29/08/11

candu


Candu membius, merusak akal, menghancurkan ingatan, membuat konsumernya lupa daratan. Setelah mengonsumsi candu, kita  akan lupa siapa diri kita sebenarnya. Kita akan tidak mengenal ruang dan waktu. Untuk sesaat, kita bebas dari siapa pun dan apa pun.

Candu adalah pelarian yang membebaskan kita secara sementara. Candu merupakan tanda kepengecutan, kedustaan, dan ketaksabaran. Mengonsumsi candu merupakan ekspresi seorang manusia yang tak suka, tak rela, dan tak mau menjadi manusia. Diingkarinya hakikat dirinya sendiri.

Ketika efek candu habis, kita akan kembali memasuki tubuh yang menempati ruang dan waktu tertentu. Akibatnya, kita kembali sadar (dan) merasa terpenjara. Dalam penjara, diam-diam kita merindukan kebebasan sementara yang pernah kita rasakan sebelumnya, kita amat ingin keluar dari tubuh untuk sekali lagi lepas dari kurungan ruang dan waktu. Kemudian mati-matian kita mencari candu di mana dapat, bila perlu dengan memeras, mencuri, atau membunuh.

Membunuh adalah pelanggaran terhadap kebebasan dan hak orang lain, sekaligus penentangan terhadap fitrah insani kita. Candu ternyata membuat kita sangat egoistis. Dengan mencari dan mengonsumsi candu, kita hanya mencari kefanaan kebebasan personal, bukan kekadiman kebebasan komunal. Candu adalah apa yang disebut oleh para mistikus Islam sebagai kenikmatan duniawi.

Agama apa pun mengajarkan kebangkitan, yakni menuntut pemeluknya untuk menyelenggarakan kebebasan komunal, kebebasan seluruh umat manusia, rahmatal lil ‘alamin. Muslim Abdurahman menyebut kebangkitan ini sebagai Islam Transformatif, sementara Kuntowijoyo menamainya dengan Ilmu Sosial Profetik atau Sastra Transendental.

Adanya Islam Transformatif menunjukkan adanya Islam yang tidak trasformatif. Jenis Islam kedua adalah candu, sebab secara sederhana candu terbagi dua, pertama candu material, kedua candu immaterial. Islam historis sebagai perilaku beragama yang tidak transformatif termasuk candu immaterial.

Salat yang ditegakkan hanya untuk menghindarkan diri dari cemooh masyarakat adalah candu, karena apa yang didapat dari salat seperti itu adalah kebebasan atau kedamaian yang semu dan sementara belaka. Puasa yang dilakukan supaya tetap terhubung baik dengan masyarakat sarengat adalah candu. Zakat yang dibayarkan di depan umum untuk mencari puji dan simpati khalayak adalah candu. Haji yang ditunaikan dalam rangka kapitalisasi modal simbolik untuk melempangkan jalan menjadi anggota legislatif atau bupati adalah candu. Al-Qur’an yang dibaca semata-mata sebagai sarana untuk pamer suara dan pamer ilmu adalah candu. Di sekeliling kita, terhampar beragam varian candu. Ranjau.

Feuerbach dan Karl Marx menyatakan Kristen historis, sebagai perilaku beragama yang mendukung tirani monarki, sebagai candu (immaterial). Sekolah, menurut kawan-kawan Insist, adalah candu (immaterial). Maka dari itu, sekolah alternatif yang berkarakter popular dan liberatif perlu dikembangbiakkan. Seni bisa menjelma sebagai candu bila seni tersebut mendegradasikan martabat kemanusiaan kita.

Ketergantungan kita kepada buku, telepon genggam, pakaian trendy, dan sejenisnya, juga adalah candu. Benda-benda itu mengarahkan pikiran kita dan membuat kita lupa jati diri. Identitas kita ditentukan oleh benda-benda. Muncul kesombongan dan pamer. Kita melupakan kodrat kita sebagai manusia yang makamnya lebih tinggi daripada benda-benda. Kita melalaikan hak dan kewajiban kita sebagai wakil tuhan di muka bumi.

Tindak taklid buta terhadap ideologi kelompok, etnik, dan partai adalah candu, sama kadar candunya dengan obsesi mencari untung sendiri dan menimbun barang dalam dunia bisnis. Partai yang bukan candu adalah partai yang mau membicarakan kepentingan publik dengan arif. Partai macam ini tentu terbuka, membuka, dan membebaskan. Bisnis yang bukan candu ialah bisnis yang dilandasi dengan spritualitas atau etika.

Mekanisme zakat dalam agama Islam memperlihatkan bahwa agama monoteistis ini tidak menghendaki bisnis sebagai candu. Dalam kacamata Islam, bisnis bermanfaat sebagai jerambah menuju kemakmuran dan kebahagiaan bersama, demikian Asghar Ali Engineer; ekonomi merupakan cara untuk berbudaya dan beradab, demikian Soedjatmoko.

Sebagian orang berhati-hati terhadap rayuan candu material seperti kokain, heroin, vodka, ganja, dan sebagainya, tetapi mereka lupa bahwa bujuk rayu candu immaterial lebih maut daripada candu material. Meraka melarang konsumsi miras atau heroin. Mereka tidak melarang praktek beragama yang pura-pura, praktek sekolah yang membodohkan, praktek politik yang sewenang-wenang, dan praktek ekonomi yang memiskinkan dan menghisap. Mereka tenggelam dalam hipokritas dan iman yang tak kaffah.

Mudah mendiagnosis apa kita sudah kecanduan vodka atau ganja. Sulit memeriksa sudah sejauh mana candu immaterial meracuni dan menyesatkan kita. Upaya menemukan apa saja candu immaterial malah lebih sulit lagi. Inilah alasan mengapa hukum belajar adalah fardhu ‘ain.

Kita sangat butuh pengetahuan agar dapat menjadi muslim yang baik. Muslim yang baik adalah manusia yang baik. Jika pintar meramu komposisi pengetahuan, kita akan lebih ringan menjalani kehidupan, riang menjelang kematian.

Jambi, 27 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam