26/12/11

pendidikan 14


Boleh putus sekolah asal tidak putus belajar

(Bahruddin)

Sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan ruhnya. Demikian banyak wacana, kritik, dan koreksi dari berbagai kalangan, namun belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. Kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan esensi dan substansi.

Menanggapi realitas keterpurukan pendidikan di tanah air tercinta ini, kiranya kita semua tidak perlu sibuk mencari siapa “kambing hitam”-nya, (biasanya Orde Baru yang dikambinghitamkan). Karena kalau polemik mencari “kambing hitam” ini dibiarkan, hanya akan menghabiskan energi yang berujung seperti teka-teki anak-anak: “mana yang lebih dahulu antara ayam dan telur”. Perdebatan yang tidak berpangkal dan tidak berujung. Mungkin, karena memang terlalu banyak “kambing hitam” di dunia pendidikan kita, atau bahkan mungkin dengan tidak disadari diri kita juga termasuk salah satu dari “kambing-kambing hitam” itu? Sudahlah! Kita sudah terlalu lelah bergunjing, saling mencurigai, saling menggurui, dan saling menyalahkan.

Di sisi lain, kita juga sudah sangat kenyang dengan wacana dan konsep dari banyak pihak yang notabene menjadi kontribusi dalam membangun kualitas pendidikan. Seminar, lokakarya, serta studi banding tentang pendidikan tak henti-hentinya dilakukan oleh semua elemen dan strata pendidikan. Akan tetapi,  sering kali kegiatan dan wacana yang baik itu berhenti sebatas konsep atau catatan di atas kertas, atau sebatas kegiatan rutin sekadar melaksanakan jadwal yang jauh hari telah diagendakan. Sebaliknya, kita terlalu sedikit melihat tindakan nyata dan kesungguhan untuk mulai mewujudkan pendidikan yang berdaya, berkeadaban, dan berkeadilan.

Yang dibutuhkan negara ini adalah tindakan dan upaya konkret, meski sesederhana dan sekecil apa pun. Fenomena menjamurnya lembaga pendidikan “plus, plus, dan plus” belum bisa menjawab persoalan riil pendidikan bahkan memunculkan masalah baru, yaitu diskriminasi dan semakin mempertajam kesenjangan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan yang mengklaim diri berkualitas dan modern itu telah berubah menjadi lembaga jasa pendidikan elistis dan eksklusif karena hanya terjangkau oleh kelompok masyarakat tertentu.

Dunia telah terlanjur mengglobal, tidak bisa dibendung dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kita sedang berada di era global yang serba digital, bukan era kapur tulis, kertas, dan pensil yang manual dan konvensional. Di saat siswa Sekolah Dasar di negara tetangga (Singapura dan Malaysia) misalnya, telah akrab dengan internet, sebagian besar guru-guru kita masih gagap mengoprasikan komputer. Di saat mereka telah kencang melaju meningkatkan kualitas pendidikan, kita masih ribut mencari format pendidikan. Keadaan ini lebih diperkeruh oleh campur tangan politik dan kekuasaan yang sebenarnya tidak cukup berkompetensi menangani persoalan pendidikan.

Dalam hal ini, kita tidak perlu terlalu meratapi kebodohan dan ketertinggalan SDM kita ketika dibandingkan dan disandingkan dengan negara lain. Apalagi kemudian dengan emosional kita mencoba mengejar ketertinggalan tersebut dengan semangat bersaing. Bisa-bisa kebat-kliwat. Sikap emosional seperti itu tidak akan menguntungkan. Kegiatan gugat menggugat siapa yang paling bersalah dalam membuat kebijakan pendidikan juga sebaiknya segera dihentikan karena tidak akan bisa menemukan ujung pangkalnya. Alangkah indahnya bila kita semua mulai menggugat diri sendiri. Siapa tahu kita juga bersalah.

Yang terpenting, kita semua dan masing-masing kita segera mulai berbenah membangun kapasitas diri. Kita tempatkan kelompok lain, organisasi lain, bahkan negara lain sebagai mitra dan sahabat untuk menjalin kerjasama yang saling menguntungkan, bukan sebagai pesaing yang harus diungguli atau dikalahkan. Ketika memiliki kompetensi yang memadai, memiliki kemandirian, dan kepercayaan diri yang kuat dengan sendirinya kita akan menjadi individu, kelompok, dan bangsa yang terhormat karena kita dibutuhkan dan saling membutuhkan dengan yang lain.

NB: tulisan ini dicatut dari buku Lebih Baik Tidak Sekolah, karangan Sujono Samba, terbitan LkiS, hlm. 1-4. Sujono Samba adalah seniman, cendekiawan, dan staf pengajar di SMP Alternatif Qoryah Thayyibah, Kalibening, Salatiga, Jawa Timur. Sekolah kampung yang memperoleh perhatian luas dari dunia pendidikan internasional ini diprakarsai pendiriannya oleh Bahruddin pada Juli 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam