29/08/11

ma(ng)sa


Tak dapat digeser. Namun waktu bergeser dan menggeser. Kadang menggeser ke atas. Kadang ke bawah. Ketika digeser ke atas, aku seakan melayang di atas angin, tak menapak tanah. Aku melupakan semua yang pernah membantuku belajar jalan dan belajar bicara. Aku tukar memoriku dengan angka-angka yang miskin dan kikir.

Aku lupa bahwa mata waktu yang teliti tak kenal mati. Jika melihat perilaku keliruku, ia siap menjatuhkanku kapan suka. Aku masih keturunan Adam. Aku manusia biasa yang trauma dengan kejatuhan, dan perpisahan.

Setelah terlalu lama bersukacita di atas, seketika dunia berubah menjadi sunyi senyap. Hanya ada aku. Sendiri. Aku ingin terjun ke bawah untuk menemui ramai. Tetapi takut. Aku tak sanggup terluka karena cadas batu dan lancip duri. Aku memilih tetap di atas: sarapan bersama gelisah, makan siang bersama gamang, makan malam bersama cemas, main catur bersama hampa, menanti pagi yang makin malam.

Ketika digeser ke bawah, aku merasa lapar dan haus, dan dengan rasa malas dan malu yang maha, mengemis dari pasar ke pasar, dari rumah ke rumah. Aku mengeluh di muka selembar roti jamuran. Aku protes, entah kepada siapa entah untuk apa, di hadapan sepiring nasi basi.

Aku tak lantas menyerah kalah karena aku masih tukang mengarang seorang mesiah khayalan. Parasnya tampan, bercahaya, bak pangeran dalam dongeng cinderella. Aku segera tidur supaya segasik-gasiknya bertemu dengan sang nabi. Ternyata, setelah mengalami ribuan mimpi, aku belum bertemu dengannya. Ia tak bisa diharapkan. Sekarang bukan lagi zaman para nabi. Sekarang zaman para gali.

Lalu waktu, melalui angin malam yang melintas tepat di depan liang telinga, mengirim pesan: lebih baik mati daripada hidup menderita. Angin tidak pernah baca koran. Berita terbaru mengabarkan, mati tidak segampang dulu. Sekarang harga-harga serba mahal. Termasuk harga kematian. Untuk mati aku butuh uang untuk membeli segulung seling atau sebotol cuka getah. Tabungan kefakiranku tak cukup untuk membeli kematian.

Waktu terus berjalan, menyepak, menembak. Pembunuh paling sadis dan paling vampir adalah waktu. Waktu membawaku ke tempat-tempat baru yang belum aku lihat sebelumnya untuk menjebak dan menjeratku. Aku lolos. Tetapi di tengah perjalanan berikutnya yang terasa kian panjang, tiba-tiba ia menyepakku. Aku terpelanting. Tubuhku menghantam tembok beton dan tiang jati. Beberapa tulangku patah. Wajahku memar. Kaki dan tanganku berdarah. Ah, sakit benar rasanya.

Aku diam, ogah mengaku kalah. Aku mencoba berdiri. Sebelum tegakku sempurna, waktu menembakku. Sebetulnya, aku tak mau mati sedini ini, tapi apa hendak dikata, waktu, sekali lagi, tak dapat digeser barang sedetik lebih cepat sedetik lebih lambat. Akhirnya, waktu menang, aku kalah.

Sebagai mayat, aku cuma punya, dan cuma bisa bagi, kenangan yang telah sudah dan cita-cita yang belum sudah. Sekarang aku tidak hadir di sini. Hati waktu sesungguhnya baik. Dalam alam kematian, ia menghadiahiku fasilitas istimewa: mengelana ke masa lalu yang hitam-putih dan/atau berpetualang ke masa depan yang nirwarna. Fasilitas istimewa ini membuatku menyerupai keledai yang tidak tahu siapa pemenang siapa pecundang. Aku tak mengerti lagi apa itu kemenangan dan apa itu kekalahan. Segala pengetahuanku sirna.

Dengan menerima hadiah itu, kukira aku telah bersahabat dengan waktu dan dapat mempengaruhinya agar mau bertindak semauku. Aku salah. Waktu lebih cerdas daripada apa yang kubayangkan. Hadiah tadi adalah pemberian terakhir, ucapan selamat tinggal. Waktu tidak peduli lagi denganku. Bahkan kini, memangsaku saja ia enggan. Baginya, aku bukan lagi santapan lezat.

Tanpa waktu, bagaiamana mungkin aku?
Jambi, 28 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam