nan sederhana terhadap keluarga sendiri, teman sejawat, maupun rekanan kerja atau anak buah. Sesuka dan seobsesif apapun terhadap perang, mereka, mungkin  sekali, adalah para pecinta musik, tari, lukisan, dan ragam seni lain.
Tidak ada tempat lagi bagi pahlawan yang didewa-dewakan atau bagi penyamun yang disetan-setankan. Semuanya manusia. Sejarah Indonesia bukanlah sejarah dewa atau sejarah setan, tetapi sejarah manusia. Hanya dengan menerima pandangan sejarah ini, penulisan sejarah Indonesia baru akan beranjak lebih dewasa dan objektif. Setiap tokoh menjadi bernyawa. Setiap peristiwa menjadi penuh dinamika, gejolak, lebih berwarna, dan tidak menjenuhkan serta monokrom. Sejarah pun memainkan perannya sebagai ilmu, tidak melulu sebagai alat indoktrinasi dan propaganda.
Apa yang saya kemukakan ini sebenarnya telah jauh-jauh hari diusulkan oleh Soedjatmoko dalam, kalau tak keliru, kongres pertama sejarah Indonesia, tepat sebelum kanon sejarah nasional yang warnanya hanya hitam-putih itu ditulis. Soedjatmoko memperingatkan agar sejarah Indonesia ditulis berdasar perspektif internasionalis dan humanis. Tetapi karena semangat zaman yang berkembang pada waktu itu adalah nasionalisme yang tampaknya kekanak-kanakan dan ramboistis, Soedjatmoko kalah suara. Dan jadilah kini sejarah Indonesia sebagai sejarah yang tertutup, terbatas, dan fiksional, tidak terbuka, tidak berdarah dan berdaging, mudah sekali memancing konflik, dan terus terang, kurang ilmiah.
Kita pun buta dan lupa terhadap andil belanda dalam merasionalisir dan memodernisir peradaban Indonesia, juga dalam menyatukan wilayah nusantara. Kita tidak ingat bahwa pada masa kolonial pajabat pribumi ternyata lebih korup dan dungu daripada pejabat belanda yang beberapa di antaranya berpikiran etik, progresif, bahkan revolusioner dan nasionalis. Tanpa campur tangan dan bimbingan orang Eropa seperti Dekker, Sneevliet, dan Abendanon, tokoh-tokoh semacam Soewardi Soerjaningrat, Semaoen, dan Kartini belum tentu akan tampil pada panggung sejarah Indonesia.
Sejarah Indonesia adalah bagian dari sejarah dunia. Indonesia dibangun tidak hanya oleh indonesier yang berkulit sawo matang, tetapi juga oleh indonesier yang berkulit putih berhidung mangir, berkulit kuning langsat bermata sipit, berkulit hitam berperawakan tinggi-besar. Indonesia, bahkan semenjak sebelum lahir, sudah merupakan kancah dialog dan ruang gotong-royong bagi hampir semua komunitas bangsa di dunia.
Soekarno pernah mengingatkan, nasionalisme Indonesia tidak sovinistis, membuka diri terhadap dan turut serta dalam pergaulan internasional. Tetapi karena Soekarno adalah manusia peragu yang terbelah, dan bukan dewa, dia tampaknya mengingkari sendiri kata-katanya ini. Dia memaklumatkan perang terhadap Malaysia dan menetapkan demokrasi terpimpin yang dalam pelaksanaannya cenderung fasistis.
Yogyakarta, 4 desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam