26/12/11

pendidikan 15


“Masukkan Kembali Semua!”

Totto-chan belum pernah bekerja sekeras itu sepanjang hidupnya. Hari itu ia benar-benar sial. Dompet kesayangannya jatuh ke dalam kakus! Tidak ada uang di dalamnya, tapi Totto-chan sangat suka dompet itu. Dibawanya dompet itu ke mana-mana, termasuk ke kakus. Dompet itu memang cantik, terbuat dari kain tafetta kotak-kotak merah, kuning, dan hijau. Bentuknya segi empat, tipis dan dihiasi bros berbentuk anjing scotch terrier pada penutupnya yang berbentuk segitiga.

Nah, Totto-chan punya kebiasaan aneh. Sejak kecil, setiap kali ke kakus, ia selalu mengintip ke dalam lubang setelah selesai buang air. Akibatnya, bahkan sebelum masuk ke sekolah dasar, ia telah kehilangan beberapa topi, termasuk satu yang terbuat dari jerami dan satu yang terbuat dari renda putih. Kakus, di masa itu, belum punya sistem guyur-otomatis. Di bawahnya ada semacam penampung kotoran. Tak heran jika topi-topinya tampak terapung-apung di bak penampung kotoran. Mama selalu melarang Totto-chan mengintip ke dalam lubang kakus setelah selesai memakainya.

Hari itu, ketika Totto-chan pergi ke kakus sebelum sekolah mulai, ia melupakan larangan Mama. Sebelum menyadari apa yang sedang dilakukkannya, tahu-tahu ia sudah mengintip ke dalam lubang. Mungkin karena genggamannya yang mengendor, dompet kesayangan Totto-chan terlepas dari tangannya dan tercebur ke dalam lubang. Air pun berkecipak. Totto-chan menjerit ketika dompetnya lenyap di telan kegelapan di bawahnya.

Tapi Totto-chan bertekad takkan menangis atau merelakan dompetnya hilang. Ia pergi ke gudang peralatan tukang kebun lalu mengeluarkan gayung kayu bertakai panjang yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman. Panjang tangkai gayung itu hampir dua kali tinggi badannya, tapi itu sama sekali tidak menyurutkan tekad Totto-chan. Ia berjalan ke belakang sekolah sambil menyeret gayung itu dan coba menemukan lubang untuk mengosongkan bak penampung kotoran. Ia menduga letaknya pasti di luar sisi dinding kakus. Setelah susah payah mencari, akhirnya ia melihat penutup lubang berbentuk bundar kira-kira satu meter dari situ. Dengan susah payah, ia membuka penutup itu dan akhirnya menemukan lubang yang dicarinya. Totto-chan menjulurkan kepalanya ke dalam.

“Wah ini sama besarnya dengan kolam di Kuhonbutsu!” serunya.

Kemudian Totto-chan mulai bekerja. Ia mulai mencedok isi bak penampung kotoran itu. Mula-mula ia mengaduk-aduk tempat jatuhnya dompet. Tapi bak itu dalam, gelap, dan luas karena menampung buangan dari tiga kakus terpisah. Lagi pula Totto-chan bisa jatuh ke dalam bak jika memasukkan kepalanya terlalu dalam. Akhirnya ia memutuskan untuk terus mencedoki kotoran dan berharap akan menemukan dompetnya. Begitulah, Totto-chan mencedoki kotoran lalu menuangkannya ke tanah di sekitar lubang.

Tentu saja setiap kali mencedok ia memeriksa kalau-kalau dompetnya sudah terangkat bersama kotoran. Tapi ia tidak mengira akan perlu waktu lama untuk menemukan dompetnya dan sejauh ini belum ada tanda-tanda benda itu akan ditemukan. Di mana dompet itu? Bel berdering tanda kelas dimulai.

Apa yang harus kulakukan? pikir Totto-chan. Tapi karena sudah telanjur, ia pun memutuskan untuk melanjutkan. Gadis cilik itu meneruskan mencedok dengan semangat baru.

Tumpukan kotoran di tanah sudah cukup tinggi ketika Kepala Sekolah kebetulan lewat.

“Kau sedang apa?” tanyanya kepada Totto-chan.

“Dompetku jatuh,” jawab Totto-chan, sambil terus mencedok. Ia tak ingin membuang waktu.

“Oh, begitu,” kata Kepala Sekolah, lalu berjalan pergi, kedua tangannya bertaut di belakang punggung, seperti kebiasaannya ketika berjalan-jalan.

Waktu berlalu. Totto-chan belum juga menemukan dompetnya. Gundukan berbau busuk itu semakin tinggi.

Kepala sekolah datang lagi. “Kau sudah menemukan dompetmu?” tanyanya.

“Belum,” jawab Totto-chan dari tengah-tengah gundukan. Keringatnya berleleran dan pipinya memerah.

Kepala Sekolah mendekat dan berkata ramah, “Kau akan mengembalikan semuanya kalau sudah selesai, kan?” Kemudian pria itu pergi lagi, seperti sebelumnya.

“Ya,” jawab Totto-chan riang, sambil terus bekerja. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya. Ia memandang tumpukan itu. Kalau aku sudah selesai aku bisa memasukkan semua kotoran itu kembali ke dalam bak, tapi bagaimana airnya?

Air kotor terserap cepat ke dalam tanah. Totto-chan berhenti bekerja dan mencoba memikirkan cara memasukkan air kotor kembali ke dalam bak, karena ia telah berjanji kepada Kepala Sekolah akan memasukkan semua kembali. Akhirnya ia memutuskan untuk memasukkan tanah yang basah.

Sekarang gundukan itu benar-benar sudah menggunung dan bak penampung nyaris kosong, namun dompet Totto-chan belum juga ditemukan. Mungkin tersangkut di pinggi bak atau tenggelam di dasar bak. Tapi Totto-chan tidak peduli. Ia puas karena telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari dompet itu. Kepuasan Totto-chan jelas adalah hasil rasa percaya diri yang ditanamkan Kepala Sekolah dengan mempercayainya dan tidak memarahinya. Tapi, tentu saja hal itu terlalu rumit untuk bisa dimengerti Totto-chan saat itu.

Kebanyakan orang dewasa, jika mendapati Totto-chan dalam situasi seperti itu, akan bereaksi dengan berteriak, “Apa-apaan ini?” atau “Hentikan, itu berbahaya!” atau malah menawarkan bantuan.

Bayangkan, Kepala Sekolah hanya berkata, “Kau akan memasukkan semua kembali kalau kau sudah selesai, kan?”

Sungguh Kepala Sekolah yang hebat, pikir Mama ketika mendengarkan cerita kejadian itu dari Totto-chan.

Sejak kejadian tersebut, Totto-chan tidak pernah lagi mengintip ke dalam lubang setelah selesai menggunakan kakus. Ia juga makin sayang dan percaya kepada Kepala Sekolah.

Totto-chan memenuhi janjinya. Ia memasukkan semua kembali ke dalam bak penampungan. Mengeluarkan isi bak itu sungguh kerja yang keras, tapi memasukkannya kembali ternyata jauh lebih cepat. Tentu saja, Totto-chan juga memasukkan tanah basah. Kemudian ia meratakan tanah, menutup kembali lubang itu dengan rapi, lalu mengembalikan gayung kayu yang dipinjamnya ke gudang tukang kebun.

Malam itu, sebelum tidur Totto-chan teringat dompetnya yang indah dan jatuh ke dalam lubang gelap. Ia sedih karena kehilangan dompetnya, tapi kejadian hari itu membuatnya sangat letih hingga tak lama kemudian ia sudah lelap tidur.

Sementara itu, di tempat kejadian, tanah yang lembap memantulkan cahaya bulan yang indah.

Dan di suatu tempat, dompet Totto-chan tergeletak dalam sunyi.



NB:

Catatan ini adalah fragmen dari otobiografi Tetsuko Kuroyanagi, Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela, hal. 56-60 (Gramedia Pustaka Utama, 2008). Terima kasih kepada Iwan Martin yang telah meminjami saya buku bermutu ini. Totto-chan menggambarkan kondisi-pembelajaran di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah alternatif di Jepang.

Di Indonesia pernah dan tengah ada sekolah alternatif yang cukup ideal, berkualitas, dan inspiratif, antara lain: INS Kayu Tanam, Qoryah Thoyyibah, dan masih banyak lagi. Saya berharap alumni dari sekolah-sekolah itu mau menulis pengalamannya selama belajar di almamater mereka, seperti apa yang telah dilakukan oleh Tetsuko. Saya yakin, jika jumlah sekolah alternatif di Indonesia kian banyak, maka nilai Human Development Index (HDI) kita akan kian naik dan membaik.

Sudah tak mungkin lagi, dan sudah bukan waktunya untuk, menaruh harapan terlalu besar kepada pemerintah yang kerjanya hanya melanggar undang-undang dan hukum, serta membuat masyarakatnya kecewa, bingung, frustasi, dan putus asa. Masyarakat harus mandiri, juga dalam hal pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam