01/08/11

Kota Dagang

Jambi adalah kota dagang. Hartono Margono dkk membenarkan pendapat tersebut hanya dengan bukti yang pas-pasan. Pertama, bukti geografis bahwa di jambi terdapat sungai batang hari yang sangat strategis sebagai sarana transportasi niaga transnasional. “Sungai Batang Hari yang bermuara ke Selat Berhala, merupakan sarana yang menghubungkan daerah pedalaman Jambi dengan pusat-pusat ekonomi politik dan kebudayaan di Asia bahkan di Afrika” (hal.30). William Marsden dalam Sejarah Sumatera memberi penjelasan yang kurang lebih sama tentang Sungai Batang Hari.

Kedua, bukti dokumentatif, yakni catatan perjalanan I-Ts’ing, pendeta Budhha yang mengadakan ziarah spiritual dari Tiongkok ke India pada abad ke-7 M. Dalam pelayaran bolak-balik antara tiongkok-india dan india-tiongkok, ia melintasi Suwarnabhumi. Pulau Sumatera saat itu juga disebut dengan suwarnabhumi, suwarnadwipa, sih-li-fo-shih/sriwijaya. Di Suwarnabhumi, Raja Sriwijaya menjamu I-Ts’ing.

I-Ts’ing kemudian bermukim beberapa waktu di pelabuhan Melayu. Di Pelabuhan Melayu, I-Ts’ing menulis catatan perjalanannya, record dan memoire. Dalam catatan itu, ia menceritakan aktivitas niaga transnasional yang berlangsung di Pelabuhan Melayu. Penjelasan Margono dkk mengenai pelabuhan melayu hanya sampai di sini. Mereka tidak menerangkan di mana sebenarnya letak pelabuhan melayu dan bagaimana sejarah perkembangan pelabuhan melayu itu sendiri sebagai area ekonomi.

Pelabuhan Melayu

Pelabuhan Melayu, menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya (2006), berlokasi di Teluk Jambi, sekarang Kota Jambi. Karena perubahan geomorfologis selama berabad-abad, Teluk Jambi kini telah menjorok masuk ke daerah pedalaman.

Saya menduga bahwa teluk jambi/pelabuhan melayu tidak berlokasi di kota jambi, melainkan di selat berhala. Kurang masuk akal bila pantai timur sumatera telah menjorok ke pedalaman sedemikian jauh hanya dalam 14 abad saja. Letak Selat Berhala sendiri sangat strategis digunakan sebagai pelabuhan transito.

Pelabuhan Melayu pada awalnya dikuasai Kerajaan Melayu. Karena letaknya yang strategis dalam jalur perdagangan laut antara india dan tiongkok, Sriwijaya merebut pelabuhan melayu dari tangan kerajaan melayu. Menguasai pelabuhan melayu, Sriwijaya semakin menggeliat dan namanya sebagai kerajaan maritim semakin agung. Sriwijaya tampaknya memosisikan pelabuhan melayu (mo-lo-yeu) sebagai pusat (ibukota) ekonomi, palembang (san-fo-ts’i/pa-lin-fong) sebagai ibukota politik wilayah sumatera, dan kedah (ka-cha) sebagai ibukota politik wilayah semenanjung melayu.

Evaluasi

Karena metodologi historiografi yang miskin dan observasi yang asal-jadi, karya Hartono Margono dkk ini sebetulnya masih kurang memuaskan. Bahkan buku itu cenderung lebih menguraikan sejarah politik daripada sejarah sosial. Penjelasan tentang sejarah sosial jambi sebagai kota dagang hanya sepintas lalu. Sementara itu, sejarah politik jambi diterangkan secara berlebihan.

Buku ini menjadi lebih tidak memuaskan lagi karena mengambil rentang waktu yang tak jelas. Seakan-akan margono dkk hendak membuktikan tesis bahwa jambi telah menjadi kota dagang semenjak era sriwijaya, namun data-data yang didapat dan dipaparkan sangat tidak mencukupi.

Tesis “Jambi adalah kota dagang” masih perlu dibuktikan menggunakan cultural studies untuk menambal kerja tak tuntas dari Hartono Margono dkk. Disiplin ilmu yang lebih beragam, seperti ekonomi, sosiologi, antropologi, piskososial, dan sebagainya perlu dilibatkan dalam upaya baik memverifikasi maupun memfalsifikasi tesis tersebut.

Jogja, 1 agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam